Merespons Kecaman
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Count Witte, perdana menteri Russia (1905), meminta sekretarisnya untuk mengumpulkan nama jurnalis di surat kabar yang mengecamnya. Kemudian memilih penulis yang paling pedas mengkritik. Tanya sekretarisnya, “Apakah daftar ini harus kuserahkan kepada jaksa penuntut umum?”
“Mengapa?” tanya Witte. “Bukankah mereka telah melanggar Undang-Undang Pers?” “Tidak, bukan itu yang kumaksud,” Perdana Menteri menjelaskan, “Aku ingin memilih mereka yang mengkritikku untuk dijadikan juru bicara dan pembelaku. Mereka akan aku tawarkan untuk menjadi editor koranku. Pengalaman mengajariku bahwa pembela yang paling baik adalah orang yang pernah menjadi musuhmu yang paling berbahaya.”
Terima-kasih atas Kritik
Orang seperti Witte tidak merasa perlu untuk membungkam lawannya dengan tuduhan mencemarkan nama baik, walau dia memiliki hak dan kesempatan memanfaatkan pasal-pasal hukum. Lain dengan kebanyakan penguasa yang lebih suka mengambil cara mengancam pihak penentangnya atau mengebiri kebebasan berpendapat dan penyiaran informasi.
Perbedaan pendapat harus dihargai. Tidak seorang pun—yang berbeda pendapat dengan kita—bisa menyakiti kita kecuali diri kita sendiri. Orang menderita bukan karena suara sumbang yang dilontarkan pihak lain, melainkan karena persepsi dan perasaannya sendiri yang bereaksi negatif.
Pada orang yang menyimpan prasangka dalam pikirannya: “ia menghina aku, ia memukul aku, ia mengalahkan aku, ia merampas milikku”, kebencian tidak akan reda. Bilamana ia tidak menyimpan pikiran seperti itu, kebencian akan berakhir (Dhp. 3-4). Dengan menyingkirkan kebencian dan dendam, kita bisa mengubah lawan menjadi kawan.
Tidaklah pernah di zaman dahulu, sekarang atau yang akan datang, ditemukan orang yang selalu dicela atau selalu dipuji. Bahkan seorang Buddha, juga Nabi Muhammad dan Yesus tak luput dari kecaman dan fitnah orang-orang yang menentangnya.
Ketika menghadapi serangan, hujatan atau apa pun namanya, acap kali orang akan terpancing membalas dengan cara yang serupa. Buddha menolak sikap semacam ini. Kata-Nya, barang siapa dicaci, lalu membalas dengan mencaci pula, dia lebih buruk dari yang pertama memulainya (S. I, 163).
Seringkali terjadi, orang yang bermaksud baik dan telah berbuat baik terkena kecaman karena orang lain yang salah menafsirkannya. Orang yang berjiwa besar tidak menjadi kecil hati bila dikecam karena mereka tidaklah mengharapkan pujian. Tidak pula menjadi kecewa bila jasanya tidak diakui, karena mereka tidak menuntut pengakuan.
Barangsiapa telah berbuat sebaik-baiknya, menjaga dirinya dengan waspada, tidak akan khawatir dicela. Bahkan sebaliknya, ia berterima-kasih atas kritik yang disampaikan oleh orang lain. Sayangnya tidak banyak orang yang merespons kecaman dengan kepala dingin, sabar, menjaga simpati, dan sedia mawas diri.
Menjaga Objektivitas
Demi kebenaran Buddha mengajarkan siswa-Nya agar bersikap kritis bahkan terhadap penganutan agama Buddha sendiri. Mereka tidak boleh marah, benci, atau dendam, jika ada orang berbicara menentang dan merendahkan Buddha atau Dharma atau persekutuan siswa-Nya. Kemarahan akan membuat seseorang tidak bisa objektif menilai sejauh mana ucapan orang lain itu benar atau salah. Para siswa-Nya harus menjelaskan apa yang keliru berdasarkan bukti ini atau itu, ini tidak benar, itu bukan begitu.
Sebaliknya, menghadapi orang yang memberi pujian, tidak boleh merasa senang atau bangga. Sikap ini mudah menghalangi pertimbangan yang objektif. Para siswa Buddha harus membuktikan bahwa pujian itu tidak salah, berdasarkan bukti ini atau itu, ini memang benar, itu memang begitu. (D. I, 3).
Biasanya seseorang tahu mengenai satu hal dan tidak tahu mengenai hal yang lain. Ada sesuatu yang kita ketahui tetapi terselubung bagi orang lain. Ada yang orang lain tahu, tetapi kita buta mengenai itu. Ada pula sesuatu yang sama gelapnya bagi kita atau pun bagi orang lain. Kita mesti belajar mendengar supaya orang lain mengungkapkan segala hal yang belum kita ketahui. Sebaliknya kita mesti menyampaikan dengan baik apa yang belum diketahui oleh orang lain, sepanjang bermanfaat.
Mengemukakan dan menanggapi suatu opini seharusnya didukung fakta dan dilakukan dengan sopan, bukan melontarkan fitnah, menista, dan menghina. Sikap dialogis menghendaki adanya keterbukaan dan komunikasi yang baik, bukan saling mengancam. Suatu perdebatan, terlepas dari menyenangkan atau tidak, hanya bermanfaat jika bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran yang berharga bagi kepentingan umum. Tidak ada gunanya pembicaraan yang bersifat provokatif yang memancing luapan emosi, sehingga mereka yang terlibat lepas kendali. Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Jakarta, Maret 2010