Menghadapi Kemerosotan
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Konon kondisi pelajar semakin meresahkan. Mutu pendidikan dipertanyakan dan tingkah laku sebagai anak-anak sekolah sering mengecewakan. Sejumlah pelajar di Jakarta tidak hanya nakal, tetapi sudah bertindak kriminal sehingga mesti berurusan dengan polisi. Padahal peraturan semakin banyak dan segala macam kegiatan pembinaan tidak berkurang.
Gejala kemerosotan seperti ini sudah dikenal lebih dari dua puluh lima abad yang lalu. Maha Kassapa mengamati bahwa dahulu hanya ada sedikit peraturan tetapi lebih banyak orang yang saleh. Dahulu tidak banyak pelajaran dan latihan, tetapi lebih banyak siswa yang mencapai pengetahuan tertinggi. Ia bertanya-tanya mengapa terjadi kemunduran seperti itu? Buddha menjawab bahwa kemerosotan tersebut timbul karena munculnya orang-orang yang sesat, membuat jalan yang benar tidak terpelihara. Tentu saja jika penghayatan menjadi mundur, maka ajaran yang benar dilupakan. Walau lebih banyak peraturan dan latihan, tanpa memahami dan menghayati dengan baik, sedikit kemungkinan siswa yang berhasil mencapai pengetahuan tertinggi.
Sabda Buddha selanjutnya, “Bila para siswa, biksu dan biksuni, upasaka dan upasika, berlaku tidak hormat dan tidak mematuhi guru, tidak menghormati dan tidak menghayati ajaran (Dharma), tidak menghargai persekutuan (Sanggha), mengabaikan latihan dan tidak lagi berkonsentrasi; kelima kondisi tersebut merusak, menyebabkan mundur dan lenyapnya ajaran yang benar.”[1]
Barangsiapa mencintai Dharma akan mendapat kemajuan dan sebaliknya barangsiapa mengingkari Dharma akan mengalami kemerosotan. Lebih jauh dalam Parabhava Sutta Buddha mengemukakan sejumlah sebab kemerosotan. Menyukai atau bergaul dengan orang-orang jahat, malas, mudah marah, tidak menyokong orangtua, membodohi orang-roang saleh, menyombongkan keturunan atau pun merendahkan keluarga sendiri, menikmati kekayaan secara egois, boros, berjudi, bermabuk-mabukan, dan melacur merupakan sebab-sebab dari kemerosotan. Demikian pula adanya kesenjangan antara kemampuan dan keinginan serta nafsu mengejar kekuasaan merupakan sebab dari kemerosotan.
Setiap orang berkeinginan untuk menghindari dan melepaskan diri dari kesulitan dan penderitaan. Tanpa memiliki pengertian dan pikiran yang benar manusia kehilangan arah, sehingga justru semakin merosot dan tenggelam dalam penderitaan. Tidak sedikit orang yang bingung, bagaimana membebaskan diri dari kepahitan hidup yang dideritanya. Ada yang meratap, ada yang putus asa, ada yang memberontak bahkan kalap, atau ada yang menjadi pemabuk untuk melupakan kesulitannya. Ketidakmampuan seseorang untuk menghadapi tantangan hidup membuatnya semakin jauh dari kebahagiaan. Orang-orang bodoh melakukan perbuatan buruk yang memuaskan dirinya seketika, tetapi menghasilkan penderitaan selanjutnya di kemudian hari.
Hidup bukan sebagaimana yang kita pikirkan, tetapi sebagaimana yang kita hayati. Terlalu sering kita menerima apa yang kita hadapi dengan pikiran buruk tanpa berusaha menelaah lebih lanjut apakah cara pandang kita itu benar, dan tidak juga mencari apa yang menjadi sebab permasalahan.
Dalam Ratnakuta Sutta dikemukakan bahwa orang yang melaksanakan latihan disiplin rohani harus melatih diri dengan sifat mencari, dengan sifat waspada menghadapi semua fenomenal. Waspada itu berarti secara jeli menangkap pengertian dari semua fenomena menurut sifat aslinya. Segala fenomena dalam proses berubah atau menjadi. Tidak ada barang sesuatu yang secara kekal berdiri sendiri, termasuk apa yang dinamakan jiwa manusia.
Buddha mengajarkan bagaimana mengatasi permasalahan hidup dengan mengolah dan mengubah diri sendiri untuk menghadapi dunia luar. Buddha melihat perubahan itu sebagai Kebenaran. Segala sesuatu di dunia senantiasa mengalami perubahan (anicca). Kemerosotan akan terjadi jika manusia hanyut terbawa oleh perubahan yang buruk. Oleh karena itu, setiap manusia yang ingin membebaskan diri dari kesulitan harus mengubah dirinya. Kebahagiaan tidak akan tercapai dengan mengubah dunia luar tanpa menyempurnakan diri sendiri.
Manusia mempelajari ilmu pengetahuan kebanyakan untuk menguasai dan mengubah dunia. Kecakapan itu tidak cukup untuk menguasai dan mengubah dirinya sendiri. Agama mengajarkan manusia untuk menyempurnakan dirinya. Hindarkan kejahatan, tambahkan kebaikan, dan bersihkan pikiran, itulah ajaran semua Buddha. Berbuat baik tidak hanya melalui ucapan dan perbuatan, tetapi juga pikiran. Pikiran adalah pemimpin. Oleh karena itu menjadi penting bagaimana mengajarkan setiap manusia untuk berpikir sehat sehingga tidak terjadi kemerosotan.
12 Desember 1990
[1] Samyutta Nikaya XVI, 13