Setelah Kebangkitan Itu
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Lahirnya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 menandai kebangkitan nasional. Setelah kebangkitan itu, gerakan kebangsaan semakin jelas wujudnya diformulasikan dalam Sumpah Pemuda. Ke arah kemerdekaan, anak negeri ini berjuang. Tidakkah bangsa Indonesia sederajat dengan bangsa lain? Siapa majikan di tanah air ini kalau bukan putra sang Pertiwi? “Diri sendiri adalah tuan baginya sendiri, diri sendiri memiliki arah tujuan sendiri.”[1]
Bangsa menurut tradisi kuna diartikan sebagai kesatuan dari orang-orang yang bersamaan asal keturunan. Sama pula dalam hal bahasa dan adat. Pada masa hidupnya Buddha Gotama, masalah bangsa dan hubungan antarbangsa di India sangat diwarnai oleh kasta. Keturunan kasta brahmana dengan sendirinya dianggap mulia dan keturunan sudra pantas dihina. Buddha tidak mengabaikan asal keturunan, tetapi ia dengan tegas sekali menolak diskriminasi. Martabat manusia tidak diturunkan menurut kasta dan kelahiran.
Karena asal keturunan tidak mengikat, dan manusia bisa menentukan karmanya sendiri, dimungkinkan terbentuknya bangsa sebagai kesatuan dari orang-orang yang berbeda keturunan. Kebangsaan inilah yang kita kenal sekarang. Dr Sutomo, pendiri Budi Utomo, beristri keturunan Belanda. Setelah kemerdekaan, Republik ini dapat menerima keturunan asing yang memenuhi syarat sebagai warga negara.
Dari Mahaparinibbana Sutta dapat diikuti petunjuk Buddha mengenai hidup kebangsaan dalam hubungannya dengan bangsa atau negara lain. Ketika Kerajaan Magadha yang besar ingin menaklukkan Vajji yang kecil. Buddha mengisyaratkan sikap agar kedaulatan Vajji terpelihara dan kedua negara dapat hidup berdampingan dengan damai.
Buddha memang tidak membenarkan perang dan segala bentuk tindak kekerasan. Lebih dari itu, Buddha mengingatkan pihak Magadha bahwa Vajji taat berpegang pada kebajikan dan memenuhi persyaratan kesejahteraan suatu negara. Vajji adalah negara demokrasi dengan menjalankan permusyawaratan, memiliki hukum dan menaatinya, memiliki kepemimpinan yang berwibawa dan dijunjung rakyatnya, serta rukun melaksanakan pembangunan.[2] Jelas kehidupan bangsa mempunyai arti bila mengutamakan kesejahteraan atau kepentingan rakyat banyak. Agama Buddha tidak meniadakan kebangsaan.
Pada masa penjajahan, agama Buddha nyaris tak dikenal di Indonesia. Agaknya hampir bersamaan dengan bangkitnya kesadaran nasional bangkit pula gerakan agama Buddha di Nusantara. Pada tahun 1934 seorang bumiputra pertama di abad ini, S. Mangunkawatja diwisudhi menjadi penganut Buddha oleh Bhikkhu Narada yang datang dari Sri Lanka. Ketika itu Kwee Tek Hoey dan Yosias van Dienst telah memperkenalkan agama Buddha di Jawa.
Menjelang akhir abad ke-19 kesadaran nasional yang tak lepas dari gerakan kebangkitan agama Buddha muncul di Sri Lanka yang dijajah oleh Inggris. Mohottivatte Gunananda, biksu pribumi dengan keahlian debatnya menarik perhatian Henry S. Olcott, seorang bangsa Amerika. Olcott mempelajari agama Buddha dan ikut berjuang di Sri Lanka menarik pribumi untuk memeluk kembali agama nenek-moyangnya. Dari Sri Lanka pula Dharmapala mendirikan Perkumpulan Mahabodhi yang menjangkitkan kebangkitan di Nepal, Birma, dan India. Pada tahun 1950 Kolombo menjadi tuan rumah dari konferensi Buddhis Dunia yang pertama, diikuti oleh 29 negara lain. Setelah kebangkitan itu, Sri Lanka yang telah merdeka kini menghadapi kemelut dalam negeri. Sejauh mana agama yang mengajarkan cinta kasih dan mengutamakan perdamaian itu dapat berperan?
Perlawanan terhadap penjajah di negara mana saja mungkin terdorong oleh kesadaran berbangsa. Adanya ketidakpuasan pada perlakuan pemerintah kolonial, keinginan melepaskan diri dari belenggu nasib yang penuh derita, jelas mempengaruhi pula. Maka sekalipun di bawah pemerintahan sendiri, perlakuan yang timpang, sikap hidup sekelompok orang yang merendahkan kelompok lain merupakan ancaman kehidupan berbangsa.
Kearifan memahami dan menerima perbedaan nilai yang dianut oleh setiap golongan menunjukkan kedewasaan hidup berbangsa. Misal dalam hal pemugaran candi, bagi golongan masyarakat tertentu tidak lebih dari suatu proyek pariwisata yang mendatangkan devisa. Candi diterima sebagai warisan leluhur yang semata-mata berbentuk fisik atau duniawi. Bagi segolong lain diartikan objek upacara yang masih sakral. Warisan itu tidak saja dalam bentuk fisik tetapi juga non fisik. Bahkan justru hakikat kerohanian yang dikandungnya yang dimuliakan. Sebagaimana dinyatakan oleh Buddha dalam Dhammadayada Sutta, “Para siswa, jadilah ahli waris-Ku berkenaan dengan Dharma, tidak menjadi ahli waris dalam hal-hal duniawi yang fana.”
Agama berperan bagi penyelamatan, kehadirannya pun tidak mungkin lepas dari pergumulan hidup setiap bangsa penganutnya. Di dalam pembangunan kehidupan kebangsaan, umat beragama tentu meningkatkan prestasi dengan mengabdi pada kepentingan bangsa yang terdiri dari banyak golongan.
20 Mei 1987
[1] Dhammapada 380
[2] Digha Nikaya 16