Balas Budi
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Manusia tidak hidup sendiri dan hidup itu bukan miliknya sendiri. “Apakah pantas menganggap sesuatu yang fana, yang selalu berubah dan menyakitkan sebagai: ini punyaku, ini aku, diriku sendiri?” Tanya Buddha kepada Susima. “Itu tidak pantas”, jawabnya yang benar.[1]
Manusia tidak memiliki dirinya sendiri. Yang ada dalam dirinya, yang berasal dari Yang Esa, bukan miliknya. Yang diakui menjadi miliknya sebenarnya hanya pinjaman. Meminjam tidak lain dari berhutang. Diakui atau tidak, setiap manusia memiliki kewajiban untuk membayar kembali apa yang sudah diterima. Dalam hal ini tidak mungkin orang tawar menawar, tidak seperti orang melakukan bisnis.
Begitu dilahirkan seorang anak manusia berhutang kepada ibunya, berhutang kepada ayahnya. Hutang kasih sayang tidak mungkin dibayar lunas, sebagaimana kata peribahasa, “Hutang emas boleh dibayar, hutang budi dibawa mati.” Dengan tegas Buddha menyatakan, “Para siswa, tidak seorang pun dapat melunasi hutangnya kepada dua orang. Siapakah kedua orang itu? Ibu dan Ayah.” Selanjutnya ia menjelaskan bahwa sekalipun seorang anak memanggul ayah dan ibunya di atas kedua pundaknya selama seratus tahun, menyokong semua kebutuhannya, melayani dan merawatnya, ia belum dapat membalas budi orangtuanya. Walau ia menempatkan orangtuanya sebagai orang yang paling berkuasa, memberikan kepadanya harta kekayaan yang tidak terhingga banyaknya, tidaklah dengan demikian ia dapat membalas jasa orangtuanya. Budi mereka terlalu besar untuk anak-anaknya: menghantarkannya sehingga mengenal dunia, membesarkan dan memeliharanya dengan penuh kasih dan pengorbanan.
Sabda Buddha pula, “Barangsiapa mendorong orangtuanya yang tak beriman, membuat dan memantapkan mereka sehingga kuat beriman; barang siapa mendorong orangtuanya yang tak bermoral, membuat dan memantapkan mereka sehingga hidup bermoral; barang siapa mendorong orangtuanya yang kikir, membuat dan memantapkan mereka sehingga jadi murah hati; barangsiapa mendorong orangtuanya yang bodoh, membuat dan memantapkan mereka sehingga menjadi bijaksana, orang seperti itulah, hanya dengan perbuatan itulah, dapat membalas budi orangtuanya.”[2]
Buddha menuntun orang-orang agar memiliki pengertian yang benar tentang perbuatan yang memberi manfaat tidak hanya untuk hidup sekarang ini, tetapi juga untuk hidup yang akan datang. Segala kekayaan dan kenikmatan duniawi tidak cukup bernilai untuk membalas budi seseorang. Sebaliknya iman (saddha), moral (sila), kemurahan hati (caga), dan kebijaksanaan (panna) akan menghasilkan kebahagiaan. Hanya Dharma yang mengatasi segala pemberian lain. Maka cara membalas budi yang terbaik adalah mendorong, membuat, dan memantapkan seseorang agar hidup dalam Dharma.
Ahimsaka sebagai seorang murid berhutang budi kepada gurunya. Sang guru tidak meminta imbalan uang atau kekayaan. ia meminta seribu jari tangan kanan manusia. Itu pun ditambah syarat tidak boleh dua jari dari orang yang sama. Apa yang diperbuat Ahimsaka? Ia tidak pernah menyakiti orang lain sebelumnya. Bagaimana mungkin ia mendapatkan seribu jari orang lain itu dengan baik-baik? Tetapi ia tahu pasti, tidak bisa lain, hutang budi harus dibayar. Maka ia mencari mangsa di hutan Jalini. Siapa saja yang lewat ia bunuh. Ia membuat kalung dari jari tangan kanan semua korbannya. Sesuai dengan kalung jari yang menggantung di lehernya, ia mendapat julukan Si Kalung Jari atau Angulimala. Angulimala mengalahkan siapa saja yang ingin menangkapnya, tetapi Buddha berhasil menaklukkannya. Ia tidak lagi memerlukan jari manusia untuk membalas budi gurunya. Ahimsaka adalah sosok yang setia dan taat pada permintaan guru, tetapi ia tidak tahu bagaimana membalas budi.[3]
Seorang murid memiliki kewajiban untuk membalas budi sang guru. Sakalipun ia sudah membayar dalam bentuk materi, harus diakui bahwa ia tetap berhutang budi. Sumber budi yang luhur adalah pengertian yang benar. Dengan budi manusia tidak meninggalkan cinta kasih, berpijak pada nilai-nilai kesucian, norma kebenaran, dan ketuhanan. Budi membuat manusia waspada, dapat membedakan baik dan buruk serta menolak segala hal yang jahat. Tanpa pengertian yang benar, murid yang setia atau patuh belum tentu murid yang budiman.
Manusia tidak hidup sendiri dan ia berhutang budi kepada orang-orang di sekelilingnya. Semua orang yang memerlukan beras dan berbagai jenis pangan hasil sawah ladang berhutang budi kepada para petani. Pengusaha industri yang menikmati kekayaan dari pabrik-pabrik berhutang budi kepada buruhnya. Sebaliknya para pekerja pun berhutang budi kepada mereka yang memberi kerja. Orang yang berkedudukan menyadari budi baik atasan atau pun jasa bawahannya. Seorang pencuri seharusnya berhutang budi kepada polisi yang menangkapnya, karena ia kehilangan kesempatan untuk berbuat jahat lagi sehingga akan mengurangi penderitaannya di akhirat kelak.
Menurut Buddha, tak seorang pun dapat mengharapkan penyelamatan tanpa perbuatan. Rasa terima kasih dan tahu balas budi harus memperlihatkan iman, moral, kemurahan hati, dan kebijaksanaan dalam wujud perbuatan sehari-hari. Sudah tentu tidak cukup satu hari dalam setahun untuk membalas budi.
23 Mei 1990
[1] Samyutta Nikaya XII, 7:70
[2] Anguttara Nikaya II, 4:2
[3] Majjhima Nikaya 86