Hak Orang Miskin
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Hak asasi seorang manusia sudah melekat pada dirinya sejak lahir. Hak ini tidak membedakan kaya atau miskin. Ketidakmampuan seseorang dari segi ekonomi tidak harus menghilangkan haknya, misal untuk mendapatkan pendidikan, jaminan sosial dan perawatan kesehatan. Karena itu orang miskin berhak menerima berbagai macam subsidi dari negara.
Ketika jatuh sakit, dengan memiliki Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), mereka bisa berobat gratis. Namun banyak keluhan mengenai ketidaktepatan sasaran penerima Jamkesmas. Keluhan serupa ditemukan menyangkut penyaluran raskin, penerima beasiswa, bantuan langsung tunai, dan sebagainya. Orang yang betul-betul miskin dan tidak bisa memiliki KTP, malah tidak mendapatkan bantuan.
Penyakit Kemiskinan
Miskin berarti tidak mampu hidup layak sesuai dengan standar yang umum berlaku. Apa standarnya? Ternyata data survei menyangkut pendapatan dan pengeluaran seseorang per bulan dapat diinterpretasikan berbeda-beda. Jawaban atas pertanyaan mengenai siapa si miskin dan berapa angka kemiskinan di Indonesia tergantung pada keperluan pihak yang berkepentingan. Angka bisa diatur menurut kuota atau ketersediaan uang yang dialokasikan untuk memberi bantuan. Perlu dicatat, bagaimana pun pemerintah dengan segala cara ingin menekan angka kemiskinan dari tahun ke tahun.
Kemiskinan tidak selalu berarti kekurangan dalam ukuran ekonomi. Ada kemiskinan bentuk lain, terkait dengan aspek mental yang membentuk budaya kemiskinan. Budaya kemiskinan ditemukan pada orang yang mengidap penyakit kemiskinan. Gejalanya adalah sikap rendah diri, pasrah, cuek, dan putus asa. Juga tidak suka memberi, sebaliknya senang meminta-minta, serakah, iri hati, kurang mengendalikan diri, dan mudah membenci.
Dalam Sutra Delapan Kesadaran Agung dikemukakan bahwa orang miskin kerap memupuk kebencian yang menimbulkan hubungan yang tidak baik dengan orang-orang lain di mana saja. Orang miskin di sini maksudnya orang yang serakah, tidak pernah merasa puas, yang selalu merasa kekurangan. Makin banyak yang didapat, makin banyak pula yang dikejarnya, sehingga seringkali tidak segan untuk menekan dan bermusuhan dengan orang lain.
Orang miskin sekalipun hidupnya kekurangan dari segi ekonomi tidak selalu terkena penyakit kemiskinan. Di tengah menghadapi kesulitan, ada yang tetap tabah, bersemangat dan merasa kaya secara spiritual. Sebaliknya penyakit kemiskinan tidak jarang menghinggapi orang dari kelas ekonomi menengah ke atas. Harus diakui banyak orang kaya yang merasa masih miskin, misalnya ketika harus membayar pajak dan membayar gaji pegawai, atau lebih suka memakai BBM bersubsidi. Para pengidap penyakit kemiskinan inilah yang melakukan korupsi.
Si miskin seringkali hidup dari utang yang membuatnya bertambah miskin. Sedang orang kaya memiliki utang supaya bertambah kaya. Dengan memiliki kelebihan, memang ia bisa menjadi seorang dermawan. Tidak salah kalau semakin kaya ia bisa semakin banyak menyumbang. Namun orang miskin tetap saja malang dengan nasibnya, tidak terangkat kemampuannya selama bagiannya tak lain dari derma.
Transformasi Mental
Kalau bisa memilih, kebanyakan orang ingin dilahirkan sebagai anak orang kaya, apalagi anak raja. Lain dengan Pangeran Siddharta yang meninggalkan harta dan takhta. Ia tidak menyangkal bahwa segala kemewahan merupakan berkah dan kenikmatan. Namun melihat penderitaan pada orang tua, sakit, mati, muncul kesadaran bahwa Ia sendiri pun merupakan sasaran dari penderitaan. (A. I, 146)
Mudah untuk bertanya: Mengapa orang itu menderita? Apa tidak ada orang yang dapat menolongnya? Pangeran Siddharta tidak hanya bertanya. Bagi-Nya “deritamu menjadi derita-Ku.” Terdorong oleh cinta kasih, hati-Nya tergerak untuk mencari obat mengatasi penderitaan. Lalu Ia mulai melakukan pencarian penerangan batin, hingga akhirnya berhasil menjadi Buddha.
Banyak bangsawan dan hartawan yang menjadi murid Buddha. Mereka pun melepaskan semua harta yang dimilikinya, dengan kehendak sendiri sengaja menjadi miskin dalam ukuran ekonomi. Bagaimana tidak miskin, milik pribadi yang dipertahankan hanya jubah dan mangkuk makan.
Sementara Buddha dan murid-Nya mendapat penghormatan dari para raja dan orang-orang kaya, mereka juga mengunjungi orang-orang miskin untuk menerima sedekah makanan. Kenapa Buddha menghendaki sedekah dari orang miskin? Cara ini mengajarkan si miskin untuk mengubah mental dan perilaku dari meminta menjadi memberi, walau cuma sesendok makanan sisa. Para biksu yang merendah seperti pengemis menyediakan diri sebagai ladang menanam jasa.
Dengan memberi, orang membuang sifat egois sekaligus mengembangkan cinta kasih. Praktik ini menghantarkannya untuk mendapatkan hak menjadi kaya di kemudian hari. Karena itu si miskin harus diberdayakan agar mampu memberi. Menurut perspektif hukum karma, semua orang kaya dulunya suka memberi.
Jakarta, April 2012