Tes Pilihan Berganda dan Lain-lain
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Menurut Buddha, orang yang menerima ajaran, memperoleh manfaat dalam lima hal: Ia memahami hal yang baru, suatu yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Ia menyingkirkan pengetahuannya yang salah atau dengan benar menguasai apa yang telah diketahui sebelumnya. Ia menghalau keraguan. Ia dapat meluruskan pandangannya. Hatinya menjadi tenteram.[1]
Pendidikan apa pun bentuk dan tingkatnya menuju kepada suatu perubahan, yakni berupa peningkatan kemampuan di bidang pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Meningkatkan kemampuan itu berarti menguasai hal yang baru, sekaligus memperbaiki atau menyingkirkan hal yang salah. Untuk mengevaluasi perubahan tersebut, dan menentukan taraf yang telah tercapai diperlukan informasi-informasi yang diperoleh khususnya dari pengukuran. Untuk pengukuran dilakukan ujian atau tes.
Tes merupakan pertanyaan, soal, atau tugas yang telah dibakukan, yang diberi kepada sasaran belajar untuk dijawab atau diselesaikan. Tes bisa tertulis, lisan, dan mungkin pula berupa praktik. Belajar itu bukan saja menjadi tahu dan ingat (pariyatti) tetapi juga melaksanakan praktik (patipatti).
Berdasarkan bentuk pertanyaan umumnya dikenal tes terbuka dan tertutup. Bentuk tes terbuka berupa karangan (essay test) yang cara penilaiannya subjektif. Bentuk tertutup berupa pertanyaan dengan jawaban yang telah tersedia dalam bentuk pilihan-pilihan (structured test). Bentuk ini bermacam-macam, tidak hanya tes benar-salah. Ada tes pilihan berganda, tes menyesuaikan pasangan, tes hubungan sebab akibat, tes melengkapi pertanyaan yang tersedia, misalnya. Penilaian atau memberi angka terhadap hasil tes ini objektif, tinggal menghitung berapa yang salah dan yang benar dari jawaban tersebut. Tes ini mudah dilaksanakan untuk ujian massal. Kreatifvitas memang tidak diperhitungkan.
Tradisi Zen meriwayatkan pengukuran tingkat penerangan para murid dari sajak-sajak yang mereka ciptakan. Patriarch Kelima memilih penerusnya juga dengan ujian mengarang sajak. Cara ini memberi peluang bagi Hui-neng yang kreatif. Kreasinya cemerlang, namun tak terelakkan pula lahir perpecahan pandangan. Sang guru menyerahkan lambang penerus kepada murid terpilih itu secara rahasia pada malam hari dan menyuruhnya pergi. Boleh jadi itulah mula awal dikenalnya dua aliran utama Soto dan Rinzai.
Mengacu pada petunjuk Buddha sendiri, dikenal adanya empat pola pertanyaan dan cara menjawabnya. “Apakah keempat pola itu? Yaitu pertanyaan yang perlu dijawab dengan jawaban langsung, yang perlu dijawab dengan suatu pertanyaan balik, yang perlu dijawab tanpa jawaban, dan terdapat pertanyaan yang perlu dijawab dengan suatu uraian.”[2]Tes karangan memenuhi pola pertanyaan yang perlu dijawab dengan uraian atau mungkin pula dengan mempertanyakan balik. Jenis tes pilihan berganda dapat digolongkan pada pola pertanyaan yang dijawab langsung.
Menguji memang lazim dengan bertanya. Seperti kata Sariputta, salah seorang siswa Buddha, bahwa ia bertanya dengan tujuan meluruskan bilamana orang yang menjawabnya keliru. Seseorang pantas bertanya kepada orang lain yang meragukan, dengan pikiran: “Jika pertanyaanku dijawab tepat, itulah baik. Tetapi jika pertanyaanku dijawabnya tidak benar, aku akan menjelaskan kepadanya.” Orang yang mencari pengetahuan bertanya, orang yang bodoh dan buta juga perlu bertanya. Bertanya mungkin saja dilakukan dengan maksud lain, seperti yang dilakukan oleh orang dengan nafsu jahat dan iri hati, atau orang yang berniat merendahkan dan menjatuhkan orang lain.”[3]Dalam hubungan ini pertanyaan sebagai tes harus sahih mengukur apa yang memang diujikan.
Keberhasilan belajar dan latihan ditandai dengan pemahaman dan kecakapan (patisambhida) dalam hal: (1) Memahami maksud tujuan dan mampu menjelaskan secara terinci diikuti pertimbangan tentang suatu akibat. (2) Memahami intisari atau mampu meringkas dan meneliti atau menunjukkan suatu penyebab. (3) Cakap memilih kata atau menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dengan benar. (4) Kelancaran dalam cara penerapan atau penyesuaian dan dengan bijaksana mampu menguasai persoalan yang timbul mendadak.[4]
Pernah seorang biksu mengajukan soal ini kepada murid-muridnya, “Di bawah hujan gerimis, dua orang berjalan kaki, namun hujan tidak membasahi satu orang di antaranya.” Para pemula mempersoalkan, mengapa dua orang berbareng berjalan di bawah hujan, namun yang seorang tidak kena hujan? Perdebatan timbul pada belenggu kata-kata ‘tidak membasahi seorang’. Padahal tidak membasahi seorang berarti keduanya basah kena hujan.
Dialog ini mengajarkan bagaimana kata-kata harus digunakan dan dipahami dengan cermat. Penguasaan bahasa bagi orang yang menguji atau membuat soal, begitu pula bagi yang diuji sangat perlu diperhatikan.
Februari 1988
[1] Anguttara Nikaya V, 21:202
[2] Anguttara Nikaya IV, 5:42
[3] Anguttara Nikaya V, 17:164
[4] Khuddaka Nikaya 31/175