Sang Aku Itu Ilusi
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Seorang pejabat percaya bahwa mestinya ia tidak cukup memiliki tanah dan satu rumah sebatas yang ditinggalinya sehari-hari. Seorang istri merasa menjadi manajer yang semakin top setiap suaminya naik pangkat dan boleh mengatur para bawahan sang suami hingga istri mereka sekalipun. Anak orang-orang besar itu pun merasa bahwa ia sepintar sang ayah dan harus selalu naik kelas kalau perlu dengan mengancam guru. Itulah pertanda adanya ego atau sang aku.
Keakuan itu diselubungi nafsu menuntut untuk memiliki dan menguasai. Ia tidak cukup dengan memiliki diri sendiri, tetapi juga merasa memiliki orang lain dan segala yang ada di luar dirinya sendiri. Terdorong oleh hawa nafsu, orang mengambil apa yang tidak menjadi haknya atau mencuri, bertengkar dan berkelahi hingga saling bunuh, atau melakukan berbagai macam kejahatan lainnya. Penderitaan seorang manusia berasal dari keakuan yang membelenggu dan membuatnya terperosok dalam suatu lingkaran tanpa akhir.
Oleh karena itu jalan keluar dari perangkap penderitaan tak lain dengan membuang keakuan tersebut. Penderitaan akan hilang jika tidak ada lagi ego yang menderita. Menurut Buddha, ego cuma suatu angan-angan yang menyesatkan. Ego cuma suatu ilusi. Lalu jadilah mengagetkan, seperti ditulis oleh Huston Smith, bahwa Buddha menyatakan manusia tidak mempunyai jiwa (atta dalam bahasa Pali atau atman dalam bahasa Sansekerta).
Apabila jiwa diartikan sebagai suatu substansi spiritual yang berdiri tersendiri, terpisah secara abadi dari jasmani, jelas Buddha memang tidak membenarkannya. Menurut Buddha, apa yang dinamakan manusia yang terdiri dari unsur jasmani (rupa) dan rohani (nama), merupakan setumpukan dari lima agregat (pancakkhandha). Pancakkhandha ini saling berkaitan, sehingga tiada yang menjadi inti dan secara kontinyu berlangsung mengikuti hukum kausalitas.
Kelompok khandha yang pertama adalah rupakkhandha (bentuk jasmani). Dalam kelompok ini termasuk empat mahabhuta yang terdiri dari unsur padat/tanah, cair/air, panas/api, dan gerak/angin, juga semua indra dan obyek sasarannya. Kelompok yang kedua adalah vedanakkhandha (perasaan). Dalam kelompok ini termasuk semua perasaan yang menyenangkan, yang tidak menyenangkan dan yang netral, yang timbul karena adanya kontak dari indra dengan dunia luar. Kelompok yang ketiga adalah sannakkhandha(pencerapan) yang mengenal obyek fisik ataupun mental, sebagaimana perasaan juga timbul karena adanya kontak indra dengan dunia. luar. Kelompok yang keempat adalah sankharakkhandha (bentuk pikiran) yang mencakup semua kegiatan kehendak, termasuk apa yang dinamakan karma. Kehendak ini pun berhubungan dengan indra dan obyek sasarannya masing-masing, apakah itu berupa bentuk fisik atau mental. Kelompok yang kelima vinnanakkhandha (kesadaran) sebagai respon yang selalu dihubungkan dengan indra dan obyek sasarannya.
Kesadaran misalnya dapat berlangsung dengan mempunyai benda sebagai perantara (rupapayang) dan benda sebagai obyek (ruparammanang), benda sebagai pembantu (rupapatitthang). Kesadaran dapat berlangsung dengan mempunyai perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran sebagai perantara, sebagai obyek, sebagai pembantu dan ia tumbuh, bertambah atau berkembang. Andaikata ada orang yang berkata bahwa ia akan memperlihatkan datangnya, jalannya, lenyapnya, timbulnya, bertambahnya, atau berkembangnya kesadaran terlepas dari benda, perasaan, pencerapan, dan bentuk-bentuk pikiran, maka ia telah berkata tentang sesuatu yang tidak ada.
“Hanya bila semua bagian telah tersusun baik, kata ‘kereta’ muncul dalam pikiran, begitu pula, berdasarkan perjanjian kita berkata itulah suatu makhluk bila agregatnya tersusun.”[1] Sebuah kereta adalah kumpulan dari roda, badan kereta, dan komponen lain. Roda saja bukanlah kereta. Demikian halnya sang aku bukanlah badan jasmani, sekalipun setiap orang berkata “aku sakit” ketika tubuhnya terkena penyakit. Tidak juga sang aku dapat diidentikkan sebagai salah satu perasaan, persepsi, pikiran, atau kesadaran yang menjadi inti dan berdiri sendiri.
Lalu bagaimana dengan jiwa atau kehidupan lain setelah tubuh jasmani mati? Pangeran Payasi misalnya tidak percaya bahwa ada alam kehidupan lain setelah kematian, tidak percaya pada adanya jiwa yang dilahirkan kembali dan menanggung buah dari perbuatan baik atau buruk. Ia berdalih bahwa orang mati tidak menjadi lebih ringan dari orang hidup, ia tidak pula dapat melihat jiwa yang keluar ketika membuka tutup tempayan, yang dipergunakan untuk memanggang orang hidup-hidup, tidak menemukan jiwa dengan menguliti dan mencabik tubuh seseorang hingga orang itu mati. Biksu Kumara Kassapa menanggapinya dengan berbagai cara. Di antaranya jangan membandingkan Pangeran Payasi sebagai orang bodoh yang mencari suara sangkakala dengan menjungkirbalikkan atau membongkar alat itu. Setelah pemilik sangkakala mendemonstrasikan bagaimana meniup alat itu hingga berbunyi, tahulah orang bodoh tadi bahwa harus ada orang, ada usaha yang benar, ada udara pada sangkakala untuk membuat sangkakala mengeluarkan suara.[2]
Tidak ada sang aku, jiwa, roh, apa pun namanya, yang kekal menjadi lawan dari badan jasmani yang fana. Apa yang dinamakan kelahiran kembali bukanlah perpindahan jiwa. Buddha menjelaskannya dengan perumpamaan tentang api yang dipindahkan dari suatu pelita ke pelita yang lain. Api dari pelita yang belakangan tidaklah sama dengan api dari pelita sebelumnya, tetapi keduanya jelas memiliki hubungan sebab-akibat, di mana yang dipindahkan bukan substansi itu sendiri.
Ego atau jiwa yang kekal abadi adalah ilusi. Setiap unsur rohani sebenarnya senantiasa berubah. Kelangsungan hidup setelah mati merupakan arus yang tidak terputus-putus tanpa suatu substansi inti yang berdiri sendiri. Dengan membuang ilusi keakuan, lenyaplah ego ke dalam realitas absolut yang universal.
2 Agustus 1989
[1] Samyutta Nikaya V, 10
[2] Digha Nikaya 23