Menyambut Waisak, Hari Buddha
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Ia terlahir karena kasih kepada dunia, untuk kepentingan, kesejahteraan, dan kebahagiaan dari para dewa serta manusia.”[1]
Ketika itu bulan purnama sidhi dan bintang-bintang cemerlang menyertai sukacita seluruh jagat raya. Di taman Lumbini, di negeri Sakya, telah lahir seorang Bodhisattwa. Ia calon Buddha, yang berikrar bila masih ada satu saja makhluk yang belum diselamatkan, ia akan datang kembali ke dunia untuk menolongnya. “Mereka yang belum selamat, Akulah yang menyelamatkan. Mereka yang belum bebas dari belenggu, Akulah yang membebaskan. Mereka yang belum terhibur, akan terhibur …. Serta mereka yang belum mencapai Nirwana, akan mencapai Nirwana.”[2]
Peristiwa itu terjadi pada bulan Waisak tahun 623 sebelum Masehi. Calon Buddha Siddhattha Gotama lahir sebagai seorang putra mahkota. Ia dibesarkan di tengah kemewahan. Ayahnya menghindarkan dia dari segala bentuk penderitaan. Namun ia melihat orang tua, orang sakit, dan orang mati. Itulah penderitaan dan semua makhluk mengalaminya. Ia pun melihat petapa yang melepaskan keduniawian.
Keprihatinan pada penderitaan manusia, belas kasihan dan keinginan mulia untuk menolong seluruh makhluk, melatarbelakangi kehadiran dan perjuangan hidupnya di bumi. Banyak sudah kelahiran yang dilaluinya. Dari zaman ke zaman, dari satu masa-dunia (kalpa) ke masa-dunia berikutnya, sepanjang waktu yang tak terhingga lamanya, Sang Bodhisattwa telah berjuang mencapai kesempurnaan (paramita).
Kesempurnaan itu meliputi: (1) Dana-paramita, berupa amal dan pengorbanan; (2) Sila-paramita, hidup susila atau bermoral luhur; (3) Virya-paramita, semangat perwira termasuk patriotik dan gagah berani berusaha mengatasi segala rintangan; (4) Ksanti-paramita, sabar, terkendali hingga bebas dari kotoran batin; (5) Dhyana-paramita, berupa pemusatan pikiran, konsentrasi, atau meditasi; (6) Prajna-paramita, kebijaksanaan luhur atau transenden; (7) Upaya-paramita, dalam menggunakan cara atau sarana yang tepat untuk mencapai tujuan; (8) Pranidhana-paramita, memutuskan dengan tepat dan dengan mantap memenuhi sumpah atau ikrar; (9) Balaparamita, menghimpun dan menggunakan kekuatan; (10) Jhana-paramita, dalam memperoleh, mengembangkan, dan menggunakan pengetahuan.
Berbeda dengan orang-orang kebanyakan, yang berlomba hidup mewah, mengejar kekuasaan dan memuaskan hawa nafsu, Siddhattha justru meninggalkan istana, kedudukan, dan kekayaannya. Ia bertapa, melatih diri dalam kesederhanaan, dan mengendalikan nafsu. Bila kita memperingati hari kelahirannya kini, itulah karena kemuliaan yang dimilikinya. Kemuliaan yang tidak datang berkat kelahirannya sebagai keturunan penguasa, tetapi kemuliaan itu merupakan hasil perjuangannya menyempurnakan paramita dan menyelamatkan dunia.
Hari Buddha menurut tradisi Cina dan Jepang dirayakan pada tanggal 8 bulan keempat berdasar penanggalan lunar. Perayaan itu sendiri mungkin sudah dikenal di Cina sebelum abad ke-4. Pada saat itu iklim setempat dianggap paling nyaman, tidak terlalu panas, juga tidak terlalu dingin; segala bencana alam berakhir dan para makhluk aktif menikmati hidupnya dengan sukacita. Kelahiran Siddhattha disambut oleh segenap isi jagat. Bunga-bunga serentak bermekaran dan menyebarkan harum ke segala penjuru. Burung-burung berkicau mengalunkan paduan lagu yang merdu. Kapan lagi saat itu kalau tidak pada hari yang beriklim senyaman-nyamannya? Di Sri Lanka, Birma, Muangthai, Singapura, dan dunia internasional termasuk Indonesia, hari lahir Siddhattha dirayakan pada pertengahan bulan keempat penanggalan lunar tersebut. Namanya hari Waisak.
Perayaan Waisak tidak hanya memperingati hari lahir calon Buddha. Pada hari itu sekaligus diperingati tiga peristiwa penting dalam kehidupan Buddha zaman ini, yaitu: (1) Saat kelahiran; (2) Saat tercapainya Penerangan Sempurna/Kebuddhaan; (3) Saat Buddha Gotama mangkat (Parinirwana). Maka seringkali hari itu dinamakan Trisuci Waisak. Waisak 2531 tahun ini jatuh pada tanggal 13 Mei 1987. Dan saat purnama sidhi tepatnya pukul 19.45 WIB.
Di tengah bangsa-bangsa lain, kita memiliki citra kebangsaan sendiri dengan tradisi yang berkepribadian Indonesia. Perayaan Waisak secara nasional dipusatkan di Candi Mendut. Tradisi ini bukan hanya memberi arti dari segi pengamalan agama, namun lebih jauh lagi memantapkan adanya persatuan dan kesatuan dari bangsa yang berwawasan Nusantara.
Libur nasional pada hari Waisak juga menunjang wawasan Nusantara, selain mencerminkan praktik kehidupan bangsa yang berdasarkan Pancasila. Kehidupan beragama termasuk kemantapan peribadatan di Indonesia tidak membeda-bedakan golongan mayoritas atau minoritas. Kebetulan pula hari Waisak kali ini bertepatan dengan bulan Ramadhan, saat saudara-saudara yang beragama Islam menjalankan ibadah puasa.
Kesempatan ini mendorong umat Buddha semakin menghayati dan mengamalkan Pancasila. Sadhu, sadhu, sadhu.
6 Mei 1987
[1] Anguttara Nikaya I, 13:1
[2] Saddharma Pundarika V