Apa Ditanya Saat Asadha
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Ada orang yang akan terselamatkan dengan mempelajari Dharma. Tanpa Dharma atau agama, dunia akan hancur porak poranda di tangan manusia yang sesat terjerat hawa nafsu dan terselubung kabut kebodohan. Karena itulah, terdorong oleh cinta kasih-Nya, Buddha menyambut permintaan Brahma untuk mengajarkan agama. Ia membabarkan agama Buddha untuk pertama kalinya pada saat purnama di bulan Asadha 2577 tahun yang lalu.
Asadha 2532, didasarkan pada Tarikh Buddhis yang dihitung sejak Buddha wafat, tahun ini dirayakan pada tanggal 29 Juli 1988. Dalam suasana hari suci bagi umat Buddha, JIM-Jakarta Informasi Meeting berlangsung mempertemukan semua kelompok yang bertikai di Kamboja. Apa ditanya saat Asadha, sejauh mana pesan Buddha masih bermakna? Semangat perdamaian dan getaran cinta kasih Buddha tentu tidak hanya bagi orang-orang yang memanjatkan doa di wihara-wihara. Getaran itu terasa di seluruh belahan bumi. Kehadiran biksu-biksu Kamboja yang datang dari Prancis, Kanada, dan AS mengiringi pertemuan di Indonesia itu dengan doa, sekaligus memperkuat kerinduan pada masa-masa hidup damai mematuhi amanat Buddha.
Kerinduan pada hidup damai di bumi bagi seorang murid Buddha sama saja dengan kerinduan pada kehidupan surgawi. Damai ditemukan pada keadaan yang bebas merdeka, tidak menjadi budak orang lain tetapi juga sekaligus tidak menjadi budak nafsu diri sendiri. Kehidupan surga yang diimpikan bukan semacam kepuasan ketika dikelilingi dan dilayani para bidadari. Seperti yang pernah dikatakan oleh Ratthapala, salah seorang siswa Buddha, “Kami tidak menempuh kehidupan yang suci demi para bidadari.”
Ia pernah bertanya kepada Raja Kuru, penguasa negeri yang kaya dan makmur, apa yang akan dilakukan raja itu sekiranya ada negeri lain yang juga kaya dan mungkin bisa ditaklukannya. Raja Kuru spontan menjawab bahwa ia akan merebut dan menguasainya. Nafsu keinginan ternyata tidak pernah terpuaskan. Dalam hubungan itu Ratthapala mengingatkan sang raja pada sabda Gurunya, “Dunia ini banyak kekurangannya dan tidak memuaskan, menjadikan budak dari nafsu.”
Lengkapnya Ratthapala mengemukakan empat kalimat sabda Buddha yang menarik sehingga mendorongnya untuk menjadi siswa Buddha, yaitu: “Dunia yang fana ini akan berakhir. Dunia ini bukan merupakan perlindungan, bukan pula tempat bernaung. Dunia ini bukan milik kita karena segalanya harus kita tinggalkan. Dunia ini banyak kekurangannya dan tidak memuaskan, menjadikan budak dari nafsu.” Oleh karena itu menangkap dan menyadari apa yang telah didengarnya itu, ia mengikuti jejak Buddha.[1]
Ajaran yang pertama kali disampaikan oleh Buddha kepada lima orang petapa di Taman Rusa Isipatana, sekarang bernama Sarnath, dekat Benares, dikenal sebagai Dhammacakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dharma). Prinsip Jalan Tengah atau Majjhima Patipada yang menolak bentuk-bentuk ekstrem ditekankan dalam khotbah pertama ini. Khotbah tersebut yang membuka pintu hati mereka untuk mengabdikan diri sebagai biksu angkatan pertama.
Banyak orang yang kemudian menjadi murid Buddha sekalipun pada mulanya tidak memiliki kesempatan bertemu muka secara langsung. Ketika sudah terlalu banyak calon biksu dari berbagai penjuru menempuh jarak yang jauh untuk menemuinya, Buddha mengizinkan para biksu senior untuk melakukan penahbisan atas nama-Nya. Tentu saja tidak sedikit orang yang bertanya-tanya, siapa gerangan Guru mereka? Apa saja yang diajarkan-Nya? Menjelaskan tentang siapa yang menjadi Guru tidaklah sulit. Tidak demikian halnya dengan isi ajaran yang berbeda dari apa yang pernah diajarkan oleh agama sebelumnya.
Assaji pernah merasa sedikit sulit untuk menjelaskan. “Aku adalah murid baru. Belum lama aku menjadi biksu dan menganut agama ini. Sekarang aku belum mampu membabarkan Dharma secara mendalam, mungkin hanya yang pokok saja yang bisa aku beritahukan.” Si penanya, Upatissa namanya, menjadi tidak sabar. “Mau sedikit atau banyak, katakan intinya, aku hanya membutuhkan bagian yang pokok saja. Mengapa mesti susah berpanjang lebar?” Maka Assaji mengucapkan kalimat ini:
“Segala sesuatu timbul karena adanya sebab,
sebab itu telah dibabarkan oleh Buddha.
Dan bagaimana untuk melenyapkan itu,
juga telah dibabarkan oleh Sang Maha Petapa.”[2]
Upatissa tidak hanya tertarik, ia mencapai kemajuan batiniah setelah mendengarkan pernyataan Assaji. Kemudian Upatissa mencari kawannya dan menceritakan apa yang telah ia alami. Kawannya itu, Kolita, ikut terbuka mata dan pintu hatinya. Mereka adalah murid petapa Sanjaya, dan merasa berkewajiban untuk meminta izin bahkan bermaksud mengajak gurunya untuk menemui Buddha. Ujar Sanjaya, “Kamu dapat pergi, tapi aku tidak.”
Murid-murid pun mempertanyakan apa yang menjadi alasan sang guru. Jawab dia, “Aku telah lama menjadi guru dari banyak orang, maka tidaklah mungkin sekarang aku menjadi murid lagi. Bagaikan menimba air dengan keranjang, aku tidak mungkin hidup sebagai murid lagi. Engkau boleh pergi, tetapi aku tidak.” Lalu ia bertanya, “Mana yang lebih banyak di dunia ini, orang yang bodoh atau orang yang pandai?” Muridnya menjawab, “Guru, orang bodoh yang lebih banyak, sedangkan yang pandai hanya sedikit.” “Baiklah,” ujar Sanjaya selanjutnya, “Biar yang pandai pergi kepada Buddha Gotama, dan yang bodoh kepadaku.”
Upatissa dan Kolita kelak dikenal sebagai Sariputta dan Moggalana, pasangan murid Buddha yang sangat terkemuka. Mereka termasuk orang yang terpilih, yang matanya hanya tertutup sedikit kotoran, sehingga mudah dibersihkan dan segera menangkap Penerangan Sempurna. Setelah Asadha yang sekian kali, mungkin bertambah banyak mata yang bersih dan semakin banyak orang yang terpilih.
3 Agustus 1988
[1] Majjhima Nikaya 82
[2] Maha Vagga I, 23