Pangan di Luar Selera
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Lapangan kerja yang pertama adalah pertanian. Kemudian kita akan memasuki tahapan perindustrian dan lebih lanjut lagi perkantoran. Jumlah petani menyusut dengan semakin berkembangnya perekonomian. Tetapi menjadi pekerja di sektor apa saja, mungkin dengan cara berbahasa yang lain, dapat mengulangi apa yang pernah diucapkan oleh Buddha, “Aku pun membajak dan menanam bibit. Setelah membajak dan menanam Aku makan.”[1]
Orang mencari makan dengan bekerja. Orang bekerja itu bagai membajak dan menanam bibit, lalu memetik dan menikmati buahnya sesuai dengan apa yang telah ia tanam sebelumnya. Jelas, seorang petani menanam padi, memanen padi, dan penghasilannya berasal dari padi atau beras yang dijualnya. Ia bisa menjadi teladan dan seperti yang pernah terjadi, ada petani teladan yang ikut sidang Dewan Pangan Dunia di Roma. Ketika petani kita itu tergiur untuk menikmati hasil budidaya udang yang bernilai ekonomis tinggi, ia membongkar sawahnya menjadikan tambak udang. Tentu saja orang bebas memilih, tetap menjadi petani atau tidak.
Jumlah mulut yang makan dari hasil pertanian sendiri semakin bertambah. Teori mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk lebih cepat daripada pertambahan makanan. Teori itu muncul sebelum dunia mengenal keluarga berencana dan teknologi mempertinggi produksi bahan makanan dengan cepat. Kita telah mencapai swasembada beras lewat pembangunan pertanian dan pertambahan penduduk ditekan lewat program keluarga berencana. Namun ketika semua orang memilih beras ketimbang bahan makanan lainnya, sedangkan kenaikan produksi beras itu terbatas, swasembada beras akan sulit dipertahankan.
Karena itu muncul anjuran diversifikasi pangan. Bahan makanan pokok tidak hanya beras. Ada pilihan lain, paling tidak sebagai selingan, misalnya roti, mi, kentang, dan jagung. Pada umumnya pemilihan makanan dipengaruhi oleh konsep kebudayaan. Ada jenis makanan yang ditabukan oleh ajaran agama. Suatu organisme yang dapat dikonsumsi untuk mempertahankan hidup belum tentu dipandang pantas dimakan.
Buddha hanya menolak bahan makanan yang berasal dari tindakan pembunuhan. Ia menilai makanan sebagai penunjang kelangsungan hidup dan tidak memilih-milih makanan atas dasar kenikmatan indrawi. Kebutuhan pangan di luar soal selera. “Seperti juga Buddha-Buddha dari zaman dahulu dan Buddha-Buddha di zaman yang akan datang, Tathagata makan baik makanan yang lembut atau pun kasar, yang memakai bumbu atau pun tidak, dengan pikiran yang terkendali untuk memenuhi kebutuhan jasmani.”[2]
Menurut ajaran Buddha, evolusi manusia dipengaruhi antara lain oleh makanannya. Tumbuh-tumbuhan yang menjadi makanan manusia juga mengalami evolusi, mulai dari jenis tanaman sederhana semacam cendawan yang muncul di tanah (bhumippapatiko), tumbuhan menjalar (badalata), hingga munculnya tanaman semacam padi (sali). Berdasarkan kandungan gizi dan takaran yang mereka makan itu tubuh manusia tumbuh padat dan memperlihatkan perbedaan ukuran atau bentuk tubuh, termasuk perbedaan jenis kelamin.[3]
Makanan, atau lebih tepat obat-obatan, khususnya obat hormonal diketahui mempengaruhi bentuk tubuh dan perkembangan seks. Secara umum dapat ditemukan adanya kelainan atau penyakit yang berhubungan dengan makanan dan kandungan gizi tertentu yang dimakannya. Ada kelainan karena kekurangan protein dan karbohidrat, atau kelainan karena kekurangan vitamin dan mineral tertentu. Sebaliknya kelebihan pun tidak berarti sehat. pada bayi mungkin ditemukan cacat bawaan yang berhubungan dengan makanan atau obat yang dimakan ibu saat mengandung. Pengetahuan modern mengungkapkan bahwa pengaruh lingkungan terutama gizi mempunyai arti yang lebih penting daripada faktor keturunan.
Adanya umat manusia, berjuta-juta lagi jumlahnya, yang mengalami kelaparan dan kekurangan gizi merupakan aib bagi kemanusiaan. Baru saja Hari Pangan Sedunia diperingati bersamaan dengan ulang tahun Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Dan setiap tahun dunia masih diingatkan pada masalah kekurangan pangan. Alam tidak selalu mendukung, mungkin musim kering yang panjang, banjir, atau bencana alam lainnya menghancurkan sawah ladang.
Tetapi tidak sedikit pula bencana yang terjadi itu akibat ulah manusia sendiri, misalnya perusakan atau pencemaran lingkungan dan peperangan. Mengkampanyekan peningkatan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab.
19 Oktober 1988
[1] Samyutta Nikaya VII, 2.1
[2] Mahavastu III
[3] Digha Nikaya 27