Renungan Kematian
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
“Barangsiapa bijaksana, ia akan merenung senantiasa, bahwa maut dengan kekuatan yang dahsyat, dapat merenggut manusia setiap saat.”[1] Peristiwa kematian selalu kita hadapi kapan saja, di mana saja dan bisa terjadi pada siapa saja. Salah satunya peristiwa tabrakan maut di Ancol 26 November yang lalu dengan korban tiga orang biksu, seorang samanera, dan seorang upasaka.
Manusia acapkali menjadikan peristiwa kematian sebagai pusat usahanya yang paling berharga dengan membangun obyek-obyek keagamaan dan memohon berkah untuk mencapai kehidupan yang kekal abadi. Dapat dimengerti, dari keinginan akan kekekalan itu, manusia memerlukan agama dan mencoba untuk memberi sesuatu yang lebih berarti pada akhir kehidupannya, demikian dikemukakan oleh Biksu Sri Dhammananda. Masalahnya banyak orang yang keliru, dengan mengharap kebahagiaan di surga, mengabaikan kehidupannya di bumi, sedangkan menurut Buddha surga itu pun tidaklah kekal. Sebaliknya lebih banyak lagi orang yang asyik terbelenggu pada keduniawian lalu maut datang mendahului sebelum seseorang siap menghadapinya.
Kematian mirip kerusakan bola lampu listrik, demikian tulis mendiang Maha Pandita Karbono. Cahaya lampu telah padam, namun aliran listrik tidak. Bila bola lampu baru dipasang Cahaya menyala lagi. Serupa itu terdapat pula kelangsungan aliran hidup. Kematian merupakan proses hancurnya kesatuan jasmani dan rohani dari suatu periode kehidupan. Berakhirnya satu periode kehidupan diikuti langsung dengan awal periode kehidupan lain. Kematian bagi seseorang bukanlah peristiwa yang pertama. Semua makhluk telah berkali-kali mengalaminya.
Seandainya orang menangisi suatu peristiwa kematian, seperti dinyatakan oleh Buddha kepada Patacara, air mata yang pernah dicucurkan itu lebih banyak daripada air keempat samudra. Setelah memahami arti kematian itu, Patacara berhenti menangis. “Tak diundang ia kemari, tak diminta ia pergi sesungguhnyalah entah datang dari mana, ia singgah di sini barang beberapa hari,” katanya. “Melalui satu jalan ia datang, melalui jalan lain ia akan pergi. Meninggal sebagai manusia, seseorang menjalani kelahiran berikutnya, seperti ia datang begitu pula ia pergi, mengapa mesti bersedih?”[2]
Bagi orang yang menghadapi kematian, bayangan karma atau ingatan akan perbuatan masa lalu yang sangat berkesan. Yang muncul di saat-saat terakhir akan mempengaruhi segera corak kehidupan berikutnya. Hal ini bisa dibandingkan dengan pikiran terakhir sebelum orang tidur, yang dapat menjadi pikiran pertama sewaktu ia bangun. Keadaan batin saat menghembuskan napas terakhir berhubungan dengan suasana alam kelahiran yang berikutnya. Orang yang tenang batinnya akan lahir di alam surga.
Pada umumnya kesadaran menjelang kematian menyertai kondisi jasmani yang lemah. Itu tidak cukup kuat untuk tetap waspada menentukan arah dan bentuk pikiran. Bentuk pikiran yang terkuat, yang merupakan kebiasaan selama hidupnya, akan menonjol pada saat kematian. Ingatan atas kesan-kesan yang lalu tak mudah diredam. Bentuk pikiran yang merupakan gaya dorong ini (maranasannajavana) mendahului kesadaran terakhir (cuti citta), terdiri dari salah satu bentuk: (1) kesan yang mendalam dan jelas dari perbuatan (kamma) yang diingat oleh orang yang bersangkutan; (2) kesan mendalam itu berupa suatu bagian yang berhubungan dengan atau mengingatkan perbuatan masa lalu (kamma nimitta). Misalnya suatu senjata mengingatkan peristiwa pembunuhan; (3) Kesan timbul dalam bentuk bayangan perjalanan atau cerminan angan-angan akibat dari perbuatan di masa lalu (gati nimitta). Misalnya, bayangan api neraka bagi orang yang pernah melakukan kejahatan.
Menurut Kitab Visuddhimagga, seorang siswa yang rajin merenungkan kematian akan senantiasa sadar. Pada saat menjelang kematian ia bebas dari ketakutan, mampu menguasai diri, sehingga seandainya tidak mencapai kekekalan Nirwana, setidak-tidaknya ia akan dilahirkan di alam surga yang lebih baik. Perenungan tentang kematian disebut marananussati bhavana, merupakan salah satu bentuk meditasi pelindung (arakkhakammatthana). Seperti perenungan terhadap pernapasan (anapanasati), perenungan tentang kematian tergolong samatha bhavana yang tujuannya mengembangkan ketenangan batin.
Mereka yang mempraktikkan meditasi ini pada suatu waktu atau saat tertentu harus ingat bahwa kematian akan datang kapan saja. Apabila seorang siswa yang masih muda tidak memahami bahwa kematian dapat merenggutnya setiap saat, karena ia menganggap bahwa kematian adalah perkara orang yang sudah lanjut usia, maka perenungannya tentang kematian tidak akan memberi hasil yang baik.
Perenungan kematian tak lepas dari pemahaman tentang hukum karma. Dalam paham Buddhis, tidak ada suatu apa pun yang terjadi secara kebetulan. Tetapi setiap keadaan dan peristiwa merupakan akibat wajar dari suatu proses. Hubungan sebab akibat dalam hukum karma sesungguhnya tidak sama dengan pembalasan. Seorang penjahat di masa lalu bisa saja hari ini menjadi orang suci yang dimuliakan. Perenungan kematian juga menjangkau aspek perpaduan (sankhara) yang tidak kekal (anicca), setelah timbul segala yang terbentuk akan hancur. Aspek lain adalah hukum sebab-musabab yang bergantungan atau bersyarat (paticca-samuppada) dan kelahiran kembali atau penjelmaan (bhava), segala sesuatu dalam keadaan berubah untuk terbentuk menjadi sesuatu lagi.
Perenungan tentang kematian menghancurkan segala khayalan, menghancurkan nafsu yang berlebihan, memberi keseimbangan dan pandangan yang sehat mengenai nilai kehidupan. Kesombongan seseorang, apakah karena kedudukan, keturunan, kekayaan, dan lain-lain, akan luluh manakala disadari benar bahwa maut meratakan segala perbedaan itu tanpa kecuali. Cinta kasih pun berkembang apabila rintangan perbedaan tersebut disingkirkan.
7 Desember 1988
[1] Visuddhimagga
[2] Therigatha 129-130