Khotbah dari Jalan Tol
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Untuk mengatasi kemacetan lalu lintas perlu adanya jalan bebas hambatan. Jalan itu memang tidak untuk semua orang. Konsep pemikiran jalan tol ini tidak asing bagi penganut agama Buddha. Terdapat perbedaan antara jalan hidup sebagai rahib dan orang yang berumah tangga. Para biksu adalah orang yang memilih jalan bebas hambatan. “Sementara kehidupan rumah tangga merupakan tekanan, kehidupan petapa bagai menghirup udara bebas”[1]
Nirwana sebagai tujuan akhir perjalanan hidup manusia dapat dicapai oleh seorang petapa atau pun orang yang hidup berumah tangga. Namun kesibukan duniawi merupakan hambatan, tak berbeda seperti kemacetan lalu lintas. Orang yang ingin menghindari kemacetan akan memilih jalan tol. Untuk itu ia harus bersedia membayar sesuai dengan tarif yang ditentukan. Orang yang ingin menjadi biksu pun harus rela menaati peraturan (vinaya) dan melepaskan harta benda yang dimilikinya. Masyarakat bebas memilih jalan yang paling menguntungkan dalam mencapai tujuannya.
Kalau terlalu sedikit pemakai jalan tol, dan terjadi kemacetan di luar jalan tol, berarti tujuan pembangunan jalan tol tidak tercapai sepenuhnya. Dalam agama Buddha, biksu dengan jalan tolnya dan orang awam di luar jalan tol, bukanlah merupakan dua hal yang terpisah sendiri-sendiri. Jalan kehidupan tidak dapat lepas dari kondisi saling bergantungan, saling berhubungan, dan berinteraksi satu sama lain.
Dalam hal memperhatikan kepentingan seseorang, dunia mengenal empat jenis manusia, yakni: (1) Orang yang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan pihak lain. (2) Orang yang memperhatikan kepentingan orang lain tanpa memperhatikan kepentingannya sendiri. (3) Orang yang sekaligus memperhatikan kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain. (4) Orang yang tidak memperhatikan kepentingan sendiri atau pun orang lain. Dari keempat tipe manusia tersebut, yang paling baik adalah orang yang memperhatikan kepentingan orang lain di samping kepentingan diri sendiri.[2]
Orang-orang suci yang telah mencapai kebebasan dan berhasil mengatasi kemelut duniawi, bukanlah orang yang tidak menaruh peduli pada penderitaan orang-orang lain. Para biksu selalu berusaha untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Barangsiapa ingin bahagia, bukanlah semata-mata untuk diri sendiri, melainkan bersama-sama semua orang yang dicintainya. Apa saja yang dilakukan oleh seseorang, mempengaruhi masyarakat dan alam di sekelilingnya sebagai satu keseluruhan yang saling bergantungan. “Satu dalam semua, semua dalam satu,” ujar Sosan, “Jika ini saja yang disadari, jangan lagi khawatir akan kesempurnaanmu.”
Lengangnya jalan tol dan kemacetan lalu lintas di luar tol sepertinya mengingatkan keadaan yang terdapat dalam masyarakat. Ada sedikit orang yang sangat kaya dan banyak orang yang miskin. Nilai-nilai yang berlawanan sudah menjadi ciri alam kehidupan. Ada siang, ada malam. Siang dan malam akan selalu silih berganti. Setiap orang akan menerima kedua keadaan yang berlawanaan ini. Ia tidak mungkin hanya memiliki salah satu saja. Ada tua, ada muda. Orang tua pernah muda, orang muda akan menjadi tua. Ada besar, ada kecil dan ada kaya, ada miskin.
Dalam ajaran agama pertentangan nilai dari kebaikan dan kejahatan atau cinta kasih dan kebencian merupakan tema yang sangat mendasar. Kejahatan adalah lawan dari kebaikan dan kebencian adalah lawan dari cinta kasih. Kedua kutub nilai yang bertentangan ini tidak pernah dapat dipertemukan. Orang melakukan kebaikan dengan menyingkirkan kejahatan. Orang yang penuh cinta kasih tidak mungkin sekaligus pula dirasuki kebencian. Orang baik tidak bergaul dengan orang jahat, bahkan keduanya saling bermusuhan.
Dengan menerima kebaikan orang harus menolak kejahatan. Berbeda halnya dengan nilai-nilai lain. Betul kaya adalah lawannya miskin, tetapi orang kaya bukan musuh bagi orang miskin. Orang kaya dan orang miskin dapat bersahabat dan seharusnya tolong menolong. Orang tua dan muda dapat saling mencintai dan saling menghargai. Orang dapat memilih segala yang besar, dengan tiada mengabaikan apa yang kecil. Pengusaha besar yang kuat tidak mentang-mentang dan dapat membina mereka yang kecil atau lemah. Mengelola jalan bebas hambatan sekaligus pula mengatur jalan yang penuh kemacetan.
Banyak nilai yang berlawanan tetapi tidak sungguh bertentangan, terkecuali segala nilai kejahatan yang berlawanan dengan kebaikan. Nilai-nilai tersebut berpasangan dan bisa menghasilkan suatu harmoni dalam kehidupan.
22 November 1989
[1] Anguttara Nikaya IV, 20:198
[2] Anguttara Nikaya IV, 10:96