Sekolah Bagi Semua Orang
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Murid memerlukan sekolah. Sekolah juga mencari murid. Ada penawaran dan permintaan bagi jual beli di pasar. Dalam bidang pendidikan terdapat keterbatasan sumber daya, mengandung komponen yang mengambil ruang dan waktu, serta ada pengorbanan untuk memperolehnya. Jadilah pendidikan itu suatu komoditi ekonomi menurut batasan Debreu.
Tetapi orientasi bisnis atau komersialisasi di dunia pendidikan bukan hal yang terpuji. Walau pendidikan memerlukan biaya besar, pendidikan tidak hanya bagi orang kaya. Setiap orang memiliki potensi dan pantas mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan minat dan kemampuannya. Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa di negara ini tidak lepas dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Negara menjamin hak tiap warga negara untuk mendapat pengajaran. Karena penyelenggaraan lembaga dan usaha pendidikan yang mencari keuntungan dengan mengabaikan fungsi sosial patut dicegah.
Hui-neng (638-713) yang dikenal sebagai Patriach VI semula adalah anak yatim yang miskin. Lagi pula ia datang dari selatan, yang dipandang rendah oleh orang-orang utara. “Orang utara mungkin berbeda dengan orang selatan, tetapi penerangan tidaklah berbeda di kedua tempat itu.” Itulah ucapan Hui-neng sebelum diterima di Perguruan Ch’an (Zen). Buddha memberi kesempatan yang sama bagi orang kaya ataupun miskin untuk belajar menjadi pandai dan bijaksana. Persaudaraan murid semacam Sanggha jelas tidak mengenal perbedaan antara kaya dan miskin. Cita-cita keadilan sosial yang mencakup pula bidang pendidikan ditanamkan oleh Buddha sendiri.
Lewat pendidikan orang ingin meraih kecakapan yang dibutuhkan untuk hidup dengan berhasil. Namun banyak orang yang tidak terpenuhi kebutuhannya. Ada yang tidak berkesempatan memperoleh pendidikan. Ada pula yang memasuki pendidikan formal namun tidak sampai memperoleh kecakapan yang memadai. Atau tiada lapangan kerja yang menampungnya kemudian. Dengan sistem pendidikan formal yang massal sukar dihindarkan kepentingan perseorangan lebur dalam kelas.
Thich Minh Chau dididik di wihara Vietnam. Ia mulai dengan belajar membersihkan meja. Bagaimana ia dapat menjadi siswa yang baik jika hanya membersihkan meja saja tidak bisa? Walau merasa enggan, ia wajib menaati perintah guru. Menjengkelkan memang, karena gurunya masih mendapatkan kotoran pada bagian dalam dari meja itu. Ia mengulangi pekerjaan rumahnya. Dengan latihan itu ia belajar membuang noda (kilesa) dari batin. Mempelajari pasal noda batin di dalam kelas dengan puluhan murid tentu menjadi dangkal bagi Thich Minh Chau.
Guru Thich Minh Chau barangkali dianggap kolot. Namun pendidikan baginya diarahkan dan terpusat pada kepentingan sang murid. Untuk setiap murid dengan watak, minat, dan kemampuan yang berbeda, caranya pantas bila berbeda. Kita bisa menyatakan kursus perorangan atau les privat merupakan bentuk lain dari contoh tersebut. Bilamana terdapat sejumlah murid yang hampir bersamaan watak, minat, dan tingkat kemampuannya, perlakuan yang hampir sama bagi semua murid itu pun menjadi cukup beralasan. Dan muncullah pendidikan massal.
Murid ingin mencari sekolah yang dinilainya bermutu. Sekolah yang bermutu diperebutkan. Maka muncul seleksi penerimaan murid baru, baik dalam hal kemampuan akademis atau pun syarat lain. Sekolah negeri diburu tidak hanya karena pertimbangan mutu, tetapi juga karena tidak beratnya pembiayaan. Sekolah swasta diburu terutama karena bermutu. Di tengah perebutan itu komersialisasi mudah saja terjadi. Sedangkan seleksi untuk memperoleh murid yang memenuhi standar kemampuan akademis tak lepas dari kepentingan si murid sendiri. Jika memenuhi syarat, setiap peminat berhak diterima menjadi murid. Dari segi moral, penerimaan pun tidak tergantung pada kemampuan membayar uang masuk atau uang sekolah. Bukankah sekolah memiliki fungsi sosial?
Pendidikan formal hanya salah satu jalan untuk mencapai kehidupan yang bermutu. Tidak semua orang berhasil mengikutinya. Kekecewaan tak sirna dengan mencari kesalahan di luar diri sendiri. Ambillah contoh Pukkusati, dengan kesedihan menyesuaikan diri terhadap hidup yang penuh tantangan seraya berusaha belajar di luar jalur formal. Pukkusati mengagumi Buddha Gotama dan ajaran-Nya. Ia hanya mendengar dari orang lain. Tetapi ia mencoba untuk belajar sendiri dan melatih dirinya sebagai seorang petapa.
Pada suatu ketika ia berjumpa dengan Buddha yang tidak pernah dilihatnya sebelum itu. Buddha bertanya siapa gerangan yang menjadi guru petapa muda tersebut. Pukkusati menjawab, “Gotama, petapa keturunan Sakya yang telah mencapai Penerangan Sempurna, Ia yang membuat aku menjadi petapa. Ia yang menjadi Guruku dan aku menjunjung tinggi ajaran-Nya.” Buddha bertanya pula apa ia tahu di mana orang itu berada. Jawab Pukkusati, “Aku dengar Ia ada di Savatthi,”[1] Sebenarnyalah Pukkusati tidak tahu justru ia sedang berhadapan dengan Guru yang dijunjungnya.
Tanpa memperkenalkan diri, kemudian Buddha menguraikan ajaran-Nya yang kini bisa dibaca dalam Dhatuvibhangasutta. Maka sadarlah Pukkusati bahwa teman bicaranya itu adalah Sang Guru sendiri.
1 Juli 1987
[1] Majjhima Nikaya 140