Skeptis yang Mencubit
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Kita sering menghadapi pandangan yang kontroversial. Seperti adanya pendapat bahwa pembangunan merusak lingkungan atau memperlebar jurang pemisah antara kaya dan miskin. Sikap skeptis dengan pandangan yang kontroversial ini terasa mencubit perasaan meski juga bukannya tidak mengandung kebenaran, demikian dikemukakan oleh seorang menteri.
Kita ingin memilih apa yang baik, dan menolak apa yang buruk. Ukuran baik dan buruk bukan soal selera. Tentunya kebenaran yang harus menjadi pegangan. Ternyata kebenaran umum bisa diperdebatkan karena tidak mustahil untuk berbeda tergantung pada siapa dan bagaimana memandangnya. Orang yang mencari kebenaran pun dengan senang hati memberi tempat untuk kontrol dan kritik yang membangun. Seseorang tidak pantas dan sesungguhnya pula tidak dapat memaksa orang lain untuk menerima apa yang benar menurut anggapannya sendiri.
Dengan bertahan pada pandangan yang dibentuk oleh ego, kemelekatan membelenggu dan menimbulkan ketidakpuasan bahkan kebencian. Dalam pandangan seorang Buddhis, semua konsep dan kebenaran umum (samvrti satya) adalah relatif, maya atau semu, dan bersifat sementara. Umpama kata tentang sifat serakah, serakah itu benar diakui buruk. Tetapi bagaimana dalam hal mendorong agar orang mau bekerja lebih keras? Katakan pula tentang jatuh cinta, apakah itu suatu gejala egoisme dari orang yang tergila-gila ingin memiliki, atau pertanda lenyapnya egoisme dan berarti senantiasa siap berkorban untuk membahagiakan orang lain? Tentang cemburu, apa itu memandakan cinta, atau sebenarnya nafsu yang mudah menggelincir menjadi benci?
Maling pun ternyata bisa budiman. Robin Hood dari alam pemikiran Barat, atau Si Pitung dari Timur mewakili prototipe maling budiman. Keduanya merampok harta orang kaya dan membagi-bagikannya kepada orang miskin. “Bila suatu pekerjaan selesai dilakukan membuat seseorang menyesal, maka perbuatan itu tidak baik. Bila suatu perbuatan selesai dilakukan tidak membuat seseorang menyesal, maka perbuatan itu adalah baik.”[1] Robin Hood atau Si Pitung baik bagi orang miskin, sekaligus tidak baik bagi orang kaya. Kebaikan dan kejahatan menjadi dua sisi dari suatu mata uang yang sama. Agaknya batas antara orang budiman dan orang edan hanyalah setebal helai rambut.
Seorang guru rohani dari India mengisahkan bagaimana seorang calon jenderal menjadi kepala berandal. Demikian riwayatnya: Seorang pemuda memutuskan untuk masuk dinas militer. Ia memiliki sifat-sifat yang sama seperti yang seharusnya diperlukan untuk menjadi seorang jenderal yaitu berani, percaya pada diri sendiri, cerdas, pandai berorganisasi dan cakap memimpin, kuat kemauannya, tegas, peka dan cepat tanggap, adil, dan sebagainya. Kebetulan ia melihat beberapa orang polisi memukuli seorang rakyat kecil. Ia tertarik pada peristiwa itu dan ingin mengetahui permasalahannya. Polisi salah menduga sehingga pemuda tersebut ditangkap. Karena ia melawan, terjadilah perkelahian. Lalu akhirnya si pemuda buron. Maka lenyap sudah kesempatan bagi dia untuk menjadi jenderal di kemudian hari. Pemuda itu mendapatkan tempatnya di antara para berandal dan jadilah dia kepala berandal.
Orang yang bijaksana akan cukup sabar. Ibarat orang berjalan santai, tidak bergegas dan tidak gelisah. Orang yang mengerti tidak akan mengikat pikirannya dan tidak juga memusuhi perasaan. Untuk memahami kebenaran yang utuh, antara benar dan salah, tidak mempertentangkan dan menyangsikannya di bawah pengaruh perasaan. Pertentangan itu sesungguhnya penyakit pikiran. “Orang yang selalu sadar, yang pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu dan kebencian, yang telah mengatasi keadaan baik dan buruk, maka dalam dirinya tiada lagi ketakutan.”[2] Kebijaksanaan mengatasi sikap skeptis atau sangsi. Membedakan baik dan buruk tidaklah dipengaruhi oleh emosi, perasaan senang atau tidak senang.
Sosan (Seng-tsan), Patriarch III di akhir abad ke-16, menulis:
Kebenaran yang absolut adalah tanpa rintangan
Peliharalah itu
dan berhenti untuk mengambil atau memilih
Hanya ketika engkau berhanti untuk menyukai
dan tidak menyukai
Maka semuanya akan jelas dimengerti
Hanya perbedaan sehelai benang
Langit dan bumi dipisahkan.
Sosan berbicara tentang kebenaran absolut (paramarthasatya), bukan kebenaran umum yang semu. Ia menasihatkan bagaimana kita mencapai atau mendekati kebenaran absolut itu.
Selain itu, dalam pandangan spiritual Buddhis, kehidupan dan semua aktivitasnya lebih diarahkan untuk mengolah diri sendiri. Tujuan utamanya adalah mengubah diri sendiri. “Barangsiapa ingin memperhatikan kesalahan-kesalahan orang lain dan selalu mencari kesalahan orang lain, maka kotoran batinnya bertambah besar dan ia semakin jauh dari pemusnahan kotoran batin.”[3]
Kehidupan spiritual tak lain dari refleksi diri dan kritik diri, muncul sebagai usaha yang tak henti-hentinya menguasai pikiran, ucapan, dan tindakan badan jasmani. Sedangkan mengubah keadaan di luar untuk memuaskan diri sendiri adalah cara yang duniawi, di luar kebenaran absolut. Skeptis atau tidak, kegiatan duniawi selalu relatif, semu, dan sementara.
29 Juni 1988
[1] Dhammapada 67-68
[2] Dhammapada 39
[3] Dhammapada 253