Pendidikan Menemukan Diri Sendiri
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Seseorang anak belajar mulai dengan meniru dan menghafal. Ia dinilai baik bila dapat menjawab pertanyaan persis sebagaimana yang diajarkan oleh guru. Ia menjadi pandai sebagai tiruan (copy) sang guru. “Itu seperti seekor burung beo,” ujar Hui-hai (720-814). Guru ini mencela tradisi membaca Kitab Suci yang dilakukan orang-orang tanpa menghayati maknanya.
Konon Patriarch VI, Hui-neng (638-713), tak bisa membaca. Ketika mengajar, ia justru belajar dengan menyuruh murid membacakan Kitab Suci untuknya. Kemudian ia yang membahas dan menerangkan isi Kitab itu secara mendalam. Kitab Suci dan semua buku merupakan sarana yang sangat penting dalam proses belajar. Belajar mulai dengan mengutip kata-kata dari buku atau membeo pun tidak mungkin diabaikan. Tetapi tentu saja murid tidak diajarkan untuk menjadi beo.
Seorang anak dibesarkan dan dididik oleh orangtua atau pun guru dengan cinta kasih. Ia dipersiapkan agar mampu menghadapi semua pemersalahan hidup, sehingga harus belajar menguasai berbagai ilmu atau keahlian. Ia belajar berbuat baik, menimbun kebajikan dan menjauhi kejahatan. Walau sebagai ahli waris ia akan menggantikan peranan orangtuanya dan diharapkan akan mengangkat nama keluarga, pendidikan seorang anak tidak dilakukan demi kepentingan orangtuanya semata-mata. Pendidikan itu terutama diarahkan untuk kepentingan dari sang anak sendiri.
Guru pun mengajar demi kepentingan anak didiknya. Ia tidak hanya menurunkan ilmu pengetahuan, tetapi lebih dari itu, ia membimbing agar muridnya memiliki perilaku yang terpuji sekaligus terjaga keselamatannya.[1] Penyelamatan inilah yang diikrarkan oleh para Buddha dan Bodhisattwa. Buddha memilih murid-murid-Nya bukan sekadar untuk mendapatkan pengikut, tetapi untuk menyelamatkan diri mereka. “Tidak ada kegiatan dari para Buddha yang tidak bertujuan, yakni demi kesejahteraan setiap makhluk,” demikian dinyatakan oleh Arya Deva.
Buddha sebagai guru menunjukkan jalan, dan setiap pengikutnya yang harus berusaha sendiri. Dengan demikian, menjadi pengikut Buddha diartikan benar hanya bilamana ia dapat menolong diri sendiri. Untuk itu ia harus menjadi dirinya sendiri, mewujudkan dirinya sendiri atau menemukan dirinya sendiri. “Diri sendiri sesungguhnya adalah tuan baginya sendiri, siapa pula yang dapat menjadi tuan baginya? Setelah seseorang berhasil melatih dirinya sendiri dengan baik, maka ia akan memperoleh suatu perlindungan yang sukar diperoleh.”[2]
Manusia berbeda pembawaan dan bakat, sehingga berbeda pula tingkat kemampuan dan kecerdasannya. Buddha membedakan tingkatan itu atas empat golongan. Yang pertama adalah manusia jenius (ugghatitannu). Mereka diibaratkan sebagai bunga teratai yang telah muncul di permukaan air, dan pasti akan mekar segera. Yang kedua adalah manusia cerdas intelektual (vipacitannu). Golongan ini diibaratkan seperti kuntum bunga teratai di bawah permukaan air yang menunggu saatnya untuk muncul di atas permukaan air.
Yang ketiga adalah mereka yang dapat dilatih (neyya), yang memerlukan banyak latihan dan banyak waktu. Golongan ini bagaikan kuntum teratai yang masih agak jauh di bawah permukaan air. Yang keempat adalah manusia yang gagal dilatih (padaparama). Yang terakhir ini merupakan teratai yang tidak akan muncul di permukaan air. Buruk nasib memang. Tetapi kesempatan untuk menjadi lebih baik masih terbuka pada kehidupan berikutnya.
Seorang Buddha dilahirkan sebagai manusia yang jenial. Ia diibaratkan bunga teratai yang mekar di atas permukaan air dan tidak tercemar oleh air yang kotor. Ia lahir di dunia, dibesarkan di dunia, namun tidak dicemari noda atau dosa dunia.[3]Tentu saja Ia kaya inspirasi dan pemikiran. Namun Penerangan Sempurna itu dicapainya lewat perjuangan yang tak kenal lelah. Tidak mungkin Ia menjadi Buddha tanpa menimbun dan menyempurnakan sebagai bentuk kebajikan (paramita). Ia menjadi Buddha setelah berhasil melatih diri dengan disiplin yang keras. Tak salah bila T.A. Edison mengatakan bahwa jenial itu 1% inspirasi dan berikutnya 99% berupa keringat kerja keras.
Adanya pembawaan yang berbeda, memungkinkan seorang anak didik menunjukkan kepandaian yang jauh melampaui anak-anak lain seusianya. Pengajuan terhadap anak jenial berlaku pula dalam hal kearifan. Buddha menyatakan bahwa seseorang dituakan bukan karena usia, tetapi karena kebijaksanaannya.
Ia dihargai karena perbuatannya yang bijak, kemampuannya menguasai diri, kesempurnaan melaksanakan tugas dan memahami bahaya dari kesalahan yang sekecil apa pun.[4]Dengan demikian usia yang terlalu muda tidak boleh jadi penghalang untuk menempuh suatu jenjang pendidikan yang lebih tinggi dari biasanya. Boleh saja orang-orang jenial menyelesaikan pendidikan formal dan menjadi sarjana pada usia yang sangat muda belia.
Orang-orang yang terlanjur tua perlu diberi kesempatan untuk belajar lebih banyak. “Barang siapa tidak mendengar atau belajar, ia akan menjadi tua seperti lembu. Perutnya makin membuncit, tetapi kepandaiannya tidak berkembang. Sebaliknya barangsiapa telah banyak mendengar dan belajar, lalu memandang rendah dia yang tertinggal dalam pendidikan, bagaikan orang buta yang memegang lampu, begitu aku menilai orang seperti itu,” demikian dikatakan oleh Ananda.[5]
4 Mei 1988
[1] Digha Nikaya 31
[2] Dhammapada 160
[3] Anguttara Nikaya IV, 4:36
[4] Anguttara Nikaya IV, 3:22
[5] Theragatha, 1025-1026