Wakil Rakyat
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
“Para siswa, siapakah dia, orang yang patut diikuti, dilayani dan dihargai dengan segala puji dan hormat? Ia adalah orang tertentu yang kebajikannya, konsentrasi pikiran, dan kebijaksanaannya lebih melampaui orang lain.”
Orang-orang yang terpilih dan tercantum namanya dalam Daftar Calon Sementara (DCS) tak pelak lagi merupakan tokoh yang dipandang pantas untuk diikuti. Jika sekiranya tidak melebihi orang lain, paling tidak ia yang setaraf juga patut diikuti. “Seseorang yang sebanding dengannya dalam hal kebajikan, konsentrasi pikiran, dan kebijaksanaannya, adalah patut diikuti, dilayani, dan dihargai. Mengapa? Inilah alasannya: Karena kita sama tarafnya dalam kebajikan, konsentrasi pikiran, dan kebijaksanaan, pembicaraan kita berhubungan dengan hal-hal tersebut, sehingga akan menghasilkan manfaat bagi kita dan menjadikan kita tenteram.”
Masih dalam khotbah yang sama, Buddha menyatakan pula perihal sebaliknya. “Para siswa, siapakah dia, orang yang tak patut diikuti? Ia adalah orang yang lebih rendah dalam kebajikan, konsentrasi pikiran, dan kebijaksanaannya. Orang semacam ini, para siswa, tidak patut diikuti, dilayani, atau dihormati, terkecuali hanya menaruh perhatian atau kasihan kepadanya.”[1]
Buddha pernah menjelaskan tentang adanya keterbatasan dari jumlah orang yang memperoleh suatu kesempatan atau meraih suatu kelebihan. “Para biksu, bagai di Jambudipa ini, tidaklah seberapa banyak taman yang menyenangkan, kebun, dataran, dan danau yang menyenangkan. Jauh lebih banyak tempat yang curam atau terjal, sungai-sungai yang sukar diarungi, semak belukar yang lebat, tegar lagi berduri, serta gunung-gunung yang hampir tidaklah mungkin dicapai. Demikianlah halnya tidak banyak makhluk yang dilahirkan di bumi, lebih banyak makhluk yang dilahirkan di dalam air. Demikian halnya tidak banyak makhluk yang dilahirkan sebagai manusia; lebih banyak makhluk yang dilahirkan sebagai makhluk lain dari manusia. Demikian halnya tidak banyak makhluk yang dilahirkan di tengah pusat wilayah, lebih banyak yang dilahirkan di luar pusat wilayah, di antara orang-orang yang tertinggal kemajuan peradaban. Demikian halnya tidak banyak makhluk yang bijak dan cerdas, yang pandai memanfaatkan pendengaran dan pembicaraan, cakap mempertimbangan suatu isyarat, apakah baik atau buruk. Lebih banyak makhluk yang tidak pintar, tidak cerdas, …”[2]
Wakil rakyat tidak banyak jumlahnya. Mereka dipilih tidak karena menggambarkan karakteristik rakyat seluruhnya. Mereka bukan sampel. Seandainya kebanyakan rakyat berpendidikan rendah, wakil rakyat tentu saja tidak harus terdiri dari orang yang berpendidikan rendah. Bahkan wakil rakyat diharapkan berpendidikan tinggi. Mereka bukan hanya mewakili untuk bersuara atau menyampaikan kehendak, tetapi juga mengambil keputusan dan mengarahkan jalannya kehidupan bangsa atau negara. Pada dasarnya wakil rakyat adalah pemimpin yang memperhatikan kepentingan rakyat, orang-orang yang cerdas dan cakap, yang sekaligus merupakan panutan.
Buddha menganjurkan agar seorang pemimpin tidak melupakan tempat kelahirannya, tempat ia diangkat sebagai pemimpin atau penguasa, dan tempat ia berhasil mencapai kemenangan. Bandingannya untuk seorang biksu, dianjurkan agar tidak melupakan tempat ia ditahbiskan, tempat menyadari ajaran utama, dan tempat mencapai penerangan.”[3] Kiranya bagi para wakil rakyat dapat dinyatakan agar tidak melupakan kampung kelahiran, daerah yang diwakili, dan tempat ia meraih sukses.
Sekalipun norma keagamaan dipakai dalam menilai siapa yang pantas untuk diikuti, mimbar agama sendiri tidaklah pantas dimasuki atau dicampuri masalah politik. Seorang biksu Malaysia, Dr. K Sri Dhammananda, mengatakan bahwa para politisi ingin mempengaruhi semua lembaga termasuk agama guna meningkatkan pencapaian tujuan politik mereka. Mimbar rohaniah memenuhi kebutuhan rohaniah mereka yang berpikiran religius, termasuk politisi yang religius. Namun mimbar tersebut tidak boleh dipakai oleh politisi karena mungkin akan merusakkan kedamaian dan ketenteraman tempat ibadah melalui afiliasi politik mereka. Di tengah kehidupan beragama yang beraneka ragam, ia mengingatkan banyak lembaga agama yang menunjukkan isi moral dan nilai-nilai rohaniahnya yang mendorong kehidupan damai diselimuti oleh nilai-nilai lahiriah yang tampak lebih menonjol. Seraya menghindari masuknya kegiatan politik, ia menyerukan kerja sama antar golongan agama, menjunjung tinggi agama sendiri sekaligus juga menghormati agama orang lain.
“Pembuat saluran air mengalirkan airnya ke mana mereka sukai. Pembuat panah meluruskan anak panahnya. Tukang kayu melengkungkan batangan kayu. Para bijaksana mengendalikan diri sendiri.”[4]Sesuai dengan ruang lingkup tugas masing-masing, kita menyukseskan Pemilu yang akan datang dan menggunakan hak pilih sebaik-baiknya.
14 Januari 1987
[1] Anguttara Nikaya III, 3:26
[2] Anguttara Nikaya I, 19:1
[3] Anguttara Nikaya III, 2:12
[4] Dhammapada 80