Keprihatinan kepada Penderitaan
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Namo Sanghyang Adi Buddhaya,
Namo Buddhaya.
Pada hari Waisak kita mengenang peristiwa sejarah kehidupan seorang manusia Buddha. Ada banyak Buddha, dan setiap manusia diakui memiliki potensi untuk menjadi Buddha. Seorang Sammasambuddha merealisasi Penerangan Sempurna dengan kekuatan sendiri dan menurunkan ajaran kepada orang lain, baik manusia atau pun dewa. Seorang Pacceka-Buddha tidak memberikan ajaran kepada orang lain. Sedangkan seorang Savaka-Buddha mencapai Penerangan Sempurna dengan melaksanakan ajaran Buddha.
Kitab Buddhavamsa mencatat secara kronologis 28 Buddha yang muncul dalam lima periode siklus masa-dunia (kappa). Pada masa-dunia sekarang (Bhadda-kappa) terdapat lima Buddha. Buddha yang kita kenal secara historis, Buddha masa kini, adalah Buddha Gotama (Gautama/Skt). Ia muncul setelah dunia sempat melupakan manusia Buddha sebelumnya, yaitu Buddha Kakusandha, Konagama, dan Kassapa. Kelak akan datang Buddha berikutnya, yang oleh Buddha Gotama dinamakan Metteyya (Maitreya/Skt).
Tiga Peristiwa
Buddha yang dikenang pada hari Waisak adalah Buddha Gotama, yang dinamakan pula Sakyamuni. Ia terlahir sebagai Pangeran Siddharttha, putra mahkota kerajaan kaum Sakya. Calon Buddha (Bodhisattwa) ini dilahirkan di Taman Lumbini pada tahun 623 SM. Ketika itu purnama di bulan Waisak. Peristiwa kelahiran tersebut diikuti berbagai tanda gaib yang mungkin saja dikisahkan fantastis terselubung mistis. Misalnya begitu dilahirkan Sang Pangeran berjalan tujuh langkah seraya berkata, “Akulah Pemimpin dunia ini.” Segala yang gaib menjadi tidak berlebihan bagi Dia yang dipandang sebagai perwujudan Tuhan. Tradisi di India memandang Tuhan akan menjelma menjadi manusia untuk menyelamatkan segala yang suci dan memusnahkan kejahatan. Ia akan kembali di setiap zaman.
Siddharttha memiliki tanda-tanda Mahapurisa (orang besar) dengan penampilan pribadi dan watak yang menawan, disertai kemampuan yang sangat menakjubkan. Tradisi Buddhis meriwayatkan bahwa Ia datang dari surga Tusita yang dilahirkan ke dunia untuk menjadi Buddha. Jauh sebelumnya Sang Bodhisattwa telah membuktikan kesempurnaan (paramita) dalam berbagai kebajikan dan kebijaksanaan melalui tumimbal lahir yang berulang kali. Antara lain Ia pernah dilahirkan sebagai Raja Sivi yang mendonorkan matanya untuk orang lain. Atau sebagai Sutasoma yang menolak muslihat, dan rela menukarkan nyawanya sendiri untuk melindungi makhluk lain. Ia adalah pengikut Buddha-Buddha zaman yang silam, dan kini mewarisi kedudukan para Buddha sebelumnya.
Ketika Pangeran Siddharttha berusia seminggu, ibunya, yaitu Ratu Maya, meninggal dunia. Sang ayah, Raja Suddhodana, sangat memanjakannya. Ia dibesarkan di tengah kemewahan dan pada usia 16 tahun menikah dengan Putri Yasodhara yang memberinya seorang putra. Putra itu dinamakan Rahula, artinya belenggu. Semua belenggu keluarga, kedudukan, dan kekayaan kemudian ditinggalkannya pada usia 29 tahun.
Siddharttha mengunjungi berbagai pertapaan, berguru pada semua petapa yang terkenal. Tidak satu pun yang memuaskannya. Ia pun bertapa dengan cara menyiksa diri. Tidak ada yang dicapainya selain dari kesehatan yang semakin memburuk. Kemajuan batin tidak ditemukan pada tubuh yang dimanja keduniawian. Lalu apakah mungkin batin berkembang sehat dan menjadi sempurna dalam tubuh yang tersiksa? Tentu saja tidak. Maka, Siddharttha meninggalkan cara ekstrem tersebut. Ia memilih Jalan Tengah. Akhirnya Penerangan Sempurna itu tiba ketika ia bersemadi di bawah pohon Bodhi, di tempat yang kini dikenal dengan nama Buddhagaya. Ia menjadi Buddha tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-35. Saat itu bulan purnama ikut menjadi saksi.
“Terbukalah pintu Kehidupan Abadi, bagi mereka yang mau mendengar dan menaruh keyakinan,” demikian Buddha memutuskan untuk mengajarkan Dharma kepada umat manusia. Ia memilih lima orang petapa di Benares sebagai murid yang pertama. Dua tahun kemudian, ketika tiba kembali di kerajaan Sakya untuk menemui keluarganya, Ia diiringi oleh dua puluh ribu orang biksu. Empat puluh lima tahun lamanya Buddha berkelana membabarkan Dharma, hingga meninggal dunia pada usia 80 tahun. Ia menghembuskan napas terakhir di bawah pohon sala kembar di Kusinara. Lagi-lagi saat bulan purnama.
Maka, hari purnama di bulan Waisak, yang kita kenal sebagai hari Waisak, memperingati sekaligus tiga peristiwa penting, yaitu saat lahir, pencapaian kesempurnaan, dan wafatnya Buddha Gotama. Peringatan Waisak tahun ini adalah yang ke-2533, jatuh pada hari Minggu 21 Mei 1989. Hari Buddhis dihitung dari saat Buddha meninggal dunia. Namun Waisak bukan hari Tahun Baru.
Deritamu Deritaku
Orang-orang bertanya mengapa Pangeran Siddharttha meninggalkan keluarga, istana, kekayaan, kekuasaan, dan kedudukannya. Padahal kalau bisa memilih, kebanyakan orang ingin sekali dilahirkan sebagai anak raja seperti Dia. Ia sendiri tak menyangkal bahwa segala kemewahan dan kelebihan yang dimilikinya merupakan kenikmatan. Namun kenikmatan itu baginya menimbulkan pikiran-pikiran sebagai berikut:
“Orang kebanyakaan yang dangkal pikirannya manakala melihat orang lain menjadi tua, pikun dan menderita, menyebalkan, lupa bahwa ia sendiri termasuk orang yang akan menjadi sasaran usia tua dan kelemahan. Melihat orang lain jatuh sakit dan menderita, menyebalkan, lupa bahwa ia sendiri termasuk orang yang akan menjadi sasaran penyakit. Melihat orang lain sampai pada ajalnya dan menderita, menyebalkan, lupa bahwa ia sendiri termasuk orang yang akan menjadi sasaran maut. Sedangkan Aku menyadari diriku ini pun merupakan sasaran dari usia tua, penyakit, dan maut. Lenyaplah segala kepuasan menikmati usia muda. Aku tidak menghendakinya.”[1]
Ia melihat penderitaan pada orang tua, orang sakit, dan orang mati, Sedih, keluh kesah, putus asa adalah penderitaan. Berpisah dari yang disukai, berkumpul dengan yang tidak disenangi, atau tidak memperoleh apa yang diinginkan itu pun penderitaan. Hatinya ikut menderita melihat penderitaan orang lain. Baginya: “Deritamu menjadi deritaku”. Tidaklah cukup ia hanya menaruh simpati dan merasa prihatin atau turut berduka cita saja melihat penderitaan orang lain. Mudah untuk bertanya: Mengapa orang itu menderita? Apa tidak ada orang yang dapat menolongnya? Namun Sang Bodhisattwa tidak hanya bertanya. Terdorong oleh cinta kasih, hatinya tergerak, demikian kuatnya, untuk mencari obat mengatasi ketuaan, penyakit, dan maut.
Ia ingin menyingkirkan penderitaan, menolong dan menyelamatkan mereka yang menderita. Ia melihat seorang petapa, dan cara hidup tersebut mengisyaratkan adanya jalan untuk memenuhi harapan itu. Maka, pergilah Pangeran Siddharttha meninggalkan istananya. Pergi dan terus berjuang.
Setelah Ia menjadi Buddha, hanya satu yang Ia ajarkan, yakni jalan keluar dari penderitaan. Itulah yang terhimpun dalam tiga keranjang kitab suci yang dinamakan Tipitaka (Tripitaka/Skt). Tanpa ajaran itu dunia segera akan melupakan-Nya. Mengenang kehidupan Buddha Gotama berarti pula menaruh keprihatinan pada penderitaan. Dan mengobati derita orang lain sekaligus melenyapkan derita kita.
Selamat Hari Waisak 2533.
20 Mei 1989
[1] Anguttara Nikaya III, 4:38