Kebenaran tanpa Kekerasan
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Advokat biasa bertarung di pengadilan. Kekuatan mereka tidak terletak pada ototnya. Hanya tukang pukul yang memerlukan kekuatan fisik dan kekerasan. Tukang pukul dalam hukum rimba cuma tahu siapa kuat dia yang menang. Tidak menjadi soal siapa benar, siapa salah. Sedangkan advokat ataupun abdi hukum lain bekerja dan seharusnya mempraktikkan hukum, siapa benar dia yang menang.
Kekerasan yang menyatu dengan kekuasaan mudah menyalahgunakan hukum untuk memeras orang yang lemah. Kalau hukum seharusnya memihak dan melindungi orang-orang kecil, tidak lain hanya karena golongan yang lemah itu taat pada kebenaran. Hukum cuma berpihak pada kebenaran, tidak memandang perbedaan kuat atau lemah, besar atau kecil, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, penguasa atau rakyat jelata. Dan kebenaran itu tidak memerlukan kekerasan. Oleh karenanya Buddha dan semua orang-orang suci mengajarkan sikap yang lembut dan menolak segala bentuk kekerasan. Hanya saja tidak banyak orang yang melaksanakan.
Ketika advokat adu jotos, boleh jadi naluri tukang pukul yang bringas muncul ke permukaan. Apa mau dikata, itulah manusia biasa. Sama saja ketika ada tokoh agama yang berperangai serupa. Orang-orang yang rendah moralnya, rendah pula kemampuan pemusatan pikiran dan kebijaksanaan. Golongan ini harus dikasihani. “Barangsiapa mengikuti orang-orang yang rendah akan mengalami kerugian. Barangsiapa berkerabat dengan mereka yang sepadan tidak akan gagal. Barangsiapa bersandar pada orang yang arif bijaksana akan berhasil memperoleh kemajuan. Maka hendaklah engkau menjunjung dia yang lebih dari dirimu sendiri.”[1]
Dalam suatu pertarungan, sekalipun berupa perselisihan pendapat, Buddha melihat adanya kondisi berpikir yang tidak sehat. Orang-orang yang terlibat dalam pertikaian memasuki kondisi berpikir yang penuh nafsu, dengki, dan ingin menjatuhkan atau mencelakakan pihak lain. Mereka telah meninggalkan kondisi yang baik, yakni berpikir netral, berpikir penuh kebaikan, dan tidak ingin mencelakakan siapa pun. Ia memuji orang-orang yang memandang satu sama lain dengan mata bersahabat, yang saling menghormati, membuang kondisi yang tidak sehat dan memelihara kondisi yang baik tersebut.[2]
Orang yang mudah naik darah biasanya sukar berpikir dengan baik sebelum berkata atau berbuat. Orang yang sabar akan tetap waspada mengendalikan diri dalam menghadapi segala hal yang bertentangan dengan keinginannya. Sidney Sheldon, seorang penulis novel, pernah berpikir kebanyakan perkara dimenangkan atau dikalahkan sebelum sidang pengadilan dimulai. Dia mendramatisir hal-hal fiktif. Akan tetapi agaknya dia tidak berlebihan; perkara menang atau kalah berhubungan erat dengan persiapan yang mendahuluinya. Apa yang dinamakan hasil yang baik akan muncul dengan sendirinya setelah seseorang menyelesaikan langkah-langkah sebelumnya dengan baik.
Mahatma Gandhi berpendapat demikian, “Barangsiapa lebih mengutamakan hasil usaha atau target, sering gugup dalam melaksanakan pekerjaannya. Ia menjadi tidak sabar, mudah dilanda amarah dan mulai berbuat yang tidak patut. Ia meloncat dari langkah yang satu ke langkah yang lainnya, tanpa menuntaskan salah satu pun. Barangsiapa lebih mengutamakan hasil, adalah seperti orang yang dipermainkan oleh pancaindranya; ia selalu bingung dan kehilangan hati nurani. Segala sesuatu hanya benar jika memenuhi ukurannya sendiri, lalu ia menempuh cara apa saja, yang baik maupun kotor, guna mencapai tujuannya.”
Setiap profesi dihargai karena memiliki etika. Seorang advokat terpandang tidak hanya karena cakap menangani perkara-perkara hukum, tetapi juga mesti memiliki etika dan kejujuran profesi. Sekalipun ahli hukum membela banyak perkara kotor, dia menjaga dirinya tetap bersih terpercaya. Jika diibaratkan bunga teratai, lumpur kolam tidaklah menodainya. “Tak ada keraguan, pengetahuan intelektual tidak akan ada harganya apabila tidak disempurnakan dengan etika atau moral. Penghargaan atas moral yang luhur jauh lebih tinggi daripada pengetahuan.”[3]
1 Agustus 1990
[1]Anguttara Nikaya III, 3:26
[2] Anguttara Nikaya III, 13:122
[3] Jataka 290