Martabat Orang Kaya
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Semua orang ingin menjadi kaya, tetapi lebih banyak orang yang miskin. Ada orang yang kaya sejak lahirnya, ada yang kaya karena berusaha. Jarang-jarang yang memenangkan lotre. Kesenjangan kaya dan miskin dipandang merupakan kerawanan, karena orang mudah cemburu melihat kelebihan orang lain. Padahal setiap orang memiliki rezeki masing-masing. Tuhan tak akan dengan semena-mena memilih seseorang itu menjadi orang kaya atau orang miskin.
“Melalui proses lahir dan mati, kehidupan berulang-ulang; para makhluk hidup menikmati pahala dari perbuatan (karma) baiknya dan menanggung akibat dari perbuatan buruknya.”[1] Mereka yang sering berdana, menimbun potensi dan akan sampai waktunya di kemudian hari, menjadi orang yang kaya. Betul untuk menjadi kaya orang mesti berusaha dan hidup dengan hemat, tetapi rezekinya merupakan imbalan dari perbuatan berdana di masa yang lampau. Tidak mengherankan apabila kekuatan karmanya telah habis, maka orang yang semula kaya kehilangan rezeki lalu jatuh miskin.
Dalam khotbah tentang Timbunan Harta, Buddha menjelaskan bagaimana pun orang yang kaya menjaga dan menyembunyikan kekayaannya, timbunan harta tersebut akan lenyap dalam berbagai cara jika buah jasa-jasanya telah habis. Kekayaan materi tiada yang kekal, tidak demikian halnya dengan kekayaan rohani. Jasa kebajikan saja yang sebenarnya merupakan timbunan harta yang akan selalu mengikuti seseorang, ke alam mana sekalipun.[2]
Orang miskin sukar berdana karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pun sering kali masih kekurangan. Orang kaya memiliki kesempatan lebih besar untuk berdana. Dapat diperkirakan seharusnya yang kaya mudah untuk menjadi lebih kaya. Tentu kalau dia memanfaatkan peluangnya dengan baik. “Orang yang memiliki kekayaan berlimpah-limpah, namun ia memakainya untuk diri sendiri tanpa membagi kepada orang lain, inilah salah satu sebab kemerosotan.”[3]
Pangeran Payasi tidak menginginkan kemerosotan itu. Ia memberikan dana kepada orang-orang miskin, entah itu petapa, pengemis, pengembara, atau orang-orang lain yang membutuhkan bantuannya. Di antaranya orang yang menerima dananya terdapat seorang pemuda, Uttara namanya. Pemuda ini pun gemar berdana sesuai dengan kemampuannya. Setelah meninggal dunia, Pangeran Payasi terlahir di istana surga Catummaharajika yang kosong. Sedangkan Uttara terlahir kemudian di surga Tavatimsa dengan kemuliaan yang jauh melampaui Payasi. Mengapa Uttara yang semula memerlukan dana dari Payasi kemudian meraih kebahagiaan yang melampaui Payasi? Ilustrasi ini menunjukkan bahwa tidak seharusnya orang miskin tertinggal dari si kaya dalam memperbaiki nasibnya di kemudian hari.
Ketika berdana, Uttara melakukannya sendiri dengan penuh pengertian, penuh perhatian, dan kesungguhan. Ia memberikan apa saja yang terbaik yang dimilikinya. Sedangkan makanan yang didanakan oleh Payasi antara lain berupa bubur dan makanan kasar. Itu pun diberikan karena ia tidak mau menyentuhnya, apalagi memakannya. Pakaian yang didanakan terbuat dari kain kasar, yang diberikan karena ia sendiri tidak mau menggunakannya walau sebagai lap kaki sekalipun. Ia berdana dengan kurang perhatian, sekadar memberi tanpa menaruh peduli.[4] Yang seorang memberi barang bermutu, yang terbaik dari apa yang dipunyainya. Yang lain memberi barang bekas.
Siapa orang yang terkaya merupakan isu pembicaraan. Nilai kekayaan mereka diukur menurut banyaknya uang atau barang berharga yang dimiliki. Bagi kebanyakan orang menjadi kaya berarti memiliki rumah, mobil dan barang-barang mewah, mengenakan pakaian yang mahal, menikmati hiburan bergengsi, memiliki kekuasaan atas diri orang lain.
Orang miskin memiliki hutang, yang seringkali membuatnya bertambah miskin. Orang kaya memiliki hutang supaya bertambah kaya. Tetapi harus diakui banyak orang kaya yang masih merasa miskin, misalnya ketika harus membayar pajak atau membayar gaji pegawai. Seorang majikan merasa telah berbuat baik dengan memberi mereka lapangan kerja. Kebanyakan orang miskin memang mesti bekerja untuk orang kaya. Agaknya mereka saling menolong. Namun dengan upah yang rendah, sebenarnya si miskin yang telah menolong si kaya. Orang miskin yang memberi lebih banyak. Di mana martabat orang kaya yang berpikir dan bertindak untuk memiliki, bukan memberi?
Jika martabat orang kaya dilihat dari jasa kebajikan, maka dia harus gemar memberi atau beramal, memiliki perilaku yang baik, pandai menahan diri dan mengendalikan diri.[5]
31 Januari 1990
[1] Saddharma Pundarika 1
[2] Nidhikhanda Sutta
[3] Parabhava Sutta
[4] Digha Nikaya 23
[5] Nidhikhanda Sutta