Panggilan Hidup Biarawan
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Semua orang tahu besarnya nilai rambut bagi seorang wanita. Rambut itu mesti dicukur habis untuk menjadi rahib Buddha. Salah satunya, Anila Jampa, seorang wanita Inggris yang bermata biru, dicukur gundul untuk mengenakan jubah Tibet yang berwarna merah tua.
Hampir sepuluh tahun yang lalu, ia pernah menjadi perhatian beberapa surat kabar Juar negeri. Perempuan muda itu produk generasi rock dengan busana yang serba ‘wah’. Tetapi gundul dan jubah bukan soal mode. Ini adalah cara hidup. Bagi Anila Jampa berarti meninggalkan klub-klub malam, narkotika, dan gaya hidup absurd yang pernah membuainya. Dituntun oleh seorang Lama, ia menjadi biarawati dan tinggal di sebuah gua 3.000 kaki di atas danau Sopema di India.
Menjadi rahib berarti meninggalkan kehidupan seks. Maka tidak sedikit orang yang memperkirakan cara hidup ini sesuai untuk mereka yang sedih ditinggalkan kekasih. Atau menurut Raja Kuru kemalangan saja yang membuat orang mau mencukur rambut dan janggut untuk mengenakan jubah rahib. Ada empat macam kemalangan dalam pandangannya. Selain malang karena hidup sendiri kehilangan orang-orang yang dikasihi, ada yang malang karena merasa sudah tua, malang karena sakit-sakitan, dan malang karena jatuh miskin.[1]
Anila Jampa benar malang. Semua orang bisa malang. Namun tidak banyak yang memilih mencukur rambut dan mengenakan jubah kuning, atau jingga, merah, dan warna lainnya. Kemalangan bukanlah pertanda panggilan untuk hidup membiara. Hanya orang yang menyadari kemalangan itu dan mengubah perasaan emosinya menjadi kebijaksanaan yang terpanggil untuk membiara. “Kalau aku memikirkan kesedihan penduduk dunia, kedukaan mereka menjadi milikku,” demikian ujar Anila Jampa. Keterlibatan yang mendalam dengan penderitaan manusia lain, atau merasa bersatu dengan derita semesta tidak ditemukan pada orang yang meratapi nasib sendiri.
Segala bentuk konsepsi ‘keakuan’ bukan lagi bagian dari hidup murid Buddha. Sedikitnya ada 227 ketentuan yang mengatur disiplin seorang biksu, dan lebih banyak lagi untuk golongan perempuan. Mereka tidak memerlukan rumah kepunyaan sendiri, tidak memerlukan harta pribadi. Barang milik pribadi yang diperlukan cuma pakaian atau jubah dan sebuah mangkok makan. Tanpa adanya panggilan atau dorongan hati sendiri gaya hidup para rahib ini mustahil untuk dipatuhi.
Dalam memenuhi kebutuhan yang sama, orang bisa berbeda keinginan. Aristippos ingin makan enak dan hidup mewah. Ia mencibir Diogenes yang bersahaja, katanya, “Kalau saja engkau mau belajar menghamba kepada raja, engkau tidak perlu lagi makan sampah seperti ubi.” Sebaliknya jawab Diogenes, “Kalau engkau sudah belajar hidup dengan makan ubi, tidaklah perlu menjilat raja.” Ketika seorang raja menawarkan hadiah kepadanya, Diogenes meminta agar sang raja bergeser sedikit sehingga tidak menghalangi sinar matahari yang menuju rahangnya. Setelah itu ia berkata, “Cukuplah Tuanku, aku tidak ingin apa-apa lagi.” Seperti Diogenes biarawan tidak perlu belajar menjilat raja atau penguasa lain.
Raja yang justru menaruh hormat kepada para biksu atau biksuni. Sebagaimana misalnya yang dikemukakan oleh Raja Ajatsattu, ia menghormati setiap rahib, sekalipun asalnya hanya seorang budak. Dengan menjadi biksu, seorang budak mendapatkan kebebasan dan terangkat derajatnya?[2] Di antara mereka yang mendapat kemuliaan dengan menjalani kehidupan sebagai biksu, terdapat Sunita yang asalnya tukang sampah dan Upali seorang tukang cukur. Tentu saja bukan hanya penampilan fisik yang mengubah nasib mereka. Seorang biarawan dihormati karena memiliki pikiran, ucapan, dan perbuatan yang baik, terkendali tanpa keserakahan dan kebencian.
Mereka melihat orang-orang lain belum bebas dari kemelekatan nafsu indra, yang mengejar kepuasan indra, mengidamkan kepuasan indra dan terbakar oleh kegelisahannya. Sedangkan orang-orang suci menemukan kebahagiaan lain yang lebih luhur dari kepuasan indra. Tentu saja orang yang dapat menikmati kebahagiaan yang lebih luhur itu tidak akan menyenangi kepuasan duniawi yang fana, tidak menginginkan kehidupan absurd apalagi menjadi iri pada orang-orang yang mabuk keduniawian.[3]
Yasa, putra saudagar Benares yang kaya raya, yang dikelilingi wanita-wanita cantik, yang dihibur para penari dan penyanyi, menemukan kebahagiaan dengan meninggalkan segala kesenangan duniawi itu. Demikian pula Ratthapala, anak brahmana di Tullakotthita, tidak melihat timbunan uang dan emas permata dapat membahagiakannya. Mereka atau para pangeran seperti Ananda, Anuruddha, dan lain-lainnya bukan manusia yang ditimpa nasib buruk lalu putus asa dan meratapi kemalangannya. Mereka memiliki segala kelebihan duniawi yang diidam-idamkan orang lain. Orang-orang dengan latar belakang ini malah mengunjungi rumah-rumah umat dengan menadahkan mangkok batilnya untuk menerima pindapata, sedekah makanan, yang tidak jarang berupa makanan sisa.
Para biksu pun mengunjungi orang miskin. Tidak terkecuali, mereka meminta bahkan kepada orang miskin. Banyak orang berpikir bahwa para biksu dapat menolong orang miskin dengan memberi atau mengalihkan harta kelebihan orang kaya kepada orang miskin. Namun sesuai dengan hukum karma, kaya atau miskin merupakan buah dari perbuatan orang yang bersangkutan. Maka orang miskin harus diberi kesempatan lebih banyak untuk menanam kebajikan, supaya nasibnya di kemudian hari dapat menjadi lebih baik.
Dalam suasana Kathina, bulan persembahan kebutuhan Sanggha (himpunan biksu), dana tidak hanya datang dari orang-orang yang hidup berkecukupan. Umat yang menyadari kekurangannya dan yakin pada hukum karma, berusaha menggunakan kesempatan ini untuk melakukan kebajikan sesuai dengan kemampuannya. Para biksu telah merendahkan dirinya untuk menjadi pengemis yang paling miskin, yang menerima kebajikan dan sekaligus memberikan berkah.
2 November 1988
[1] Majjhima Nikaya 82
[2] Digha Nikaya 2
[3] Majjhima Nikaya 75