Tanggung Jawab Moral Berpangkal Kemerdekaan
- By admin
- March 19, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Tidak tercapainya apa yang diinginkan itu menyakitkan. Yang menyakitkan atau penderitaan (dukkha) dinyatakan oleh Buddha sebagai salah satu ciri kehidupan di dunia. Orang yang belajar menjadi suci membatasi keinginannya, mengendalikan diri, dan melaksanakan banyak kebajikan untuk menghindari penderitaan. Namun tiadalah sedikit orang yang memaksakan keinginannya untuk mengejar kepuasan. Agar kepentingan dirinya terpenuhi ia akan mengorbankan pihak lain, menindas orang yang lebih lemah.
Penjajahan merupakan salah satu bentuk pemaksaan tersebut. Segolongan manusia atau bangsa merampas dan menguasai milik orang lain, apakah itu berupa harta, kedudukan, kehormatan, dan sebagainya. Manusia dapat berpikir dan berkata, “Ini sahabatku, ini saudaraku,” atau “Kita bersahabat, kita bersaudara.” Tetapi acapkali persahabatan dan persaudaraan itu berakhir dengan kebencian dan permusuhan. Ternyata kebahagiaan tidak juga muncul dengan memaksakan keinginan sendiri. Tidak ada kebahagiaan tanpa cinta. Tidak ada kebahagiaan tanpa ketenteraman dan kedamaian.
Bagaimana pun juga harus diakui, memaksakan keinginan tidak melenyapkan penderitaan. “Dilahirkan, menjadi tua, sakit, mati, sedih, susah, gelisah, berhubungan dengan yang tidak disukai, terpisah dari apa yang disukai, dan tidak memperoleh apa yang diinginkan itulah penderitaan,” demikian ditegaskan oleh Buddha.[1]
Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Mengapa? Karena penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Pembukaan UUD 1945 menyatakan alasan ini pada alinea pertama. Dalam agama Buddha tidak dikenal tindak kekerasan dan penindasan dengan dalih demi kebahagiaan. Sebaliknya seorang siswa Buddha dapat mengorbankan dirinya sendiri demi kebahagiaan itu. Perikemanusiaan dan perikeadilan menghendaki kebahagiaan semua orang.
Pangeran Mahanama adalah kemenakan sekaligus pula pengikut Buddha. Ketika Raja Viduraka dari Kosala menaklukkan kaum Sakya, Mahanama dihadapkan pada pilihan mengorbankan diri sendiri untuk keselamatan pengikutnya, atau mengorbankan pengikutnya untuk keselamatan jiwanya sendiri. Raja Viduraka akan membebaskan para tawanannya, yakni pengikut Mahanama, sebanyak yang bisa keluar dari pintu penjara dalam batas waktu sanggupnya Mahanama menyelam. Agar semua pengikutnya dibebaskan, Mahanama mengikatkan rambutnya pada akar tanaman di dasar telaga. Baginya keselamatan orang lain itu lebih penting dari jiwanya sendiri. Seorang pemimpin wajib melindungi bawahannya. Ia mendapatkan kebahagiaan dengan menyelamatkan orang lain, sekalipun dengan mengorbankan dirinya sendiri. Ia tidak pernah muncul kembali ke permukaan air.[2]
Mahanama adalah sesosok manusia biasa. Tetapi ajaran Buddha menjadikannya lebih dari sekadar manusia biasa. Buddha tidak hanya mengajarkan bagaimana menjadi manusia sebagaimana adanya manusia. Ia menuntun manusia untuk menjadi dewa, bahkan lebih dari itu. Keluhuran budi dan kesucian batin tidak dibatasi oleh tubuh jasmani manusia yang serba kekurangan. Penyempurnaan batin menghendaki kebebasan berpikir.
Moralitas Buddhis berdasarkan kebebasan manusia sebagai tuan atas dirinya sendiri. Jika manusia dikuasai oleh suatu kekuatan di luar dirinya, jika ia diatur atau dipaksa untuk menerima nasib atau keadaannya, manusia tidak memiliki tanggung jawab atas perbuatannya. Hanya dengan kehendak bebasnya sendiri manusia dapat mempertanggungjawabkan segala pikiran, sikap, dan tindakannya. Tanggung jawab moral dan pemikiran dalam agama Buddha berpangkal pada kemerdekaan individu. Berkaitan dengan itu pula agama Buddha memberi tempat bagi demokrasi. Negara merdeka memberi ruang gerak bagi individu-individu yang bebas merdeka dan mampu mempertanggungjawabkannya.
Ketika merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, semua bangsa yang bangkit itu ingin menentukan nasib sendiri. Perjuangan kemerdekaan Indonesia mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Kita merumuskan hidup yang lebih baik itu adil dan makmur. Birma merdeka juga menaruh harapan untuk hidup yang tak jauh berbeda dari adil dan makmur, walau tidak sebahagia kita yang berasas Pancasila. Di sana pembangunan Pagoda Perdamaian Dunia (Kaba Aye) dan penyelenggaraan Konsili Buddhis Sedunia pada masa awal setelah merdeka, menunjukkan bagaimana rakyat Birma menaruh harapan pada peranan agama Buddha. Tetapi ternyata kemudian Birma merdeka bukanlah individu-individu yang bebas merdeka. Pagoda Perdamaian Dunia belum roboh, rahib-rahib masih rajin berdoa, melatih diri, dan mengkhotbahkan cinta atau pun perdamaian, di pihak lain tembakan peluru dengan mudahnya merenggut nyawa ratusan orang yang menentang pemerintah bangsanya sendiri. Adakah hidup sudah menjadi lebih baik?
Birma sekarang bukanlah lumbung beras. Kemiskinan yang sangat membuat rakyat menderita karena tidak mampu memperoleh apa yang diinginkannya. Semua penganut Buddha memang belajar bahwa, “Tidak dalam hujan uang emas dapat ditemukan kepuasan nafsu indra. Nafsu-nafsu indra hanya merupakan kesenangan sekejap yang membuahkan penderitaan.” Tetapi Buddha pun bersabda, “Kekayaan akan menghancurkan orang bodoh, namun tidak dapat menghancurkan mereka yang mencari Pantai Seberang. Karena serakah akan kekayaan, orang bodoh akan menghancurkan orang lain ataupun dirinya sendiri.”[3]Terlepas dari persoalan apa seseorang kaya atau miskin, mereka bisa mengalami penderitaan dalam dunianya masing-masing.
Karena itu manusia merdeka memiliki kebebasan memilih yang paling baik bagi dirinya. Menjadi petapa tidak salah. Menjadi orang kaya juga tidak salah. Kekayaan dapat dan seringkali perlu dipergunakan untuk memelihara Kebenaran, menunjang kehidupan sosial, dan tidak semata-mata untuk keuntungan pribadi. Berpangkal pada kemerdekaan setiap individu memiliki tanggung jawab moral masing-masing.
24 Agustus 1988
[1] Samyutta Nikaya LVI
[2] Dhammapada 186
[3] Dhammapada 355