Kepemimpinan dan Ketergantungan
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Sepanjang manusia hidup berkelompok, selalu dapat ditemukan adanya orang yang menjadi pemimpin dan orang-orang yang perlu dipimpin. Kepemimpinan didefinisikan bermacam-macam, tetapi pada umumnya dipandang sebagai suatu hubungan kegiatan mempengaruhi orang lain agar bekerja sama dalam mencapai suatu tujuan.
Atas dasar kekuasaan rasional atau berdasarkan hukum, adanya keputusan dan pengangkatan resmi untuk menduduki jabatan tertentu memberi hak dan wewenang kepada seseorang sebagai pemimpin yang formal. Ada pula pemimpin yang muncul berdasarkan kekuasaan tradisional dan kharismatik. Bagaimana pun seorang pemimpin diakui mempunyai kelebihan, mungkin lebih kuat, lebih pandai, lebih unggul kualitas pribadinya, dan lebih memiliki kesempatan daripada orang-orang di sekitarnya.
Bisa jadi secara alamiah ada orang yang dilahirkan untuk menjadi pemimpin, sebagai buah karma yang pernah diperbuatnya dalam kehidupan yang terdahulu. Seorang anak raja misalnya, dianggap dengan sendirinya dilahirkan untuk memimpin. Sebagai hasil karma dalam kehidupan sekarang, kesempatan itu bukanlah suatu hal yang kebetulan atau sesuatu yang datang dengan sendirinya. Kesempatan dapat diciptakan dan harus diperjuangkan. Karena itulah seorang anak petani atau rakyat kecil lain dapat pula menjadi pemimpin.
Pada hakikatnya suatu kesempatan hanya punya arti apabila dibarengi pula dengan kemampuan atau kecakapan. Seorang anak raja belum tentu berhasil menjadi pemimpin apabila tidak ditunjang kepribadian yang kuat atau keunggulan lainnya. “Terlahir sebagai keturunan ksatria, dengan cita-cita yang tinggi, merindukan kursi kekuasaan, namun hanya sedikit memiliki kemampuan, inilah sebab kemerosotan.”[1] Di pihak lain, tiap orang dapat belajar bagaimana menjadi pemimpin, tetapi pengetahuan tentang kepemimpinan hanya menghantarkan pada kemungkinan lahirnya pemimpin, tidak berarti menciptakan pemimpin. Munculnya seorang pemimpin merupakan hasil interaksi antara orang dengan kualitas yang unggul dan situasi lingkungannya.
Hubungan antara masyarakat kelompok dan pemimpin dapat dibedakan menurut ketergantungannya pada diri sang pemimpin. Masyarakat tradisional ataupun masyarakat otokrasi, sangat mengandalkan dan tergantung pada pemimpinnya (leader dependency). Jalan pikiran masyarakat tak lain dari jalan pikiran pemimpinnya. Apa yang dipikir baik oleh sang pemimpin, harus baik pula bagi masyarakatnya. Anggota masyarakatnya mungkin apatik, tetapi tidak jarang justru fanatik bahkan agresif mendukung pemimpin yang dikultuskan. Masyarakat modern yang mempunyai cara berpikir lebih maju, melepaskan ketergantungannya pada pribadi sang pemimpin.
Lebih dari dua puluh lima abad yang lalu, Buddha sudah memberi pengarahan kepada para pengikut-Nya agar tidak menggantungkan nasib diri sendiri kepada orang lain. Ia tidak menginginkan kondisi masyarakat yang tergantung di tangan seorang pemimpin. Organisasi pengikut-Nya tidak dibiarkan bersandar pada diri pribadi seorang pemimpin, bahkan pada diri Buddha sendiri sekalipun. “Ananda, Tathagata tidak berpikir bahwa diri-Nya adalah pemimpin dari Sanggha atau bahwa Sanggha tergantung pada diri-Nya.” Namun ia mengarahkan agar para siswa-Nya memegang teguh Dharma sebagai pedoman. “Jadilah pelita bagi dirimu sendiri. Jadilah pelindung bagi dirimu sendiri. Janganlah menyandarkan nasibmu kepada makhluk lain. Peganglah teguh Dharma sebagai pelita. Peganglah teguh Dharma sebagai pelindungmu, demikian sabda Buddha menjelang saat-saat akhir hidup-Nya. Kewibawaan seseorang yang dituakan diakui bila sesuai dan tidak bertentangan dengan Sutta (kumpulan ajaran) atau Winaya (kumpulan peraturan). Selain itu, Buddha mengingatkan agar para siswa yang yunior menghargai mereka yang senior, khususnya dengan mengatur bagaimana cara mereka bersikap dan saling memanggil.[2]
Senioritas tidaklah diukur dari usia seseorang. Bagaimana tingkat pencapaian kesucian dan berapa lamanya menjalani penghidupan suci, itulah yang menjadi ukuran kedudukan seseorang. Buddha mengakui suatu prestasi berhubungan dengan spesialisasi dan diferensiasi, kepemimpinan pun cenderung berkembang dari multifungsional ke arah monofungsional. Jika Ia mengumumkan nama salah seorang siswa-Nya yang terkemuka tentu disertai keterangan tentang apa yang menjadi kelebihan atau keunggulannya. Biasanya setiap orang memiliki keahlian tertentu dalam bidangnya. masing-masing.
Maka, agaknya kepemimpinan dalam agama Buddha berorientasi pada fungsi atau tugas, tetapi tidak bersifat otokratis. Kepemimpinan bukanlah membuat orang lain terpengaruh, tunduk, dan tergantung pada diri sang pemimpin. Sebaliknya kepemimpinan itu adalah bagaimana membuat seseorang meningkatkan kualitas dirinya hingga mampu untuk tidak menyandarkan nasib pada orang lain.
28 Juni 1989
[1] Parabhava Sutta
[2] Digha Nikaya 16