Meditasi Cinta Kasih
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Begini kita diajarkan berdoa, “Semoga semua makhluk bebas dari kebencian, bebas dari kemalangan atau ketakutan, dan hidup berbahagia.”[1] Dalam doa ini kita tidak hanya mengharapkan kebahagiaan bagi sesama manusia, tetapi juga bagi semua makhluk hidup lain.
Bagaimana mungkin kita tidak berdoa untuk diri sendiri? Siapa lagi yang akan berdoa untuk diri kita kalau bukan kita sendiri? Betul, ujar Buddhaghosa. Paling mudah doa ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, misalnya, “Semoga aku hidup bahagia, tanpa kesukaran, tanpa pertikaian, tidak menyeleweng, terlepas dari segala penderitaan.” Selanjutnya Buddhaghosa mengingatkan, walau kita mengulangi doa-doa “Semoga aku bahagia dan seterusnya” untuk seratus tahun pun kita tidak akan mencapai kemajuan batiniah.
Pada saat merenungkan kebahagiaan baginya sendiri, seharusnya setiap orang merenungkan pula, “Jika aku ingin bahagia dan tidak ingin menderita, jika aku ingin hidup dan tidak ingin mati, begitu pula makhluk lain memiliki keinginan yang sama.” Dengan demikian selanjutnya timbul dorongan untuk berdoa dan merenungkan kebahagiaan bagi orang lain. Dengan membayangkan akibat-akibat yang mengerikan dari kebencian, kita menggunakan pikiran yang penuh cinta kasih untuk mengusir kebencian dari diri kita.
Doa yang tak putus-putus dapat membangkitkan getaran suci dalam kalbu dan menghantar pikiran untuk memusat pada satu jurusan. Doa pun menjadi langkah mula melatih meditasi cinta kasih (metta-bhavana) yang berlangsung sebagai renungan mengharapkan semua makhluk sejahtera dan bahagia. Meditasi cinta kasih ini paling sering dilakukan dalam berbagai kegiatan ibadah, dan lazimnya didahulukan sebelum melatih meditasi lain. Hanya orang yang penuh cinta kasih yang hidup dalam rumah Tuhan Yang Maha Pengasih (Brahma vihara). Sudah barang tentu pengembangan cinta kasih menyempurnakan semua bentuk kebajikan.
Latihan meditasi dimulai dengan pengertian yang benar, pikiran yang bersih, itikad yang baik dan tekad yang kuat. Walau boleh berlatih dengan sikap apa pun, biasanya dianjurkan untuk memilih sikap duduk bersila. Kedudukan badan tegak lurus, tetapi tidak kaku dan tidak bersandar pada belakang kursi atau pada dinding. Kedua tangan diletakkan dengan santai di atas pangkuan, bertumpu dengan ibu jari saling menyentuh. Mata boleh dipenjamkan atau terbuka sedikit seraya memandang santai pada ujung hidung. Lidah menyentuh langit-langit mulut, dan bibit terkatup rapat. Agar terasa nyaman, tubuh tentunya harus bersih, pakaian kendor dan perut cukup terisi. Tempat yang dipergunakan sepantasnya tenang, sejuk, dan bersih.
Apabila banyak pikiran atau dirasakan letih untuk mulai dengan doa, bisa didahului dengan memperhatikan dan menghitung pernapasan. Setelah tenang, pikirkan diri sendiri dan berdoa, misal “Semoga aku sehat, kuat, puas, dan dapat mempertahankan kebahagiaan bagiku sendiri.” Kemudian pikirkan seseorang yang dihormati, dan berdoa dengan kata-kata yang sama, dengan mengubah “aku” menjadi “engkau”. Pikirkan pula seseorang yang baik atau seorang teman dengan cara yang sama. Demikian diulangi untuk berbagai orang, yang netral ataupun yang pernah menyakiti hati. Namun untuk pemula dianjurkan agar tidak memilih obyek orang yang tidak disenangi atau yang membangkitkan nafsu asmara, yang terlalu dicintai, dan yang sudah meninggal dunia.
Untuk orang tertentu mungkin lebih mudah memusatkan pikiran pada segala sifat yang baik dan keinginan yang baik. Pikiran tersebut ditujukan kepada diri sendiri, meliputi seluruh tubuh, mulai dari ujung rambut hingga ke telapak kaki, dirasuki pikiran baik tersebut. Setelah memenuhi diri dengan kebahagiaan dan cinta kasih, ia memancarkan pikirannya yang bahagia dan penuh cinta kasih, yang ramah dan bersahabat itu ke segala penjuru.[2]
Biasanya orang hidup sebagaimana pikirannya terikat pada masa lalu atau penuh angan-angan masa mendatang. Bermeditasi itu melatih hidup pada saat sekarang. Setiap orang harus sadar pada apa yang dilakukan setiap detik. Maka dalam keadaan berdiri atau berjalan, duduk atau berbaring sepanjang tidak jatuh lelap, ia tekun mengembangkan kesadaran ini, yang dinamakan tinggal dalam rumah Tuhan.[3]
Baso Doitsu (Ma-tsu) sering menghabiskan waktu dengan duduk bermeditasi. Nangaku Ejo (Nan-ye) gurunya, bertanya, “Untuk apa engkau bermeditasi?” Jawab sang murid, “Aku ingin menjadi Buddha”. Lalu guru tersebut mengambil sebuah batu dan menggosoknya. Apa gerangan maksudnya? Ia berkata, “Aku ingin membuat batu ini menjadi cermin.” Tentu saja Baso keheranan, bagaimana mungkin batu itu bisa digosok menjadi cermin? Gurunya yang bijak menjelaskan, “Kalau batu digosok tidak bisa menjadi cermin, bagaimana pula duduk bermeditasi dapat menjadi Buddha?”
Meditasi tidak lantas berarti menyingkir dari kegiatan sehari-hari, semata-mata menyepi dan duduk bersila. Seseorang berhasil menjadi Buddha pun, justru karena keterlibatannya yang mendalam dalam permasalahan kehidupan. Menurut Buddhaghosa, dalam hidup sehari-hari, cinta kasih terlihat dari corak pelaksanaan itikad yang baik. Intisarinya tiada lain dari perbuatan yang bernilai luhur dan muncul dengan mengalahkan dendam, berdasarkan pemahaman tentang apa yang menyenangkan makhluk lain serta meluruskan penyelewengan yang bersifat egoisme.[4]
14 Desember 1988
[1] Visuddhimagga IX, 9
[2] Tevijja Sutta
[3] Karaniya Metta Sutta
[4] Visuddhimagga IX:318