Etos Kerja
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Untuk apa orang bekerja? Kita sangat terbiasa dengan jawaban: mendapatkan uang. Apa pekerjaan seseorang, tercantum dalam kartu identitas diri, seperti KTP dan SIM. Ada petani, guru, pedagang, pengusaha, karyawan, dan lain-lain, yang memiliki pekerjaan sebagai mata pencaharian. Orang-orang ini memang mendapatkan uang dari pekerjaannya.
Tetapi bagaimana dengan ibu rumah tangga, mahasiswa, dan pelajar? Mereka tidak mengosongkan kolom pekerjaan pada KTP. Kalau seorang ibu rumah tangga ditanya, apa hasil dari bekerja, jawabannya pasti bukan uang. Begitu pula, seorang pelajar dan mahasiswa; malah menghabiskan uang. Tetapi mereka bekerja, punya pekerjaan yang harus dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Hasil Bekerja
Andaikata seorang petugas kebersihan ditanya—apa hasil dari bekerja—dan dia menjawab—uang—jawaban itu sepertinya tidak salah. Tetapi uang itu adalah upah yang bisa dia peroleh karena sudah melaksanakan kewajiban membersihkan. Kalau masih banyak kotoran di tempatnya bekerja, yang akan dia dapatkan tentu teguran. Jadi, hasil dia bekerja seharusnya lingkungan yang bersih.
Ketika seorang petugas keamanan atau tukang parkir bekerja semata-mata demi uang, dia tidak peduli dengan kehilangan barang atau kendaraan di tempat tugasnya. Tidakkah dia wajib menjaga keamanan dan mencegah kehilangan? Kalau sebuah tim sepak bola hanya mengejar uang, yang bermain adalah para penjudi dengan uang sogokan. Sedang dokter mata duitan tidak peduli dengan nasib orang sakit yang tak mampu bayar. Padahal hasil kerja seorang dokter adalah sembuhnya si pasien.
Peter F. Drucker mengingatkan bahwa rumah sakit didirikan bukan untuk kepentingan dokter dan perawat, melainkan untuk kepentingan pasien yang justru ingin segera sembuh, meninggalkan rumah sakit dan tidak perlu kembali lagi. Dan sebuah perusahaan ada untuk mengadakan barang atau jasa bagi pelanggan, bukan terutama untuk menghasilkan dividen bagi pemegang saham, atau memberi pekerjaan kepada karyawan. Jika manajemen melupakan prinsip-prinsip ini, berarti salah urus.
Sekolah pun didirikan bukan untuk kepentingan pengajar, melainkan untuk para pelajar. Apa hasil dari pekerjaan sebagai guru? Guru yang baik menjawab, hasilnya adalah anak didik menguasai semua pelajaran yang diberikan. Yang menjawab lain, misal hasilnya adalah gaji dan berbagai macam tunjangan, kehilangan makna dan tujuan yang mulia dari profesi guru. Tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (3/6/2010) menegaskan bahwa guru bertanggung jawab memberikan pelajaran sampai betul-betul muridnya mengerti, menguasai; lalu ujian dan berhasil. Tidak boleh hanya mengajar, kemudian terserah muridnya mengerti atau tidak, lulus atau tidak.
Presiden kita meminta agar membedakan guru dengan tukang pos. Kalau tukang pos keliling kota mengambil surat yang ada di kotak pos, memasukkan ke karung, kemudian ke alamat yang bersangkutan. Tukang pos tidak punya tanggung jawab sampai atau tidak itu, tidak akan mengecek sampai atau tidak. Agaknya tidak ada yang bereaksi terhadap pernyataan ini. Tetapi kita tahu, ada banyak tukang pos yang merasa bertanggung jawab memastikan kalau surat yang dikirimnya sampai di alamat yang benar. Seperti juga petugas sensus ada yang melanggar prosedur dan dipecat, tetapi jauh lebih banyak petugas yang bekerja mendata penduduk secara akurat. Mereka yang bekerja dengan baik bukan semata-mata mengejar uang, melainkan menyadari makna dari keberadaannya dan tujuan dari tugas yang diembannya.
Makna Bekerja
Seorang pegawai lebih suka bekerja sedikit tetapi mendapatkan penghasilan besar. Sedangkan pemberi kerja sebaliknya, cenderung menginginkan pegawainya menghasilkan banyak dengan upah semurah mungkin. Untuk bekerja keras meningkatkan produktivitas, kebanyakan pegawai mempertanyakan, apa untungnya bagiku? Yang disebut untung seringkali dilihat dari tambahan penghasilan. Lain halnya dengan mereka yang bekerja sebagai amal ibadah.
Etos kerja memang dibentuk oleh pandangan hidup. Bagi orang yang memandang hidup itu merupakan kesempatan untuk mencapai kesempurnaan, bekerja tak lain dari berbuat kebajikan, menjadi sebuah kebutuhan. Sekalipun tidak ada yang menyuruh, dia akan bekerja sebaik mungkin, dan dengan itu dia memperbaiki karmanya sendiri. Sesungguhnya seseorang bekerja bukan sebagai hamba, melainkan sebagai tuan yang mengendalikan dirinya sendiri (Dhp.160).
Menurut E.F. Schumacher yang menulis tentang Ekonomi Buddhis, bekerja memiliki tiga fungsi. Pertama, memberi kesempatan kepada seseorang untuk menggunakan dan mengembangkan bakatnya. Kedua, agar orang bisa mengatasi egoismenya dengan jalan melaksanakan tugas bersama orang lain. Ketiga, menghasilkan barang dan jasa yang perlu untuk hidup layak. Bekerja merupakan cara untuk menyempurnakan diri, mengikis keakuan dengan menolong dan memberi.
Mendapat uang atau tidak, setiap orang seharusnya bekerja, dengan segala cara membantu orang lain. Para motivator sering mengatakan: Kalau ingin sukses, bantulah orang lain sukses. Kalau ingin bahagia, buatlah orang lain bahagia. Bekerja memberi pengalaman, menjadikan hidup kita lebih baik, sekaligus punya arti bagi orang lain.
Jakarta, Juni 2010