Khotbah dari Hutan
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Hutan adalah tempat yang menyenangkan, demikian ujar Buddha. Di sana orang-orang yang membebaskan dirinya dari nafsu keduniawian dapat menikmati kepuasan, karena mereka tidak lagi mengejar kesenangan indra. Tidak demikian halnya dengan orang-orang yang terikat pada hidup keduniawian.[1]
Kepada Moggallana Buddha mengatakan bahwa ia tidak selalu memandang baik berkumpul dengan orang banyak, tetapi ia juga tidak selalu menolaknya. Kalau ada tempat yang sunyi dan tidak terganggu oleh hiruk pikuk dari orang yang berlalu lalang, maka tempat itu baik bagi yang menyukainya. Tempat tersebut cocok untuk seorang petapa yang menyukai kesunyian, cocok untuk dijadikan tempat menyepi oleh mereka yang lebih suka hidup menyendiri. Memang tempat tersebut tidak harus berarti hutan.
Tetapi menurut ayat Dhammapada di atas, hutan merupakan tempat tinggal yang menyenangkan. Bagi para petapa tentu. Buddha sendiri bertahun-tahun lamanya bertapa di hutan Uruvela. Hutan dengan segala isinya merupakan sumber kehidupan. Bagi siapa saja sumber kehidupan tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan ragawi. Namun bagi para petapa, hutan selain menyediakan kebutuhan jasmani juga menopang kebutuhan rohani. Bahkan kebutuhan jasmani itu dibatasi dalam jumlah yang minimal untuk mencapai kesejahteraan rohani yang maksimal.
Hanya, sangat sedikit orang yang memahami dan mau menjalani penyepian di hutan-hutan. Sekalipun cara hidup itu cuma untuk sementara waktu. Seperti Buddha, ia bertapa selama enam tahun dan hidup di tengah masyarakat selama tujuh puluh empat tahun. Sekalipun kebanyakan orang tidak akan senang tinggal di hutan, ada banyak orang yang memperoleh kesenangan dengan memiliki dan memanfaatkan hasil hutan. Untuk mengumpulkan kayu misalnya, jelas pohon-pohon harus ditebang. Kayu-kayu itu yang menghasilkan pembangunan ekonomi dan industri.
Buddha berpesan agar manusia hidup sebagaimana seekor kumbang mengumpulkan madu dari bunga-bunga tanpa merusak warna maupun baunya.[2] Dalam peraturan disiplin yang berlaku bagi para rahib, Buddha menetapkan bahwa seorang biksu yang menyebabkan kerusakan pada tanaman dinyatakan bersalah. “Samana Gotama tidak merusak biji-bijian yang masih dapat tumbuh dan tidak akan merusak tumbuh-tumbuhan.”[3] Pesan ini agaknya baik untuk para petapa. Pembangunan di seluruh dunia hingga mencapai keadaan sebagaimana yang kita lihat sekarang ini justru telah mengabaikannya.
Namun munculnya dampak negatif dari pembangunan yang mengabaikan kelestarian alam, mengingatkan kita pada kearifan Sang Petapa. Ajaran Buddha mengenai sikap menghormati dan tanpa kekerasan, tidak hanya berlaku terhadap semua makhluk hidup, tetapi juga terhadap tumbuh-tumbuhan. E.F. Schumacher, ahli ekonomi modern, berpendapat bahwa nilai-nilai kerohanian Buddha itu bukanlah suatu impian masa lalu. Sikap tanpa kekerasan yang mutlak tak mungkin tercapai, tetapi setiap pemeluk Buddha harus berusaha mencapainya. Ia mengatakan setiap pengikut Buddha wajib menanam sebatang pohon setiap beberapa tahun dan menjaganya sampai sungguh-sungguh hidup. Peradaban menghendaki hidup ini memanfaatkan sumber alam yang tersedia. Namun karena hidup manusia bukanlah sebagai benalu, maka ia seharusnya berusaha memulihkan sumber alam yang telah dipakainya.
Dalam membangun industri kita harus selalu menjaga kelestarian hutan, demikian dinyatakan oleh Presiden Soeharto baru-baru ini ketika meresmikan delapan pabrik pulp dan kertas. Kepala negara menegaskan bahwa hutan-hutan tidak saja penting sebagai sumber bahan baku bagi industri, tetapi juga penting bagi kehidupan bangsa dan seluruh umat manusia. Apalagi hutan-hutan tropika merupakan paru-paru dunia.
Aganna Sutta meriwayatkan bagaimana hubungan perilaku manusia dengan perkembangan tumbuh-tumbuhan. Jenis padi (sali) yang pertama dikenal berupa butiran yang bersih tanpa sekam. Padi yang dipetik pada sore hari, segera berbuah kembali keesokan paginya. Dipetik pagi-pagi, berbutir masak kembali di sore hari. Semula manusia mengumpulkan padi secukupnya untuk sekali makan. Kemudian timbul dalam pikiran manusia, bukankah lebih baik mengumpulkan padi yang cukup untuk makan siang dan makan malam sekaligus? Pikiran berikutnya yang timbul mudah diterka: bukankah lebih baik lagi kalau dikumpulkan untuk dua hari, empat hari, delapan hari, dan seterusnya.
Sejak itu manusia mulai menimbun padi. Padi yang telah dituai tidak tumbuh kembali. Maka, manusia harus menanam dan menunggu cukup lama hingga yang ditanamnya berbuah. Batang-batang padi mulai tumbuh berumpun. Butir-butir padi pun lalu berkulit sekam.[4]
20 Desember 1983
[1] Dhammapada 99
[2] Dhammapada 49
[3] Digha Nikaya 1
[4] Digha Nikaya 27