Hak Asasi Manusia
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Masalah HAM tidak mungkin dikesampingkan dalam refleksi di pengujung tahun 2011. Belum lama ini kita dikejutkan dengan aksi seorang mahasiswa di Jakarta yang membakar diri di depan istana. Ini sebuah bentuk protes dari orang yang putus-asa. Apa negara tidak peduli pada orang yang tak berdaya? Kenapa sampai terjadi berbagai konflik, termasuk intoleransi atas nama agama dan sengketa lahan yang memakan sejumlah korban?
Hak yang paling asasi bagi seorang manusia adalah hak untuk hidup, kebebasan, persamaan, dan hak memiliki. Negara dibutuhkan untuk mengayomi dan memberi perlindungan sehingga tidak ada manusia yang teraniaya dan dimarginalkan. Hak warga masyarakat atas pekerjaan, pendidikan, perawatan kesehatan, jaminan sosial, beragama, keadilan, dan keamanan tidak boleh terabaikan.
Kehidupan yang Beradab
PBB mengumumkan Deklarasi Universal HAM pada tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi itu muncul dengan latar belakang perjalanan sejarah yang penuh dengan penindasan dan penjajahan. Kesadaran sebagai manusia yang beradab membuat para pemimpin sejumlah negara merasa perlu untuk menyusun peraturan dan perundang-undangan agar hak seorang manusia dapat dilindungi.
Lebih dari dua puluh enam abad yang lalu, berbagai bentuk diskriminasi dan pelanggaran HAM sepertinya mendapatkan pembenaran berdasarkan kasta. Buddha dengan tegas menentangnya. Sejak lahir manusia memiliki persamaan martabat dan menghadapi masalah kemanusiaan yang sama. Sama merupakan sasaran penyakit, penuaan, dan kematian. Karena itu sama pula haknya untuk terbebas dari penderitaan.
HAM dalam perspektif Buddhis tidak hanya menyangkut interaksi antar-umat manusia, tetapi juga berhubungan dengan makhluk lain dan alam sekitarnya. Apabila lingkungan rusak maka umat manusia akan menghadapi malapetaka. Karena itu HAM tidak terlepas dari kepedulian terhadap hak asasi setiap bentuk kehidupan.
Siddharta sejak masih kanak-kanak berusaha untuk melindungi makhluk sekecil apa pun. Ketika Dewadatta memanah jatuh seekor burung belibis, Siddharta yang melihat binatang itu masih hidup, berusaha untuk melindunginya. Dengan penuh kasih sayang ia mencabut panah dari sayap burung tersebut dan mengobatinya. Meskipun dipaksa, ia tidak mau menyerahkan burung itu kepada Dewadatta.
“Tidak, belibis ini tidak akan aku serahkan kepadamu. Kalau ia mati, maka ia adalah milikmu. Namun karena ia masih hidup, dan aku yang menolongnya, maka akulah yang berhak memilikinya.” Pertikaian mereka diajukan ke hadapan dewan hakim. Dewan memutuskan bahwa hidup adalah milik dari orang yang menyelamatkannya. Hidup tidak mungkin menjadi milik dari orang yang mencoba menghancurkannya. Karena itu menurut norma keadilan, belibis itu adalah sah menjadi milik dari orang yang ingin menyelamatkannya.
Menurut Mahatma Gandhi, kebesaran suatu bangsa dan kemajuan moralnya dapat dinilai dari cara-cara bagaimana memperlakukan hewan-hewan. Ia menjadi seorang vegetarian terdorong oleh kesadaran religiusnya agar bisa terbebas dari dorongan nafsu hewani. Seperti Buddha, Gandhi mempertahankan sikap tanpa kekerasan bukan hanya terhadap sesama manusia, melainkan juga terhadap binatang. Kalau hewan saja diperlakukan dengan baik, apa lagi manusia.
Mahatma Gandhi pernah bersama Biksu Nichidatsu Fujii memukul genderang dan berdoa untuk perdamaian (1933). Biksu ini berpendapat bahwa orang yang beradab tidaklah membunuh manusia, tidaklah menghancurkan sesuatu, tidaklah menimbulkan perang. Peradaban adalah berpegang pada saling mencintai dan menghargai. Dengan kata lain, ukuran peradaban bukanlah kemajuan teknologi dan ekonomi, melainkan sejauh mana HAM dan kehidupan yang damai terealisasi.
Kehidupan Beragama
Pelanggaran HAM juga timbul karena masalah agama atau sekte. Agama merupakan faktor pemersatu untuk kelompoknya sendiri, tetapi ketika berhadapan dengan komunitas lain sering kali menjadi faktor disintegrasi. Sentimen keagamaan membawa konflik, teror, dan tindak kekerasan hingga pertumpahan darah. Hal semacam ini tidak akan terjadi jika penganutan agama bersifat toleran dan mengutamakan aspek kemanusiaan. Setiap konflik diselesaikan dengan cara yang beradab dan tanpa kekerasan.
Agama humanis memandang semua manusia adalah sama, bersaudara, dan karenanya saling mengasihi tanpa membeda-bedakan keyakinan. Persaudaraan sejati menghendaki adanya kepedulian terhadap penderitaan sesama. Bagaimana seseorang dapat berbahagia sementara ia mendengar dunia sekelilingnya menangis? Shanti Deva (abad ke-7) berpendapat bahwa semua orang yang merasa bahagia adalah karena mengusahakan kebahagiaan bagi orang lain. Mereka yang terdorong oleh belas kasih dan kebijaksanaan berjuang untuk menegakkan HAM pun tidak boleh dipengaruhi oleh perasaan benci dan permusuhan.
Menyangkut agama, Deklarasi Universal HAM (pasal 18) menyatakan: Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan agama; termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat, dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama orang lain, di tempat umum maupun sendiri.
Jakarta, Desember 2011