Makna Perayaan Waisak
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Namo Sanghyang Adi Buddhaya,
Namo Buddhaya.
Peristiwa Trisuci kembali kita peringati pada saat purnama di bulan Waisak. Ketiga peristiwa itu adalah kelahiran, realisasi Penerangan Sempurna dan mangkatnya Manusia Buddha Gotama. Kendati banyak pertanda gaib yang menyertainya, ia memang seorang manusia biasa yang dilahirkan lewat rahim ibu, tunduk pada hukum kehidupan, mengalami proses pertumbuhan, menjadi lapuk atau tua, lalu meninggalkan dunia ini. Tetapi Manusia Buddha adalah wujud di bumi dari puncak kesempurnaan. Kesempurnaan bisa dicapai lewat perjuangan. Itulah yang ditunjukkan oleh Buddha. Ia tidak hanya berfirman, tetapi sekaligus memberi teladan.
Buddha Gotama atau Sakyamuni mengakhiri kehidupan di bumi ini pada usia 80 tahun. Kalau dikehendaki-Nya, Ia yakni Tathagata, dapat hidup terus sebagai manusia sepanjang satu masa yang tak terkirakan lamanya. Demikian disabdakan dalam Maha Parinibbana Sutta.[1] Di nirwana Ia melampaui jangkauan segala pengetahuan dan di luar batas daya akal manusia biasa. Nirwana sebagai Ketuhanan (Godhead) yang bersifat Mahaesa itu tidak dilahirkan, tidak terjelma, tidak tercipta, Yang Mutlak, dan merupakan pembebasan dari penderitaan?[2]
Buddha memiliki tiga tubuh (Trikaya), yaitu: 1) Tubuh perubahan (Nirmanakaya), tubuh ini dipakai untuk mengajar manusia biasa; 2) Tubuh Rahmat (Sambhogakaya), tubuh cahaya atau seringkali dinyatakan sebagai perwujudan surgawi; 3) Tubuh Dharma (Dharmakaya), disebut juga Rahim Tathagata (Tathagatagarbha) yang kekal, ada di mana-mana, bukan realitas personifikasi, esa, bebas dari pasangan yang berlawanan, dan ada dengan sendirinya. Terdapat banyak Buddha, tetapi hanya ada satu Dharmakaya. Dharmakaya ini identik dengan Adi Buddha. Ia yang secara historis dikenal sebagai Manusia Buddha sebenarnya wujud yang mewakili Adi Buddha. “Ia yang dinamakan Tathagata tidak datang dari mana-mana pun tidak pergi ke mana-mana”[3]
Memuliakan Buddha
Dalam setiap puja-bakti umat merenungkan keluhuran Buddha (Buddhanussati): “Demikianlah Bhagawa, Yang Mahasuci, Yang telah merealisasi Penerangan Sempurna berkat kekuatan-Nya sendiri, Sempurna pengetahuan serta pelaksanaannya, Yang Terbahagia, Pengenal segenap alam, Pembimbing yang tiada taranya, Guru para dewa dan manusia, Pembangun Kebenaran, Junjungan yang dimuliakan.”
Buddha sendiri menegaskan bahwa cara memuliakan atau menghormati Tathagata yang paling luhur adalah dengan berpegang teguh pada Dharma, hidup sesuai dengan Dharma.[4] Bagi orang kebanyakan yang mengutamakan bakti, dapat menghormati peninggalan-peninggalannya, apakah itu berupa abu jenazah, relik lain seperti gigi, rambut, dan barang perlengkapan yang disemayamkan dalam stupa atau candi. Mereka mungkin mengembangkan angan-angan pada Buddha, menggambarkan, atau menciptakan misalnya bunyi-bunyian, lagu dan karya lain, mempersembahkan bunga, dupa, dan sebagainya untuk mengagungkan Buddha.[5]
Arca-arca Buddha lazimnya menjadi pusat perhatian, Arca Buddha tertua yang pernah ditemukan berasal dari penggalian di Peshawar India Utara, tertanggal tahun pertama pemerintahan Raja Kanishka, diperkirakan tahun 78 Masehi. Patung dan gambar Buddha tidak dikenal sebelum itu. Relif pada stupa di Sanchi dan Bharhut misalnya tidak menggambarkan Buddha sebagai manusia. Tetapi gambaran jejak kaki dimengerti sebagai lambang Buddha. Atau pohon bodhi melambangkan Penerangan Sempurna, roda cakra melambangkan pembabaran agama. Pada hari-hari terakhirnya Buddha memang memberi petunjuk agar dibangun stupa sebagai tempat menyimpan abu jenazahnya.[6] Bentuk stupa berasal dari lipatan jubah sebagai alas, mangkok yang terbalik sebagai kubah dan tongkat sebagai tonggak puncaknya. Stupa dapat menjadi sarana untuk mengingatkan umat yang menaruh keyakinan dan mendorong agar melaksanakan ajaran Buddha. Pada zaman Asoka sifat Buddha yang transenden masih pantang digambarkan berwujud. Tidak ada arca pada stupa yang menjadi pusat pemujaan. Namun sekarang ini arca sebagai hasil budaya menjadi ciri agama Buddha. Arca cuma perlambang. Menghormati arca Buddha tak beda seperti menghormati bendera kebangsaan.
Menghias altar dengan sebuah atau pun sejumlah arca, menyalakan pelita atau lilin sepanjang hari-hari perayaan, mempersembahkan sesaji buah-buahan, manisan, air, bunga, dan dupa, memanjatkan doa, membacakan paritta, atau mantra, melakukan meditasi, mendengarkan khotbah, mengibarkan panji atau melaksanakan pula arak-arakan pradaksina mengelilingi obyek upacara, itulah ciri perayaan keagamaan. Pada upacara Waisak Nasional juga terdapat arak-arakan membawa air dari Umbul Jumprit dan api dari Mrapen menuju pusat perayaan di Mendut.
Memandikan patung dijadikan simbol dalam memperingati kelahiran Siddhattha Gotama yang disambut dengan turunnya hujan. Hujan memandikan bayi yang baru terlahir itu. Air suci sebenarnya adalah air yang dipersembahkan dengan disertai pembacaan paritta, mantra, atau doa. Air suci ini dipercikkan ke atas kepala umat sebagai lambang pemberkahan. Dahulu pemercikan air dilakukan pada upacara abhiseka, untuk menobatkan raja-raja dan menjadi semacam tanda lulus bagi cantrik. Kini air suci dipergunakan pula dengan maksud ‘permandian’, melengkapi wisudhi untuk umat yang menyatakan diri memeluk agama Buddha.
Tidak Sekedar Ritual
Pernah seorang brahmana bertanya apakah Buddha Gotama akan turun mandi di sungai Bahuka, di mana orang-orang membersihkan dosanya. Buddha pun menyatakan bahwa upacara semacam itu tidaklah menghapuskan dosa atau menyucikan para pendosa.[7] Demikian pula upacara yang dilakukan Raja Pasenadi dengan mengorbankan beratus-ratus hewan tidak. dibenarkan oleh Buddha.[8] Berkah dan penyucian diri hanya mungkin dicapai dengan membersihkan pikiran, melaksanakan kebajikan, dan menghindari kejahatan. Dengan membangun tempat ibadah, mencetak buku, atau membiayai organisasi agama saja, bahkan belum masuk hitungan kebajikan menurut Bodhidharma (470-543). Ia adalah biksu India yang terkenal dengan meditasi dan ilmu bela dirinya di Cina. “Buddha tak dapat ditemukan dalam kitab,” demikian antara lain alasannya. Dan ia mengajar agar memandang ke dalam hati masing-masing, di situlah Buddha akan dijumpai.
Ibadah bukan hanya ritual. Upacara dimaksudkan untuk mendorong perbuatan bajik secara nyata. Mengikuti keteladanan dan ajaran Buddha berarti menaruh rasa prihatin pada penderitaan dan berusaha mengatasinya, menghindari hal ekstrem, menolak kemewahan yang membiuskan, dan meninggalkan segala bentuk kekerasan atau hal-hal yang merugikan orang lain. Maka di balik upacara yang mungkin saja semarak, umat yang saleh memperteguh tekad untuk menjalankan Lima Sila: pantang membunuh, pantang mencuri, pantang berzinah, pantang berdusta, dan pantang makanan atau minuman yang memabukkan. Atau berpantang lebih dari itu, misalnya Delapan Sila, Sepuluh Sila. Umat berlomba melaksanakan paramita, termasuk memberi dana. Berdana dapat dengan mendermakan barang, menyumbangkan tenaga, menyumbangkan bagian tubuh sendiri (seperti donor darah), menyumbangkan pikiran, pengetahuan, dan Dharma, bahkan dapat pula dengan maaf-memaafkan (abhaya-dana). Banyak pula yang melepaskan burung, kura-kura, ikan, dan lain-lain ke alam bebas. Ibadah itu sempurna bila disertai paramita.
Semua bentuk upacara yang dibenarkan dalam agama Buddha mengandung maksud: (1) Memuja Tuhan Yang Mahaesa, memuliakan dan merenungkan sifat-sifat luhur Buddha, Dharma dan Sanggha; (2) Memperkuat keyakinan dengan tekad mengikuti petunjuk dan jejak Buddha; (3) Mengembangkan kekuatan batin, cinta kasih, welas asih, simpati, dan keseimbangan batin; (4) Meningkatkan penghayatan agama dengan mengulang dan merenungkan kembali khotbah-khotbah Buddha. (Pada perayaan Waisak, riwayat hidup Buddha Gotama sudah tentu merupakan pokok renungan); (5) Membagi perbuatan baik kepada makhluk lain.
“Subhuti, setiap orang, pria atau wanita, yang bertekad hendak mencapai Penerangan Sempurna, ia harus memelihara niat ini dalam pikirannya: Aku harus menyelamatkan semua makhluk dari kesengsaraan.”[9]
Upacara Waisak Nasional
Pada upacara Waisak Nasional di Mendut kegiatan telah dimulai sejak tanggal 9 Mei dan berakhir dengan puncak perayaan tanggal 13 Mei 1987. Upacara itu mempersatukan semua umat tanpa membeda-bedakan aliran atau sekte. Para rahib dan ketiga Sanggha, yaitu Sangha Agung Indonesia, Sangha Mahayana Indonesia dan Sangha Theravada Indonesia; Demikian pula para pandita dan pemuka agama dari ketujuh Majelis agama Buddha yang tergabung dalam Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) dipersatukan bersama semua umat.
Waisak Nasional tidak hanya mempersatukan kita dalam hal pemantapan ibadah yang berwujud ritual, tetapi juga sewajarnya mempersatukan kekuatan umat Buddha sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari bangsanya untuk membuktikan peran nyata dalam pembangunan. Agama berfungsi dalam penyelamatan umat, maka kehadirannya tidak mungkin terlepas dari pergumulan hidup setiap penganutnya, masyarakat, dan bangsanya. Jangan tinggal slogan. Agama membebaskan kita dari penderitaan, bukan membebankan.
Segala puji dan syukur ke hadapan Tuhan Yang Mahaesa, bahwasanya sinar Dharma menyentuh hati kita semua. Semoga kita senantiasa mampu melaksanakan paramita dan jasa yang melimpah-ruah serta semua makhluk mendapatkan keuntungan beraneka warna. Semoga para makhluk melindungi perdamaian dunia, melindungi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, melindungi pemerintah dan rakyat Indonesia yang sedang membangun. Sadhu, sadhu, sadhu. Selamat Hari Waisak 2531.
12 Mei 1987
[1] Digha Nikaya 16 (II, 116)
[2] Udana VIII, 3
[3] Vajracchedika Prajna Paramita Sutra 29
[4] Digha Nikaya 16 (II, 138)
[5] Saddharma Pundarika II
[6] Digha Nikaya 16 (II, 142)
[7] Majjhima Nikaya 7
[8] Samyutta Nikaya III, 1:9
[9] Vajracchedika Prajna Paramita Sutra 17