Pendidikan Mengubah Nasib
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Manusia dilahirkan berbeda. Betul, setiap anak berbeda nasib. Ada yang lahir sebagai anak pengusaha dan kaya, ada yang miskin serba sulit dan kekurangan. Ada yang sehat, ada yang cacat atau sakit-sakitan. Setiap orang memiliki pembawaan masing-masing. Tidak ada kesewenangan pada hukum Tuhan. Menurut Buddha, semua perbuatan (karma) masing-masing makhluk pada berbagai kehidupan masa lalu yang menentukan perbedaan tersebut.
Manusia dilahirkan berbeda, tetapi sama memiliki kesempatan untuk mengubah nasibnya. Seseorang dipandang hina atau mulia tidaklah sebab kelahiran atau keturunan. Perbuatannya sendiri pada kehidupan sekarang yang akan menentukan seorang manusia itu hina atau mulia. Prestasi yang harus dihargai, bukan status kedudukan. Dalam hubungan ini pendidikan merupakan pertolongan yang datang dari lingkungan atau pihak lain untuk mengubah nasib, meraih prestasi sehingga mengangkat derajat seseorang.
Hidup di tempat yang sesuai,
Berkat jasa-jasa dalam kehidupan yang lalu,
Menuntun diri ke arah yang benar,
Inilah berkah utama.[1]
Berkah diperoleh karena jasa-jasa, buah perbuatan baik dari kehidupan yang lalu. Berkah itu yang dinikmati sejak kelahiran atau awal kehidupan sekarang. Namun baik dalam hal kelahiran tidak harus berarti baik dalam pertumbuhan dan hidup selanjutnya. Lingkungan selalu berubah. Manusia selalu melakukan perbuatan atau karma baru. Hidup di tempat yang sesuai, yakni lingkungan yang baik, harus dipelihara, dan dikembangkan. Orang yang tidak menemukan kesesuaian dengan kampung halaman atau tempat hidupnya semula dapat mencari lingkungan baru dan pindah. Kesempatan ini memungkinkan perbaikan nasib yang dinikmati sebagai berkah.
Berkah dan nasib baik hanya mungkin berlanjut atau dapat dipertahankan bilamana seseorang menempuh jalan yang benar. Jalan yang benar itu lazimnya dipandang sebagai etik. Yang benar itu adalah yang baik, yang bijaksana, yang terpuji. Yang tidak benar adalah yang jahat, yang berdosa, yang tercela. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, benar mungkin berbeda nilai dengan apa yang diajarkan agama. Benar lebih dimaksudkan sebagai betul atau tepat. Betul atau tepat ini tidak harus mengandung penilaian etik. Salah yang tidak betul dan tidak tepat mungkin bukanlah jahat atau berdosa.
Pendidikan dalam ilmu pengetahuan modern dan teknologinya dikembangkan antara lain untuk memberi kemudahan dan kesenangan kepada manusia sehingga memperbaiki nasib manusia. Bersamaan dengan pendidikan modern, feodalisme dicampakkan lalu penghargaan terhadap seseorang manusia ditentukan oleh tingkat prestasi. Prestasi mengubah nasib seseorang, dan ajaran Buddha memang mendorong untuk berprestasi. Amanatnya yang terkenal:
Jadilah pelita bagi dirimu sendiri,
Jadilah pelindung bagi dirimu sendiri,
Jangan menyandarkan nasib kepada makhluk lain.
Pegang teguh Dharma sebagai pelita,
Pegang teguh Dharma sebagai pelindungmu.[2]
Menghargai prestasi berlebihan, menjadi pelita dan pelindung diri sendiri bisa menciptakan ketakaburan dan mempertebal keakuan dan egoisme. Tanpa etik, berbedanya nilai yang dianut dan membengkaknya keakuan membuat ilmu dan teknologi itu bisa jadi justru menambah penderitaan manusia.
Maka Buddha menegaskan, bahwa menjadi pelita dan pelindung diri sendiri tidak lain dari memegang teguh Dharma. Etik ditemukan pada ajaran tentang sila dalam agama Buddha. Lebih dari itu, jalan yang diajarkan oleh Buddha tidak hanya sebatas etik, tetapi menghendaki pula konsentrasi dan kearifan. Ia menolak keakuan. Buddha mengingatkan segala sesuatu itu tanpa inti yang berdiri sendiri (anatta).
“Di sini Yasa, tiada yang mencemaskan. Di sini Yasa, tiada yang menyakitkan. Ke sini Yasa, Aku akan mengajarmu,” demikian ucapan Buddha penuh kasih kepada Yasa, seorang pemuda yang dilanda gundah, was-was dan cemas.[3]Memperbaiki nasib melalui pendidikan Buddha itu menolong dengan penuh cinta kasih untuk menyingkirkan kecemasan, kesakitan, dan segala bentuk penderitaan lain.
“Aku telah berhenti, Angulimala. Engkau pun berhentilah,” seru Buddha kepada bromocorah yang telah membunuh 999 orang. Dengan berhenti itu dimaksudkan bertobat dan menyingkirkan senjata atau semua tindakan kekerasan.[4]Memperbaiki nasib melalui pendidikan Buddha itu pun menolong untuk menghentikan segala bentuk kejahatan.
Dengan pernyataan “Datang dan melihat” atau “ehipassiko”, pendidikan Buddha memberi tempat seluas-luasnya pada pengujian, pemahaman yang rasional, dan pengalaman empiris. Pendidikan memperbaiki nasib tidak mungkin terlepas dari permasalahan kehidupan sehari-hari di tengah lingkungannya.
Sebuah parable Hanfeitse menyindir hasil pendidikan yang sia-sia. Dikisahkan ada orang yang ingin membeli sepatu untuknya sendiri. Ia mengukur telapak kakinya dengan teliti. Kemudian ia pergi ke toko sepatu. Di sana ia sadar bahwa ukuran kakinya tertinggal, maka ia pulang untuk mengambilnya. Ketimbang mencobakan sepatu langsung pada kaki yang tak pernah terpisah dari tubuhnya, ia lebih percaya pada hasil pengukurannya sendiri. Ilustrasi ini mengingatkan pula pengetahuan intelektual bisa melahirkan tetapi sekaligus membuat ketergantungan akan teknologi, sehingga merendahkan nilai dan daya manusia itu sendiri.
Dunia memerlukan pendidikan yang penuh cinta dan mendayagunakan kekuatan cinta. Dunia memerlukan pendidikan keilmuan dan kearifan yang diarahkan untuk memperbaiki nasib dengan memberi kemudahan, menyingkirkan penderitaan dan kejahatan.
27 April 1988
[1] Suttanipata 260, Maha Mangala Sutta
[2] Digha Nikaya 16
[3] Mahavagga I, 7
[4] Majjhima Nikaya 86