Kekuatan Ikrar
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Upacara biasanya diperlukan setiap kali memperingati atau menghadapi peristiwa penting. Di bulan Oktober ini kita memperingati Hari Kesaktian Pancasila dan Sumpah Pemuda. Tentu bukan hanya sekadar seremonial, melainkan menghidupkan makna yang dimilikinya dalam perjalanan hidup kebangsaan. Sumpah Pemuda diucapkan terkait dengan kebulatan tekad untuk merealisasi kebenaran yang dinyatakannya. Kesaktian Pancasila merupakan manifestasi kemenangan para pendukungnya yang bertindak sesuai dengan tekad mempertahankan dasar negara.
Ada bermacam-macam upacara di tengah keluarga dan masyarakat. Setiap upacara mengekspresikan pengukuhan atas suatu sikap sosial atau pengakuan atas perubahan hubungan sosial. Sehubungan dengan tujuannya, secara eksplisit ataupun implisit, kita menemukan pesan melalui simbol-simbol dan ungkapan verbal. Dalam upacara perkawinan misalnya, prosesi dan ritual mengemas akad atau ikrar pasangan yang mengikatkan diri sebagai suami istri. Upacara pelantikan pegawai negeri, pejabat termasuk menteri memuat sumpah jabatan. Para dokter, perawat, apoteker, notaris juga diambil sumpahnya karena pekerjaan mereka.
Energi Pikiran
Janji, sumpah, ikrar, atau prasetia adalah pernyataan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat benar-benar sebagaimana yang diniatkan. Andalan sebuah janji terletak pada sejauh mana orang yang berjanji dapat dipercaya. Janji perkawinan dan sumpah jabatan dilakukan demi Tuhan berdasarkan keyakinan atau iman. Pengalaman menunjukkan tidak ada jaminan atas kepercayaan dan keyakinan, sehingga janji kosong, sumpah palsu dan pelanggaran terhadap apa yang diikrarkan sering terjadi. Ada banyak kasus perceraian, malpraktik, penyalahgunaan jabatan, dan korupsi.
Sebuah ikrar memiliki dan memberi kekuatan berkat kebenaran yang dikandungnya. Kebenaran dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan yang menyatu. Pikiran yang mendahului adalah pemimpin (Dhp. 1-2). Pikiran bersifat magnetis, dan memiliki frekuensi. Ketika kita berpikir dan bertekad, pikiran-pikiran itu dikirim ke Semesta dan secara magnetis pikiran akan menarik semua hal serupa yang berada di frekuensi yang sama. Segala sesuatu yang dikirim ke luar akan kembali ke sumbernya: si pemikir. Hukum tarik menarik merespons pikiran kita. Pikiran dan keinginan sebenarnya adalah energi realitas non-fisik yang akan diwujudkan menjadi realitas fisik. Karena itu dikenal mukjizat berpikir positif sebagaimana yang diungkapkan oleh Rhonda Byrne (2007).
Kehendak untuk berbuat atau cetana adalah karma (A. III, 415). Karma bekerja mengikuti hukum sebab akibat. Buah yang dipetik sesuai dengan benih yang ditabur. Setiap makhluk bertanggung jawab atas karmanya sendiri, ahliwaris dari karmanya sendiri, lahir dari karmanya sendiri, berhubungan dengan karmanya sendiri, terlindung oleh karmanya sendiri (A. V, 288). Berdasar hukum kesalingbergantungan, interaksi dan interpenetrasi setiap eksistensi atau fenomena di alam semesta ini, apa yang kita pikirkan, kita ucapkan dan kita lakukan akan membawa dampak terhadap diri sendiri juga dunia luar.
Sebagaimana doa dan mantra, ikrar menjadi efektif tidak cukup hanya dengan sekadar diucapkan ataupun dibaca berulang-ulang. Apa yang diikrarkan muncul dari kesadaran yang penuh perhatian dan konsentrasi serta direalisasi melalui integrasi psikofisik. Kesadaran adalah keadaan mengerti, eling atau berpikiran sehat, insaf, dapat membedakan benar atau salah, baik atau buruk.
Ikrar Spiritual
Perjalanan spiritual manusia yang memiliki aspirasi mencapai Kesempurnaan Tertinggi juga dimulai dari sebuah sumpah atau ikrar. Ikrar Bodhisattwa yang disebut pranidhana berisi iktikad menyangkut: (1) tekad menyelamatkan semua makhluk tanpa kecuali, (2) tekad memadamkan semua keinginan yang buruk; (3) tekad mempelajari kebenaran dan melatih diri; (4) tekad mencapai Pencerahan sekaligus membimbing semua makhluk untuk mencapai kesempurnaan. Ikrar ini menunjukkan komitmen untuk menghargai semua bentuk kehidupan, menyempurnakan diri sekaligus menyelamatkan dunia dan membawa kebaikan bagi orang lain.
Kebulatan tekad (adhitthana) dan ikrar Bodhisattwa tidak berdiri sendiri. Praktiknya seiring dengan berbagai bentuk kesempurnaan kebajikan yang disebut paramita. Ada kemurahan hati dan pengorbanan (dana),disiplin moral (sila), melepas belenggu keduniawian (nekkhama), kebijaksanaan (panna), semangat dan usaha (viriya), kesabaran (khanti), kejujuran dan kebenaran (sacca), cinta kasih (metta), dan keseimbangan (upekkha). Selain itu realisasi ikrar perlu didukung konsentrasi dan refleksi (dhyana), keterampilan (upaya), kekuatan (bala), dan pengetahuan luhur (jnana).
Dalam kehidupan sehari-hari umat Buddha berjanji berusaha menunaikan Panca Sila. Panca Sila ini berisi tekad untuk menghindari pembunuhan, pencurian, perzinaan, ucapan yang tidak benar, dan zat-zat yang mengurangi kesadaran. Tekad diikrarkan setiap melaksanakan puja bakti sebagai bacaan perlindungan (paritta). Terlindung karena terhindar dari kesulitan dan kejahatan.
Ikrar spiritual bukan beban, melainkan justru merupakan sebuah kebutuhan. Praktiknya menghasilkan harmoni, kedamaian, dan kebaikan, baik bagi diri sendiri ataupun makhluk lain. Seseorang mengucapkan dan melaksanakan ikrar seharusnya berdasar kesadaran dan kehendak bebas, bukan karena keharusan mematuhi perintah atau takut pada ancaman orang lain.
Jakarta, Oktober 2011