Sanggha dan Hari Kathina
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Penerima hadiah Nobel untuk perdamaian tahun ini adalah Dalai Lama. “Aku hanya seorang rahib,” ujarnya. Rahib Buddha mengendalikan perbuatan, mengendalikan ucapan, mengendalikan pikirannya, dan hidup sepenuhnya dalam cinta kasih. Sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya, ia memiliki penyelesaian secara damai dalam melengkapi segala bentuk penindasan dan kekerasan yang menimpa bangsanya.
Para rahib, yakni biksu, adalah penjaga Dharma yang mempertahankan kelestarian ajaran Buddha. “Biksu yang telah banyak mendengar, yang menguasai apa yang telah didengarnya, yang selalu ingat pada apa yang telah dipelajarinya, salah satunya Ananda, adalah penjaga ajaran. Ajaran tersebut baik pada permulaannya, baik pada pertengahannya, dan baik pada akhirnya, yang tersurat atau pun yang tersirat, berkenaan dengan penghidupan suci yang murni sepenuhnya. Sebagaimana ajaran yang telah diperolehnya, ia mengingat, mampu mengulangi, menyelidiki, memahami dengan benar seutuhnya, memberi tuntunan Dharma kepada keempat golongan penganut (biksu, biksuni, upasaka, upasika), dengan bahasa yang baik dan tepat, mengarahkannya pada pemadaman hawa nafsu.”[1]
Sungguh indah ucapan seorang biksu, yang mengendalikan lidahnya, berbicara dengan penuh kebijaksanaan dan tidak sombong, membabarkan Dharma dan menerangkan artinya.”[2]Kita senang mendengarkan khotbah seorang biksu yang pintar ngomong. Tetapi ia tidak perlu terdidik untuk ngomong, melainkan harus terlatih untuk melaksanakan ajaran dalam kehidupan sehari-hari. “Pertama-tama, inilah yang harus diajarkan oleh seorang biksu yang bijaksana, yaitu mengendalikan indra, merasa puas dengan apa yang ada, menjalankan peraturan (patimokkha), bergaul dengan teman yang menjalani penghidupan suci, yang rajin, dan bersemangat.”[3]
Pergaulan atau persahabatan sangat mempengaruhi jalan kehidupan seseorang. Ananda memandang bahwa setengah dari penghidupan yang suci itu adalah bergaul dan bersahabat dengan orang-orang yang saleh. Buddha menyanggah, dan menegaskan: “Bukan setengahnya, melainkan keseluruhan dari penghidupan suci menghendaki persahabatan, pergaulan, dan persekutuan dengan orang-orang yang baik. Seorang biksu yang bersahabat, bergaul, dan bersekutu dengan semua yang baik dapat diharapkan akan memperkembangkan Jalan Mulia (Arya Magga), ia akan berbuat banyak dalam Jalan Mulia.”[4]Maka, para biksu memerlukan persekutuan, dan kita mengenal Sanggha sebagai persaudaraan para rahib Buddha. Mereka hidup berselibat dan meninggalkan kehidupan rumah tangga.
Ananda pernah bertanya bagaimana seseorang dapat hidup dengan bahagia dalam Sanggha? Jawab Buddha, “Jika seseorang menyempurnakan kebajikan dirinya sendiri dan tidak mencela kekurangan orang lain; jika ia mengawasi dirinya sendiri, bukan mengawasi diri orang lain; jika ia tidak mencari nama dan tidak khawatir kurang tenar; jika dengan sekehendak hatinya ia dapat mencapai keempat tingkatan meditasi (jhana) yang memberi ketenangan; memasuki dan menikmati kesucian batin, kesucian pengetahuan.”[5]Mereka yang berhasil mencapai tingkat kesucian tergolong Ariya Sanggha. Sedangkan para rahib yang belum mencapai tingkat kesucian tergolong Sammuti Sanggha.
Sebagai penghormatan bagi para anggota Sanggha, umat Buddha merayakan hari Kathina sebenarnya tidak hanya sehari tetapi dirayakan sebelum lewat satu bulan semenjak berakhirnya masa vassa. Masa vassa adalah masa penghujan di India, saat para biksu menyepi dan menetap selama tiga bulan pada suatu tempat tertentu. Di akhir masa vassa, pada hari bulan purnama, dilaksanakan upacara Pavarana yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya lima orang biksu. Pada kesempatan itu mereka menyatakan kesediaannya kepada Sanggha untuk menerima kritik apabila terdapat kesalahan. Hari berikutnya adalah Kathina. Tahun ini hari pertama Kathina jatuh pada tanggal 14 Oktober 1989.
Hari Kathina merupakan kesempatan bagi umat untuk berdana. Mereka mempersembahkan bermacam-macam barang kebutuhan biksu sehari-hari. Kebutuhan pokok seseorang biksu hanyalah pakaian, makanan, tempat berteduh, dan obat. Umat yang menyumbang jubah, memotong kain dan menjahit secara bergotong royong pada hari berlangsungnya upacara Kathina. Di hari itu seorang biksu mendapatkan seperangkat jubah baru, yang lazimnya diperoleh hanya setahun sekali. Barang lain yang sering dipersembahkan dapat berupa alat tulis, peralatan mandi, dan sikat gigi misalnya. Seringkali terlalu banyak orang yang memberikan sabun, sikat, dan pasta gigi, sehingga jauh melampaui kebutuhan para biksu. Banyak pula orang yang tidak mengetahui barang apa saja yang pantas disumbangkan bagi mereka. Maka, sumbangan dalam bentuk uang praktis dipandang lebih tepat dan bermanfaat.
Barangsiapa yang memberi,
Kebajikannya akan bertambah
Barangsiapa yang dapat mengendalikan diri,
tak akan membenci
Orang yang tekun melakukan kebajikan,
terhindar dari kejahatan
Dengan mencabut akar dari keserakahan,
kebencian dan kebodohan,
akan memperoleh kedamaian[6]
18 Oktober 1989
[1] Majjhima Nikaya 32
[2] Dhammapada 36
[3] Dhammapada 375
[4] Samyutta Nikaya 45, 1:2
[5] Anguttara Nikaya V, 11:106
[6] Digha Nikaya 16