Cuci Piring Sehabis Makan
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Seorang pengikut aliran Shin sesumbar, ”Pendiri aliran kami memegang kuas dari tepi sungai yang satu, menuliskan nama Buddha Amida melalui udara pada kertas yang dipegang muridnya di tepi lain di seberang sungai. Dapatkah engkau melakukan keajaiban seperti itu?” Bankei yang ditantangnya berkata, ”Itu bukan cara Zen. Bagiku keajaiban adalah saat aku merasa lapar, aku makan; dan saat aku merasa haus, aku minum.”
Untuk mengenali keajaiban dari hidup ini, Hui-hai mengajarkan, ”Saat lapar, makanlah; saat mengantuk, tidurlah.” Si pandir menertawakannya. Tetapi si bijak memahami. Siapa yang pandir, siapa yang bijak? Perhatikan saja, tidak semua orang akan makan ketika lapar, atau minum ketika haus, dan tidur ketika mengantuk.
Sadar Saat Makan
Seseorang tidak benar-benar makan, jika saat sedang mengunyah sepotong roti, perhatiannya tertuju pada gudeg di piring lain. Tidak benar-benar minum di saat meneguk air pikirannya mengembara ke mana-mana, dicengkam perasaan cemas, atau cemburu, curiga, dan sebagainya. Begitu pula orang tidak benar-benar tidur jika berbaring di ranjangnya golak-galik karena gelisah atau terganggu oleh mimpi buruk.
Siapa yang hanyut dalam pikirannya, mengenang atau menyesali apa yang telah berlalu, merindukan apa yang belum datang, dia hidup di dunia lain. Kalau bukan dunia di masa silam, dunia di masa depan. Dia kehilangan dunia saat ini. Dia tidak sedang menikmati hidup di saat dia menarik dan mengembuskan napas. Kesadarannya tidak hadir di sini di saat ini.
Sutra Pacchimowada Parinirwana mengemukakan bahwa dalam perkara makan hendaknya seseorang bersikap bagai sedang makan obat. Tidak berlebihan atau kekurangan. Makanan dipergunakan sebagai bahan untuk mendukung jasmani dan menghilangkan rasa lapar atau dahaga. Makanan dibutuhkan untuk mempertahankan hidup, menunjang keelokan, memberi ketenteraman, kekuatan, dan kecerdasan (A. III, 42).
Tidak ada yang salah dengan enak makan dan makan enak. Tetapi banyak orang harus melakukan diet sehubungan dengan penyakit yang dideritanya ataupun keluhan berat badannya yang mengganggu. Makan bukan sekadar mengenyangkan perut. Yang kelewat batas dan yang membuat seseorang mabuk atau kehilangan kesadaran tentu akan menimbulkan masalah.
Mencuci Piring
Ketika seorang siswa memohon petunjuk, Chau-chou bertanya, ”Apa sudah kaumakan buburmu?” ”Sudah,” jawab si murid. ”Baiklah, cuci mangkukmu sekarang.” kata sang guru. Dengan itu si murid tersadarkan. Cuci piring sehabis makan, begitu nasihat orang-orang bijaksana. Seorang ibu rumah tangga tahu benar tentang petuah ini. Dia menyediakan makanan bagi keluarganya, dan sesudah makan mencuci piring-piring bekas makan.
Setiap pesta meninggalkan sampah. Seusai acara sepantasnya semua sampah dibersihkan. Pesta demokrasi juga menyisakan sejumlah pekerjaan rumah. Kita bersyukur bahwa pemilu legislatif dan pemilu presiden berlangsung damai dan aman. Namun sampah pemilu yang mengotori kehidupan berbangsa tentu harus dibersihkan. Tindak lanjut berupa penyelesaian yang bijaksana atas kasus-kasus pelanggaran dan kecurangan tidak bisa diabaikan. Yang lebih penting lagi memulihkan luka-luka akibat konflik yang tak terhindarkan dalam kompetisi.
Setiap orang dapat mencuci piring dengan mudah, bahkan begitu mudah dengan mesin pencuci piring. Kemudahan telah menolong orang-orang malas. Menurut Thich Nhat Hanh, ada dua cara untuk mencuci piring. Pertama, mencuci agar piring menjadi bersih, dan kedua mencuci piring untuk mencuci piring. Saat seseorang mencuci piring, seharusnya hanya mencuci piring. Artinya dia sepenuhnya sadar sedang mencuci piring.
Sekilas, hal ini mungkin terlihat tolol, kenapa suatu yang sederhana dibuat jadi sulit? Justru di situlah seseorang melatih dirinya untuk sadar dengan apa yang dia pikirkan dan dia lakukan. Banyak orang mencuci piring namun pikirannya tertuju pada secangkir teh misalnya. Lalu sewaktu minum teh, dia tidak menyadari cangkir yang ada di tangannya, melainkan memikirkan hal lain. Dia tidak hidup di saat minum teh.
Sampah Manusia
Makan berarti memasukkan sesuatu yang berupa materi ke dalam mulut, yang dikunyah, ditelan, dan dicerna. Makanan yang berupa udara (oksigen) masuk lewat lubang hidung. Proses makan mau tidak mau menghasilkan sampah yang dibuang oleh tubuh. Sungguh menderita manusia yang mengalami kesulitan untuk membuang kotorannya.
Semua indra mendapatkan makanannya masing-masing. Ada makanan bagi indra yang merasa, indra yang melihat, yang mendengar, mencium, meraba, dan yang berpikir. Kanon Buddhis menjelaskan empat jenis nutrisi yang diperlukan untuk memelihara kelangsungan hidup sesosok makhluk, yaitu makanan materiel, kontak dari semua indra, ide atau kehendak pikiran, dan kesadaran (M. I, 48). Singkatnya, ada makanan jasmani, ada makanan rohani. Apa yang disebut diet diperlukan oleh tubuh ataupun batin.
Kotoran bukan hanya sampah dari tubuh, melainkan juga ada kotoran batin. Kotoran batin merupakan racun yang menimbulkan penderitaan, baik bagi orang seorang ataupun bagi masyarakat. Ketika api keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin berkobar, dunia pun terbakar. Peristiwa ledakan bom di dua hotel internasional di Jakarta baru-baru ini, ataupun di tempat-tempat lain, terjadi akibat akumulasi dari kotoran-kotoran batin si pelaku.
Niat jahat dan dendam merupakan kotoran batin yang membuat seseorang tidak bisa hidup damai. Kotoran batin lain misalnya hawa nafsu, kemalasan, kekhawatiran, antipati, prasangka buruk, kecongkakan, keakuan, dan sebagainya; tentu semua kotoran harus dibersihkan.
Jakarta, Juli 2009