Menghargai Kemerdekaan
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Akan ada suatu ketika, kekerasan berkembang dengan cepat. Penghancuran kehidupan menjadi umum. Pandangan yang keliru, keserakahan dan kedengkian, kebencian dan dendam, membuat manusia melupakan kebajikan dan moral. Di antara orang-orang seperti itu tiada lagi rasa hormat kepada orangtua, saudara, dan sesama manusia. Mereka mengabaikan cinta dan agama.
Orang-orang itu saling bermusuhan dan memandang satu sama lain seperti: binatang buas. Pedang-pedang tajam selalu siap di tangan dan pikir mereka, “Itu dia binatang buas, itu dia binatang buas.” Dengan senjatanya mereka saling menikam dan membunuh. Itulah yang dinamakan Masa Pedang (satthantarakappa) oleh Buddha. Kekerasan itu tidak pernah menghasilkan kebahagiaan, bahkan sebaliknya menambah penderitaan. Karena perbuatannya sendiri manusia menderita dan rata-rata usia atau harapan hidup menjadi semakin pendek.
Setelah sampai pada puncak penderitaan, tak tahan lagi menjalani hari-hari yang diliputi hawa kematian, manusia mulai menyadari kesalahannya. Mereka saling menghindar agar tidak sampai saling menyerang. Lalu setelah lama tidak berpapasan, pada saat bertemu kembali, timbul perasaan syukur bahwa mereka masih tetap hidup. Orang-orang itu saling merangkul, senang karena masih bisa hidup. “Wah senangnya kita masih hidup,” katanya. Maka selanjutnya mereka hidup dengan damai dan menghindari perbuatan yang merugikan pihak lain.[1]
Manusia semakin maju dengan menguasai ilmu dan teknologi. Pedang tidak lagi punya arti. Bukan karena perang sudah dijauhi, tetapi pedang diganti oleh senjata api dan segala peralatan canggih. Alat-alat sudah mutakhir, dan manusia sendiri masih tidak berbeda dari orang-orang primitif yang saling menerkam bagai binatang buas. Apa yang diperbuat oleh seseorang akan berpengaruh pada lingkungannya. Dalam dunia yang maju apa yang diperbuat oleh suatu bangsa akan berada dalam satu pergerakan dunia. Kemelut apa saja yang terjadi pada satu bagian dari muka bumi akan terasa pengaruhnya terhadap manusia di bagian lain yang jauh dan tak terhitung jumlahnya. Seperti manusia perahu dari Vietnam dan Kamboja menimbulkan masalah pada banyak negara.
Irak yang menyerbu dan menduduki Kuwait tidak hanya mengancam kemerdekaan negara-negara di kawasan Teluk Persia, tetapi juga mengguncang dunia. Lalu banyak negara bereaksi, misalnya melakukan sanksi embargo ekonomi dan mengirim kekuatan militernya ke Teluk itu. Tidak bisa dilupakan bagaimana Hitler ingin mempersatukan dunia. Ia merampas dan membunuh. Perang Dunia yang dikobarkannya malah melahirkan Jerman yang terpecah dua. Bagi Jepang perang itu berakhir dengan pengalaman pahit jatuhnya bom di Hiroshima dan lahirnya kemerdekaan Indonesia. Dunia hanya menjadi baik kemudian setelah manusia menghargai kemerdekaan sebagai hak setiap bangsa dan menghormati sesama dengan hidup berdampingan secara damai.
Manusia merdeka seharusnya pula tidak dijajah oleh belenggu yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Terdapat sejumlah belenggu (samyojana) yang menjauhkan manusia dari kebahagiaan dan membuatnya mengulangi kehidupan yang penuh penderitaan. Belenggu itu misalnya pandangan yang keliru tentang ego atau keakuan (sakkayaditthi), hawa nafsu (kamaraga), kebencian atau niat jahat (byapada), kesombongan (mana), kekacauan pikiran (uddhacca), kebodohan (avijja). Kurangnya keyakinan pada Dharma atau Hukum Kebenaran (vicikiccha) dan kepercayaan yang salah mengenai jalan untuk membebaskan manusia dari penderitaan (silabbataparamasa) juga merupakan belenggu yang harus disingkirkan.
Hidup seseorang tidaklah untuk dirinya sendiri, tidak juga terbatas untuk golongan dan bangsanya sendiri. Barang siapa dapat menyingkirkan keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin akan memperoleh kedamaian. Dalam kedamaian itulah kemerdekaan merupakan hak setiap bangsa. “Untuk memelihara kerukunan dan memelihara rasa bersahabat atau persatuan di antara sesama manusia dibutuhkan kejujuran (sacca), pengendalian diri (dama), kesabaran (khanti), dan kemurahan hati (caga).
15 Agustus 1990
[1] Digha Nikaya 26