Sumpah Pemuda
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Andaikata seekor keledai yang tidak memiliki rupa yang elok, suara yang merdu dan tanduk sebagai seekor sapi, namun mengikuti sekawanan sapi seraya berkata, “Tengoklah aku pun seekor sapi juga,” apakah orang mau mempercayainya?[1] Ibarat keledai mengakui sapi bila seseorang mengaku bangsa atau warga negara Republik Indonesia, namun ia tidak memperlihatkan keindonesiannya.
Ketika Sumpah Pemuda diucapkan pada tanggal 28 Oktober 1928, para utusan daerah sudah menemukan identitasnya sebagai bangsa yang sama. Sumpah Pemuda merupakan kebulatan tekad mereka yang menginginkan Nusantara bersatu dan adanya bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Para pemuda itu pada dasarnya mewakili seluruh kelompok usia, termasuk mereka yang lebih tua dan lebih muda, menyatakan:
Pertama: Kami Poetra dan Poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, Tanah Indonesia
Kedua: Kami Poetra dan Poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia
Ketiga: Kami Poetra dan Poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, Bangsa Indonesia
Setelah Indonesia merdeka dan Republik ini berdiri, berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dalam undang-undang sebagai warga negara. Asli atau tidak asli, setiap warga negara dituntut untuk berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan Sumpah Pemuda.
Identitas orang-orang bangsa Indonesia tidaklah dibedakan dari penampilan fisik seperti raut wajah atau warna kulit. Identitas merujuk pada perilaku yang memperlihatkan sejauh mana Sumpah Pemuda dan Pancasila diamalkan.
“Orang bodoh, apa gunanya engkau menjalin rambutmu serta mengenakan pakaian kulit menjangan? Engkau hanya membersihkan bagian luar, tetapi batinmu penuh dengan kotoran.”[2] Sekalipun seseorang punya nenek moyang pribumi di Nusantara, tetapi mengingkari Sumpah Pemuda, ia bukanlah putra Indonesia. Sebaliknya bisa saja seseorang keturunan asing, menerima sepenuhnya Sumpah Pemuda, menjadikan dirinya satu dengan bangsa Indonesia, ia layak dinamakan putra Indonesia.
Keindonesiaan ini melekat pada proses pertumbuhan bangsa. Cita-cita persatuan dan karma nenek moyang bangsa kita yang berusaha mewujudkan persatuan tidaklah padam menembus waktu dan zaman. Nusantara pernah mengenal Sumpah Palapa. Persatuan Nusantara sebagai perwujudan Sumpah Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit tersebut mungkin saja memperkuat dorongan untuk mencetuskan Sumpah Pemuda. Tetapi Sumpah Pemuda itu sendiri yang diucapkan oleh utusan-utusan berbagai daerah yang senasib menghadapi kolonialisme memiliki daya pengikat yang lebih dahsyat.
Kita melihat banyak negara atau bangsa lain sampai sekarang masih terancam perpecahan, berbeda dengan Republik Indonesia yang justru semakin utuh. Keragaman, apakah itu suku bangsa, agama, atau golongan, dengan Pancasila sebagai asas tunggal, dimungkinkan untuk saling mengisi sehingga persatuan Indonesia tetap terpelihara.
Keutuhan dan persatuan itu akan tetap terpelihara bilamana keadilan mendapatkan tempat yang layak. Tidak ada penindasan dari golongan atau kelompok mayoritas terhadap minoritas, tak ada yang dikalahkan atau dimenangkan. Dalam kedudukan inilah, bahasa Melayu yang bercikal bakal dari zaman Sriwijaya diangkat sebagai bahasa Indonesia, diterima sebagai bahasa nasional. Sedangkan bahasa daerah lain tetap dipelihara sebagaimana halnya hasil kebudayaan lain, yang sekaligus memperkaya khasanah nasional.
Kepentingan kelompok yang lebih kecil, bahkan individu, dipelihara di tengah lingkungannya yang lebih besar. “Janganlah karena demi keuntungan orang lain yang bagaimanapun besarnya lalu seorang melalaikan tugas bagi dirinya sendiri. Setelah seseorang melihat tujuan akhir bagi dirinya, hendaklah ia teguh melaksanakan tugas kewajibannya.”[3]
Di tengah kehidupan masyarakat termasuk antarsuku dan bangsa, kita diamanatkan untuk memelihara kepentingan pihak lain pula. “Barangsiapa menginginkan kebahagiaannya sendiri dengan menimbulkan penderitaan kepada orang lain, maka ia tidak akan terbebas dari kebencian, ia akan terjerat dalam kebencian.”[4] Sudah jelas kebencian ini melahirkan penderitaan yang tak putus-putusnya.
Dengan demikian dalam kehidupan berbangsa, sekaligus sebagai umat beragama, selain menunjukkan identitas dan kesetiaan terhadap bangsa dan negara, juga sewajarnya mengembangkan solidaritas terhadap pergumulan hidup saudara-saudara kita sebangsa. Karena itu kebulatan tekad kita memelihara dan menjamin kesinambungan pembangunan di bawah kepemimpinan nasional yang diterima oleh rakyat banyak.
29 Oktober 1986
[1] Anguttara Nikaya III, 9:81
[2] Dhammapada 394
[3] Dhammapada 166
[4] Dhammapada 291