Antara Pejabat dan Penjahat
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Harus diakui tidak ada bedanya antara perampok yang menodong dan pemerintah yang memeras kekayaan rakyat. Pejabat yang korupsi tak lain dari maling yang mencuri. Seorang penguasa seperti Noriega dari Panama kalau benar terlibat perdagangan narkotika sama saja dengan penjahat kriminal. Ceausescu seorang pemimpin Rumania akhirnya dieksekusi, diperlakukan sama dengan seorang penjahat.
Seorang rakyat harus tunduk pada pemerintah. Golongan penguasa memerintah atas nama rakyat, dipercaya mengabdi kepada rakyat dan berusaha memajukan kesejahteraan rakyat. Hanya kadang-kadang di antara para pejabat ada seorang atau beberapa orang yang juga penjahat. Kekuasaan mudah membuatnya menjadi kaya. Penguasa bisa berhak atas harta, tenaga, bahkan jiwa penduduknya. Sedangkan penduduk mencari nafkah dan tidak boleh lupa untuk menyenangkan hati orang-orang yang berkedudukan. Maka di negara miskin, yang kebanyakan rakyatnya dicekik kemiskinan, tidak jarang para pembesar hidup dengan serba mewah.
Vyagghapajja adalah orang kebanyakan yang hidupnya dibebani anak istri. la mesti mengandalkan kepintarannya untuk mencari nafkah, agar selain makan cukup, bisa memakai kain halus dari Benares, menikmati kayu cendana dan bunga, memiliki perhiasan atau menyimpan perak dan emas. Buddha pernah menasihatinya demikian, “Apa pun kekayaan yang didapatkan oleh seorang penduduk dengan bekerja, yang dikumpulkan secara halal dengan susah payah, hendaklah ia hidup dengan hemat dan menjaga dengan cermat, bagaimana agar tidak sampai kekayaannya diambil alih oleh penguasa, tidak juga dicuri oleh pencoleng, atau habis dilalap api kebakaran, dihanyutkan air bah, atau mungkin pula dihamburkan oleh para ahli waris yang buruk wataknya. Inilah yang dinamakan pencapaian kewaspadaan. Selain kewaspadaan, kondisi lain yang memberikan keuntungan dan kebahagiaan di dunia adalah prestasi yang dicapai dalam ketekunan, persahabatan yang baik, dan cara hidup yang serasi atau seimbang.”[1]
Vyagghapajja memang harus waspada terhadap pencoleng. Tetapi bagaimana dengan penguasa? Tidakkah orang-orang berkedudukan itu merupakan pelindung bagi seorang rakyat? Vyagghapajja tentu tahu, penguasa apa yang dikelompokkan segolongan dengan pencuri. Menaruh waspada agar tidak sampai diperas oleh penguasa, tidak berarti menolak untuk membayar pajak misalnya, yang sudah merupakan kewajibannya sebagai seorang penduduk. Thomas Aquinas pernah mempertanyakan perbedaan antara bandit yang menodong orang di jalan dengan negara yang menuntut pajak dari rakyatnya. Sedangkan Buddha belasan abad sebelumnya melihat kewajiban terhadap negara ini merupakan salah satu alasan bagi seorang warga negara untuk berupaya mengejar kekayaan. Dengan memiliki kekayaan, orang dapat mempertahankan kebahagiaannya sendiri dan membuat seluruh keluarga atau kerabatnya ikut berbahagia. Ia pun dapat melakukan berbagai bentuk persembahan. Persembahan kepada pemerintah, yang sekarang ini dikenal sebagai pajak, adalah salah satu bentuk dari persembahan tersebut.[2]
Pajak dinamakan persembahan karena dibayarkan dengan rela, bukan karena takut. Kerelaan itu ada karena seorang rakyat mengabdi bukan sebab terpaksa, tetapi demi cinta dan tanggung jawabnya kepada bangsa dan negara.
Seorang penguasa dalam konsepsi Dewa-Raja, merupakan penjelmaan kehendak Tuhan. Tuhan sendiri berpihak pada rakyat banyak. Maka setiap pemimpin tidak mencari kebahagiaan bagi diri sendiri, melainkan ia harus sedia berkorban dan menderita dalam mengupayakan kebahagiaan bagi orang yang dipimpinnya. “Bila penderitaan banyak orang dapat ditukar dengan penderitaan satu orang, maka seharusnya yang satu ini menerima penderitaan itu dengan penuh kasih setulusnya,” demikian ujar Shanti Deva. Buddha memberi petunjuk agar para pemimpin memperhatikan Sepuluh Kebajikan Raja (Dasa Raja Dhamma). “’Bijaksanalah seorang raja yang memerintah negerinya dengan menghindari perbuatan yang jahat, dengan tidak melanggar Sepuluh Kebajikan Raja, yang berlaku benar lagi adil.”[3] Raja yang dimaksudkan di sini adalah semua orang yang berkedudukan sebagai pemimpin, besar atau kecil, baik di lingkungan pemerintah, atau pun di luar pemerintah, termasuk organisasi agama misalnya.
Sepuluh Kebajikan Raja tersebut terdiri dari: (1) dana (memberi dan menolong), (2) sila (bermoral luhur), (3) pariccaga (sedia berkorban), (4) ajjava (tulus hati), (5) maddava (ramah dan sopan), (6) tapa (sederhana dan mampu mengendalikan diri), (7) akkodha (cinta damai, bebas dari sikap bermusuhan), (8) avihimsa (tanpa kekerasan) (9) khanti (sabar, penuh pengertian), (10) avirodha (tidak bertentangan).
Tanpa moral yang baik, kekuasaan mudah membuat seorang pejabat menjadi penjahat, apakah itu pembohong, pencuri, pemerkosa, atau pembunuh. Untuk memilih seorang pemimpin, di Amerika dan Jepang misalnya, latar belakang kehidupan pribadi dan bagaimana moral orang yang dicalonkan selalu disorot secara terbuka. Rakyat kita di desa-desa pun tidak akan memilih kepala desa yang nakal.
17 Januari 1990
[1] Anguttara Nikaya VIII, 6:53
[2] Anguttara Nikaya V, 4:41
[3] Jataka 385