Musyawarah untuk Mufakat
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Berbeda pendapat itu biasa. Demikian pula berbeda keinginan. Maka Buddha menganjurkan para siswa untuk sering melakukan permusyawaratan secara tertib teratur. Setiap permasalahan diselesaikan dengan rukun dan penuh tanggung jawab. Semua peserta dianjurkan memasuki sidang bersama-sama dan bubar bersama-sama.[1] Bertengkar adu kuat dan walk-out, keluar sidang sebelum bubar, tentu mengecewakan.
Tidaklah tepat untuk mengambil suatu kesimpulan, orang yang mencari dan melindungi kebenaran, hanya berpegang pada pengetahuannya sendiri tanpa mempertimbangkan pendapat orang lain. “Jika seseorang telah mendengar atau mengetahui, kemudian menyatakan inilah yang telah aku ketahui, ia melindungi kebenaran sepanjang tidak secara kategorik menyimpulkan hanya ini saja yang benar dan lainnya keliru.”[2]
Karena itu dalam suatu permusyawaratan, mengajukan pendapat dan menyanggah merupakan proses pencarian kebenaran dan kesamaan pandang. Proses musyawarah ini pada akhirnya melahirkan kata sepakat dari semua peserta permusyawaratan. Buddha menghargai tukar pendapat dan pengambilan keputusan bersama. “’Bila hanya seorang yang mengambil keputusan, tiadalah Aku berkenan.”[3]
Adanya satu asas dan satu tujuan lebih memungkinkan pencapaian mufakat yang bulat. Namun bilamana kesamaan pendapat tidak tercapai, mufakat dihasilkan menurut keputusan suara yang terbanyak. Semua pihak yang menyadari tanggung jawabnya untuk menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan golongan apalagi perorangan akan menerima baik mufakat yang bulat atau pun tidak bulat. Kalau saja hasilnya sudah dapat diramalkan, mana yang lebih baik, mufakat bulat atau pemungutan suara?
Diakui atau tidak, pemungutan suara memperhangat situasi yang membedakan adanya pihak yang menang dan pihak yang kalah. Tidak ada orang yang senang dengan kekalahan. “Dengan melepaskan kemenangan dan kekalahan, orang pun damai dan hidup bahagia.”[4] Dalam Zenrin Kushu, sebuah antologi yang dihimpun oleh Toyo Eicho (1429-1504) dinyatakan, “Menerima masalah juga menerima nasib baik, menerima mufakat juga menerima perbedaan.”
Hikmat kebijaksanaan yang memimpin dalam permusyawaratan berpijak pada kebenaran dan kebaikan bersama, tidak lantas berpihak pada segolongan tertentu. Buddha mengisyaratkan kehadiran atau kebersamaan-Nya di tengah berbagai golongan. Penampilan dan suara-Nya menyerupai orang-orang yang memegang peranan. Ia memberi petunjuk, membangunkan semangat mematuhi Kebenaran. Namun mereka mungkin tidak mengenal-Nya.”[5] Dalam hal ini Buddha diidentifikasi tak lain sebagai Kebenaran yang muncul di mana-mana.
Bagaimana mengenali orang yang bersuara bagai Buddha? la berbicara benar, tidak berdusta, tidak menyimpang dari fakta, jujur, dapat dipercaya. Ia tidak mengingkari apa yang telah diucapkan, dan sudah barang tentu tidak memfitnah. Apa yang didengar tidak akan diceritakan di tempat lain untuk menimbulkan pertengkaran. Sebaliknya kata-kata yang diucapkan penuh kasih, menjadikan damai, mempersatukan mereka yang terpecah belah atau mendorong persahabatan.
Kata-kata yang kasar dihindarkan. Apa saja kata-kata yang tidak tercela, yang enak didengar, menarik, mengena di hati, sopan, menggembirakan dan disenangi orang, itulah kata-kata yang pantas dipergunakan. Ia tidak mengobrol tak keruan arah dan menjauhkan diri dari omong kosong. Berbicara pada waktu yang tepat dan sesuai dengan keadaan. Kata-kata yang diucapkan bermanfaat dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Ia menyatakan dengan tepat, menguraikan dengan jelas dan kena sasaran.”[6]
Setiap musyawarah diharapkan berjalari rukun lalu berakhir dengan kerukunan yang semakin mantap, dan tidak berlanjut dengan pertikaian. Untuk memelihara-suasana yang rukun bersahabat, para peserta musyawarah paling tidak, perlu menunjukkan: Ketulusan hati (sacca), pengendalian diri sendiri (dhamma), kesabaran (khanti), dan kemurahan hati (caga). Menjalin komunikasi, saling mengerti dan hormat-menghormati diperlukan untuk memecahkan masalah bersama dan bekerja sama.
Memperjuangkan pendapat, aspirasi, keinginan atau cita-cita memang harus, tetapi tidak dengan mengorbankan kerukunan. Mencapai mufakat pun menuntut kearifan dan selanjutnya melaksanakan dengan benar kemufakatan itu.
9 Maret 1988
[1] Anguttara Nikaya VII, 3:21
[2] Majjhima Nikaya 95
[3] Mahavagga II, 16:5
[4] Dhammapada 201
[5] Anguttara Nikaya VIII, 7:69
[6] Digha Nikaya I