Keserakahan versus Kearifan
- By admin
- January 22, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Ada sebuah cerita klasik mengenai dua orang yang terdampar di sebuah pulau karang. Dalam waktu pendek sulit diharapkan datangnya pertolongan. Salah seorang memiliki beras sekarung dan yang lainnya memiliki seratus kalung emas. Biasanya sebuah kalung emas jauh lebih berharga dari sekarung beras. Tetapi sekarang kedua orang ini tidak menemukan apa yang bisa dimakan selain beras itu. Beras menjadi sangat berharga karena betul-betul dibutuhkan. Sedangkan kalung sekalipun terbuat dari emas tidak dirasakan manfaatnya. Jadi, nilai dari barang berubah. Mungkin saja si pemilik beras menjual sedikit berasnya untuk mendapatkan semua kalung yang ada. Atau ia menolak untuk menukar beras dengan emas.
P.A. Payutto dalam bukunya Buddhist Economics memaparkan cerita ini dengan menunjukkan alternatif lain di luar konsep ekonomi yang kita sebut sebagai jual beli. Terhimpit oleh kebutuhan yang vital, orang yang memiliki kalung emas mungkin menjadi nekad dan mencuri sebagian dari beras itu pada saat si pemiliknya lengah. Atau bisa jadi dia akan membunuh demi mendapatkan seluruh beras tadi. Tentu lain halnya kalau kedua orang itu memiliki belas kasih dan kebijaksanaan. Mereka bisa menjadi teman, tolong menolong dan saling berbagi, mengonsumsi beras bersama-sama sampai habis. Maka tidak ada jual beli sama sekali. Dan tidak perlu mengukur segala sesuatu dengan uang.
Akibat Keserakahan
Penjual barang dan jasa berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Sedangkan konsumen berusaha mendapatkan barang sebanyak-banyaknya atau kepuasan yang maksimal dari uang yang mereka belanjakan. Penjual ataupun pembeli memiliki keserakahan sehingga masing-masing berusaha memberi sedikit dan menerima banyak. Kelihatannya wajar, siapa saja ingin untung, tidak mau rugi. Seharusnya tidak ada yang salah pada sikap seperti ini.
Namun, kesalahan terjadi ketika yang diinginkan itu semata-mata materi. Uang atau kekayaan memang memiliki daya tarik yang luar biasa. Bahkan tidak sedikit orang memberhalakannya. Apalagi jika dikaitkan dengan kekuasaan. Pelaku ekonomi yang materialis menyalahgunakan kesempatan untuk melipatgandakan keuntungan dengan mengabaikan etika dan moral. Seperti lintah darat dengan praktik ribanya, atau pebisnis yang melakukan penyelundupan, pemalsuan, dan tidak kriminal lain.
Karena harga akan membubung kalau persediaan di pasar berkurang, maka seringkali ditemukan penjual menimbun barang kebutuhan pokok. Bagi mereka bisnis menggembirakan ketika bisa mempermainkan harga. Mengikuti kenaikan harga bahan bakar minyak memang tak terhindarkan harga segala macam barang dan biaya transportasi juga naik. Hanya saja, ketika harga BBM turun tidak bisa diharapkan harga yang lainnya ikut turun. Kalau keuntungan berkurang, bisnis tidak menggembirakan dan disebut lesu.
Menurut Keynes kemajuan ekonomi hanya bisa dicapai jika kita memanfaatkan nafsu manusiawi yang egoistis. Ekonomi modern berhasil tumbuh dengan digerakkan oleh nafsu serakah dan menggilanya rasa iri. Keserakahan harus menjadi dewa untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sehingga setiap orang boleh ditipu karena yang buruk itu berguna dan yang baik tak berguna. Bisa kita bayangkan, sejumlah orang yang serakah demi kepentingan diri sendiri menginjak-injak kepentingan orang lain. Mereka menemukan kesenangan tanpa memikirkan nasib pihak yang dirugikan, menikmati kepuasan di atas penderitaan orang yang menjadi korban. Pelaku ekonomi semacam ini jelas menjadi miskin secara spiritual.
Kearifan dan Belas Kasih
Kita diingatkan oleh Gandhi yang mengatakan, “Bumi menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak cukup memuaskan keserakahan.” E. F. Schumacher yang memperkenalkan ekonomi Buddhis dalam bukunya ”Small is Beautiful” mempersoalkan keserakahan dan menegaskan pentingnya kearifan. Penghidupan benar menghendaki tidak ada makhluk lain yang dirugikan. Itulah kearifan yang harus dikembangkan dalam setiap bentuk pekerjaan atau mata pencaharian. Dan kearifan selalu berdampingan dengan belas kasih. Berdasarkan kearifan dan belas kasih Buddha menolak perdagangan senjata dan racun, juga minuman keras, daging, serta makhluk hidup (A. III, 207).
Kita memang membutuhkan kesejahteraan materiil, karena kesejahteran materiil dapat dimanfaatkan untuk mencapai kesejahteraan spiritual. Aspek materiil dan spiritual saling menunjang dan melengkapi. Spiritualitas dan pertimbangan etika seharusnya mempengaruhi permintaan dan membatasi keserakahan. Konsumerisme dalam arti gaya hidup yang tidak hemat, yang dilatarbelakangi keserakahan, jelas bertentangan dengan paham agama yang menghargai kesahajaan bahkan cenderung asketik.
Dalam konteks ini, dorongan belanja konsumsi yang dicetuskan oleh Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss (29/1/2009) untuk meredam krisis keuangan dunia harus dipahami dengan cerdas. Salah satu penyebab krisis itu sendiri adalah konsumerisme yang dibesarkan oleh kredit murah. Setelah krisis terjadi, belanja konsumsi sebagaimana daya beli turun, sehingga ekonomi global menjadi lesu. Perekonomian diharapkan masih akan bergerak kalau didukung oleh belanja konsumsi dalam negeri. Tentunya golongan masyarakat yang berkelebihan yang harus mengambil peran. Belanja pantas ditingkatkan bukan karena keserakahan, tetapi dilakukan untuk membantu mereka yang tidak beruntung atau kekurangan. Bagus sekali kalau simpanannya juga dipakai untuk membuka lapangan kerja. Produktif, bukan konsumtif.
Jakarta, Februari 2009