Perang dan Damai
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Seorang prajurit bertanya kepada seorang biksu, ”Apa itu surga, apa itu neraka?” Sang biksu menatapnya, dan menjawab dengan cemooh, “Mengajarimu tentang surga dan neraka? Huh, siapa yang sudi? Engkau berengsek! Engkau busuk! Pedangmu rongsokan. Engkau memalukan kaum kesatria. Menyingkirlah dariku. Aku tak tahan denganmu.” Prajurit itu pun marah. Ia menghunus pedangnya, siap memenggal biksu tersebut. Lalu kata sang biksu dengan lembut, “Itulah neraka.” Si prajurit tertegun. Ia merasakan kepasrahan dan belas kasih biksu yang memberinya ajaran, menunjukkan kepadanya apa itu neraka. Perlahan ia menurunkan pedangnya dengan perasaan damai. “Nah, itulah surga,” kata biksu dengan ramah.
Damai itu surga. Semua orang memilih surga. Di surga kita bahagia. Kenapa kita mesti menunggu setelah ajal untuk menjadi bahagia? Manusia bisa menghadirkan surga di bumi ini. Atau sebaliknya menciptakan neraka. Perang, tembakan misil dan mortir, ledakan bom, membuat Jalur Gaza porak poranda. Semua orang di sana menderita. Begitu banyak yang tewas dan cedera. Warga sipil hidup tanpa makanan, air, obat, listrik, bahan bakar, dan sebagainya. Apa itu bukan neraka? Ya, neraka dunia. Ketika baku tembak berhenti, dan bantuan kemanusiaan mengalir, sepertinya panas neraka pun reda. Tetapi gencatan senjata itu hanya tiga jam sehari. Kalau bisa tiga jam, kenapa tidak berlanjut, empat, lima, hingga dua puluh empat jam dan seterusnya setiap hari?
Banyak orang yang berpendapat bahwa perang itu perlu dan berguna. Orang Romawi mengatakan si vis pacem para bellum, artinya untuk mencapai perdamaian, bersiaplah perang. Perang adalah cara, dan damai itu tujuan. Padahal, kalau ditindas orang akan membalas menindas pula. Kekerasan akan berlanjut dengan kekerasan. Orang berperang karena gelap pikiran, didorong oleh kebencian dan keserakahan. Selama kebencian dilawan dengan kebencian, pertikaian dan peperangan selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia. Sabda Buddha, ”Kebencian tidak akan pernah berakhir bila dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci.” (Dhp. 5). Karena itu, perdamaian sejati memerlukan cara yang damai. Damai seharusnya bukan hanya tujuan, melainkan sekaligus juga cara.
Peristiwa
Gelombang protes terhadap serangan militer Israel terjadi di mana-mana. Sejumlah biksu dan calon biksu di Jakarta pun ikut hadir dalam aksi solidaritas untuk Palestina (11/1/2009). Unjuk rasa dilakukan tidak hanya oleh kelompok agama tertentu, karena umat beragama apa saja akan terusik oleh kebrutalan pasukan dan mesin perang yang mengambil korban orang-orang tak berdosa. Tentunya bukan untuk menyulut amarah dan kebencian. Nyala kebencian yang berkobar dan menjalar akan membuat dunia ikut terbakar. Maka, solidaritas untuk Palestina idealnya adalah memadamkan api neraka. Api dipadamkan dengan air. Kebencian diakhiri dengan cinta kasih, kejahatan diatasi dengan kebaikan, kebohongan dikalahkan dengan kejujuran, kegelapan dilenyapkan dengan cahaya penerangan.
Jenderal Omar N-Bradley, yang mengetuai Gabungan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Amerika Serikat di tahun 1948 mengatakan, ”Kita lebih tahu tentang perang daripada tentang perdamaian, lebih tahu tentang membunuh daripada tentang kehidupan.”
Dari dulu sampai sekarang, orang-orang mengakui bahwa pihak yang kalah perang harus tunduk dan menerima kalau nasibnya ditentukan oleh pihak pemenang. Si pemenang, menang dengan membunuh, memperoleh kekuasaan. Namun apa dia sungguh berhak? Hak atas kehidupan bukan milik dari seorang pembunuh. Kehidupan adalah milik dari pihak yang menyelamatkan, yang memelihara dengan cinta dan kasih sayang. Disadari atau tidak, pada dasarnya setiap makhluk mencintai diri sendiri. Siapa saja yang berpikir, ”Inilah aku, aku menyukai diriku, aku ingin mempertahankan hidupku,” seharusnya menyadari bahwa begitu pula orang lain. Dalam bahasa Pali dikenal ungkapan attanang upamang katva, artinya: umpamakan orang lain sama dengan diri sendiri, dan sebaliknya (Dhp 129).
Selain itu, jika seseorang membenci orang lain, siapakah yang menderita kalau bukan dirinya sendiri? Begitu amarah muncul, dia menjadi gelisah, tekanan darah naik dan segala penyakit menghampirinya. Bukan tidak beralasan kalau orang-orang suci mengajarkan, bahwa menaklukkan diri sendiri lebih berharga daripada mengalahkan semua musuh. Damai untuk dunia harus dimulai dari damai di dalam hati kita. Hati yang bersih dari kebencian dan niat jahat. Dan sebelum orang bisa menjadi damai, dia harus menghentikan cara hidup yang mementingkan diri sendiri.
Buddha menolak perang dan penggunaan kekerasan dalam segala bentuk. Bahkan jual beli senjata dan racun merupakan pantangan. Sayangnya, tidak semua umat Buddha melaksanakannya. Ketika pecah perang antara kerajaan Magadha dan Kosala, Buddha berkata, ”Penaklukan menimbulkan kebencian, dan pihak yang ditaklukkan hidup menderita. Barangsiapa melepaskan kemenangan dan kekalahan, damai tiada nafsu, dia akan hidup bahagia.” (S. I, 83). Kedamaian akan hadir jika semua pihak menahan diri dan mengalah, tidak mempersoalkan siapa menang, siapa kalah. Yang menjadi pemenang ya perdamaian.
Jakarta, Januari 2009