Agama Masa Depan
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
“O para Biksu, apakah para Tathagata muncul di dunia atau tidak, Dharma akan tetap ada, merupakan Hukum Abadi.” Demikian dinyatakan dalam Dhammaniyama Sutta. Apa yang diajarkan oleh Buddha tak lain adalah Dharma tersebut.
Tathagata atau Buddha yang dikenal secara historis pada zaman sekarang adalah Buddha Gotama yang disebut pula Sakyamuni. Tercatat antara lain dalam Buddhavamsa, kronologis dihitung mulai dari Buddha Tanhankara, Gotama adalah Buddha yang ke-28. Kelak masih akan muncul Buddha berikutnya, yang dikenal sebagai Maitreya.
Sekalipun dengan banyak cara atau dengan berbagai alasan, semua Buddha mengajarkan Hukum Kesunyataan yang sama. “Seluruh Hukum Kesunyataan itu hanya bagi Satu Kendaraan Buddha, sehingga para makhluk yang telah menerima Hukum dari para Buddha tersebut akhirnya dapat memperoleh Penerangan Sempurna.” Kutipan ini diambil dari Saddharma Pundarika Sutra. Demikian pula bagian kitab lain, Samdhinirmocana Sutra, menyatakan hanya ada satu Jalan Kesucian (Visuddhimarga) dan satu Kesucian (Visuddhi). Tegasnya hanya ada Satu Kendaraan (Ekayana). Tidak ada perbedaan mendasar antara sekte-sekte agama Buddha, sebagaimana dirumuskan oleh Kongres Dunia I Dewan Sanggha Dunia di Kolombo, Srilanka, tahun 1967.
Apabila benar Dharma itu abadi, dan apa yang diajarkan semua Buddha dari berbagai zaman itu sama, tentunya tidak perlu lagi kita membicarakan agama masa depan. Tetapi ternyata agama Buddha yang sempat kita kenal lewat bermacam-macam lembaga sekte justru memperlihatkan bentuk dan wajah yang tidak mendukung sebagai agama segala zaman. Maka kita membedakan agama dengan segala tradisi sebagai bentuk luar yang senantiasa memerlukan penyesuaian penganutan dan Dharma yang merupakan Hukum Kesunyataan.
Sebagai ilustrasi kita ikuti pendapat John Blofeld. Ia pernah menjabat atase kebudayaan pada Kedutaan Besar Inggris di Chungking pada waktu Perang Dunia II, pernah tinggal di biara Zen di Yunnan dan kuil Mongol di gunung Wu T’ai, tak asing pula dengan Muangthai dan Tibet. Menurutnya dari luar agama Buddha tampak sangat rumit. Diibaratkan pada sebuah kota yang dikelilingi tembok besar dengan begitu banyak gerbang, sehingga pendatang baru dari jauh khawatir akan menjumpai jaringan jalan yang juga rumit. Namun sesungguhnya, memasuki pintu gerbang yang mana pun, ia akan menemukan jalan memusat di bawah satu benteng perlindungan.
Modernisasi ditandai kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial. Dalam situasi ini agama yang kehilangan relevansi dan tidak lagi dibutuhkan, akan ditinggalkan oleh umatnya. Di pihak lain semakin tingginya tingkat intelektual, semakin memudahkan seseorang untuk memahami Dharma.
CT Shen, seorang upasaka di Amerika Serikat memanfaatkan pengetahuan modern untuk mengajarkan Buddha Dharma. Katanya, lebih dari duapuluh lima abad yang lalu, tidaklah mudah Buddha meyakinkan orang bahwa mata mereka tidak memberikan pandangan yang lengkap dan mereka sebenarnya tertipu oleh indranya. Dahulu orang mengatakan ruang di hadapannya kosong, atau hanya mengandung udara. Sekarang orang menyatakan adanya oksigen, nitrogen, dan sebagainya. Kita tak keheranan lagi mendengar seorang anak kecil mengatakan bahwa terdapat gelombang radio dan ia dapat menangkapnya sehingga radio bersuara di sana. Seorang ahli fisika akan menerangkan tentang atom, elektron, sinar kosmis, dan lain-lain. Artinya banyak benda dan kegiatan di ruang terbuka, tetapi mata manusia yang telanjang tidak menemukannya. Demikian pula indra kita yang lain sering memberi pengetahuan yang tidak tepat dan mungkin menyesatkan. Pemahaman dan penguasaan terhadap indra justru diperlukan untuk mencapai Penerangan Sempurna.
Apa perlu pengetahuan semacam itu? Sang upasaka menuturkan kisah orang buta dan gajah. Lengkapnya perumpamaan ini terdapat dalam Khuddaka Nikaya, bagian dari Kitab Suci Tipitaka. Orang buta yang tidak pernah tahu tentang gajah dikumpulkan oleh seorang penguasa di Savatthi. Ada yang meraba kepala gajah, daun telinga, gading, belalai, badan, paha, kaki, ekor, dan lain-lain. Mereka menyatakan apa yang dirabanya berbeda-beda, lalu saling berdebat. Ada yang mengatakan gajah itu menyerupai suatu jambangan, ada yang menyebutkan seperti suatu keranjang. Yang lain lagi menyatakan seperti mata bajak, tiang bajak, dinding lumbung, tiang, lesung, alu, dan sebagainya.[1]
Dengan mulai dari mengetahui adanya kuman, orang selanjutnya dapat berusaha menghindari penyakit yang bersangkutan. Dengan menyadari apalah artinya perbedaan warna kulit, orang diharapkan tidak lagi bertengkar. Pengetahuan modern dapat menyumbang banyak untuk mendukung ajaran Buddha.
Pengetahuan sendiri tentu saja tidak cukup, tidak dapat membawa kita sampai pada Penerangan Sempurna. Untuk itu diperlukan latihan-latihan keagamaan dan timbunan kebajikan.
“Barangsiapa mengidentifikasi Aku dengan suatu bentuk yang terlihat, atau mencari-Ku dengan bunyi yang terdengar, orang itu berjalan pada jalur yang sesat dan tidak akan dapat melihat Tathagata.”[2]
28 Januari 1987
[1] Udana VI, 4
[2] Vajracchedika Prajna Paramita Sutra XXVI