Bebas Merdeka
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Winston Churchill kala masih muda pernah mendapat pelajaran tentang kebebasan dari seorang polisi. Setelah perang Boer, ia kembali ke London dan berjalan-jalan melintasi Hyde Park. Taman ini sampai sekarang dikenal sebagai tempat bagi para demonstran berunjuk-rasa. Di sana Churchill menemukan seorang orator opera sedang mencela Ratu Victoria.
Ada seorang polisi yang berdiri cukup dekat, namun membiarkan orang itu bebas bicara. Churchill, yang di kemudian hari menjadi perdana menteri Kerajaan Inggris, menegurnya, “Tidakkah ada yang akan engkau lakukan? Kenapa tidak kau tangkap orang itu?” Jawab si polisi, “Memang begini sebaiknya, Tuan. Hal ini tidak menyakiti sang ratu, dan barangkali saja dengan cara ini bisa menolong lelaki itu.”
Setiap orang memiliki kebutuhan untuk didengar. Kalau ada yang mau mendengar, tentu dengan penuh perhatian, beban yang dirasakannya akan menjadi sedikit lebih ringan. Masalahnya, tidak banyak orang, terutama penguasa otoriter, yang bisa menjadi pendengar yang baik, yang sanggup memahami penderitaan orang lain. Hanya Tuhan atau Buddha dan Bodhisattwa yang selalu bersedia mendengar. Kalau tidak, apa manusia harus mengadu kepada tembok dan pohon?
Bebas dari Ketakutan
Kebebasan berarti tidak menghadapi paksaan dari pihak mana saja sehingga memiliki keleluasaan untuk bergerak dan beraktivitas secara rela dan sadar dengan penuh tanggung jawab. Karena tanggung jawabnya orang yang merdeka bebas mengemukakan pendapat tanpa takut ditangkap atau dihukum, sepanjang jujur menyuarakan kebenaran. Dia tidak terancam oleh penguasa, dan hukum melindunginya. Tanggung jawab ini dengan sendirinya membatasi kebebasan ketika berhadapan dengan kepentingan umum.
Aung San Suu Kyi, putri pahlawan yang membebaskan Myanmar dari penjajahan Inggris, ternyata tidak benar-benar merdeka. Sekalipun sudah lepas dari kekuasaan asing, rakyat Myanmar masih belum bebas dari ketakutan menghadapi penindasan dan kekejaman tirani. Karena itu Suu Kyi berjuang memerdekakan Myanmar untuk kedua kalinya. Hadiah Nobel Perdamaian yang diberikan kepada Suu Kyi menunjukkan bahwa perempuan ini berbicara dan berbuat untuk semua orang, pengaruhnya bukan hanya sebatas Myanmar saja.
Di tahun 1988 Suu Kyi berhasil meredam gejolak demonstran yang menjurus ke arah anarki. Ia membentuk sebuah partai yang meraih kemenangan mutlak dalam pemilihan umum tahun 1990, tetapi dianulir oleh rezim militer yang mengurungnya sebagai tahanan rumah. Baru-baru ini karena dinyatakan bersalah mengizinkan seorang warga Amerika tinggal di rumahnya, ia dijatuhi hukuman baru, yang memperpanjang masa tahanannya. Maka dunia internasional termasuk Indonesia bereaksi keras atas ketidakadilan tersebut.
Negara Merdeka
Merdeka tidak cukup diartikan bebas dari penjajahan oleh bangsa lain. Perjuangan melawan dan membebaskan diri dari penjajahan pada dasarnya bukan memusuhi sesama manusia. Yang kita musuhi adalah praktik-praktik penindasan, perampasan, pemerasan, pemiskinan, pembodohan, diskriminasi, ketidakadilan, dan berbagai macam pelanggaran hak asasi manusia. Karena itu, paham kebangsaan Indonesia menyangkut kemerdekaan dan kedaulatan, erat berhubungan dengan demokrasi kerakyatan, keadilan sosial, dan perikemanusiaan. Keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas datang dari kekuatan moral dan spiritual berkat keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Bangsa merdeka menentukan nasibnya sendiri. Kehidupannya harus menjadi lebih baik. Manakala rakyat tetap menderita dalam kemiskinan, dan perekonomian dikuasai oleh pihak asing, sumber daya alam dieksploitasi untuk memperkaya negeri lain, kemerdekaan dan kedaulatan kehilangan artinya. Negara merdeka tidak akan memberi tempat bagi kebodohan, kezaliman, dan ketidakadilan. Rakyat merdeka tidak boleh takut intel atau kehilangan keberanian untuk berbicara dan bertindak benar.
Untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan, Buddha mengemukakan syarat-syarat kesejahteraan negara (D. II, 74-75). Yang pertama, demokrasi dengan mengikutsertakan orang banyak dalam permusyawaratan. Berikutnya adalah membangun dan menyelesaikan segala hal dengan rukun. Konstitusi dijunjung, begitu pula para pemimpin dihormati. Perempuan dan mereka yang lemah harus mendapatkan perlindungan. Kewajiban agama tidak boleh diabaikan, dan orang-orang suci mendapatkan sokongan.
Manusia Merdeka
Moralitas Buddhis berdasarkan kebebasan manusia sebagai tuan atas dirinya sendiri (Dhp. 380). Jika manusia dikuasai oleh suatu kekuatan di luar dirinya, dipaksa untuk menerima nasib atau keadaannya, manusia tidak memiliki tanggung jawab atas perbuatannya. Hanya dengan kehendak bebasnya sendiri manusia dapat mempertanggungjawabkan segala pikiran, ucapan, dan tindakannya. Tanggung jawab moral berpangkal pada kemerdekaan individu.
Ada ’kebebasan berkehendak’ seperti yang dijamin dalam sistem demokrasi. Ada pula ’kebebasan dari kehendak’ yang hanya dikenal oleh orang-orang yang memiliki kepuasan dan merasa berkecukupan. Apa yang disebut puasa mengandung makna kebebasan dari kehendak. Ketika dikatakan tidak ada kebahagiaan melebihi kebebasan, yang dimaksud adalah kebebasan dari penderitaan. Sebab-sebab penderitaan menyertai kehendak yang berakar pada keserakahan, kebencian, kegelapan batin, dan kemelekatan. Tanpa membebaskan diri dari kondisi ini, manusia belum betul-betul merdeka.
Tao Hsin menemui gurunya, Seng Tsan. Ia berkata, “Guru, aku mohon belas kasihmu, ajari aku jalan untuk merdeka.” “Siapa yang mengikatmu?” tanya sang guru. Jawab Tao Hsin, “Tidak seorang pun mengikatku.” Kata Seng Tsan kemudian, “Oleh karena tidak seorang pun mengikatmu, mengapa engkau mencari kebebasan?” Tao Hsin segera tersadar.
Jakarta, 26 Agustus 2009