Buka Mata dan Manfaatkan Cermin
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Manusia harus punya semangat, semangat singa atau menterengnya lion spirit. Mengapa bukan semangat manusia? Moggallana mendapat resep melawan ngatuk dari Buddha, salah satunya sikap seekor singa yang siaga, tidak dinamakan sikap manusia yang waspada.
Raungan singa Sariputta tak lain dari ucapan biksu itu yang lantang, tentang tak ada Buddha yang lebih sempurna daripada Sang Gotama, sekarang ataupun di zaman yang akan datang. Lalu Buddha Gotama bertanya kepada murid-Nya itu, bagaimana kesimpulan tersebut diperoleh kalau tidak mengetahui secara langsung mengenai kehidupan Buddha-Buddha berbagai zaman.[1]
Mata yang melihat, tetapi tidak dapat melihat dirinya sendiri. Mata manusia melihat semangat pada singa, atau kekuatan pada kuda dan gajah, misalnya. Bagaimana dengan semangat dan kekuatan manusia sendiri? Menjadi manusia berarti memerlukan semangat dan kekuatan manusia. Boleh saja meraung, tetapi sebagai manusia. Maka Sariputta tidak cukup meraung, ia harus bisa menjelaskan dan mempertanggungjawabkan pertanyaannya.
Buddha menunjukkan kepada cermin untuk menolong orang-orang melihat dirinya sendiri sebagai manusia.
“Rahula, apakah gunanya sebuah cermin?” tanya Buddha.
“Untuk menghasilkan bayangan, Yang Mulia.”[2] Semua orang tahu, tetapi apa cermin itu betul dan digunakan dengan benar? Pertama, jangan becermin di air keruh. Kedua, jangan lupa diri. Tidak ada delima merekah di mulut, bunga melur di hidung atau lebah bergantung di dagu. Hati-hati terbawa Narsisus yang jatuh cinta pada bayangan sendiri dan mati merana. Sebaliknya bila buruk muka, tidak pantas cermin dibelah.
“Seorang yang gemar bersolek, apakah ia pria ataupun wanita, memeriksa wajahnya sendiri di muka cermin atau permukaan air yang jernih. Melihat bintik noda atau jerawat di mukanya, ia berusaha menghapus atau membersihkannya. Setelah mukanya tampak bersih dan elok menyenangkan, ia berpikir, nah, sekarang wajahku bersih dan elok. Demikian pula para siswa, meneliti diri sendiri sangat berguna.
Bertanyalah pada dirimu, ‘Apakah aku serakah atau tidak? Apakah aku berhati dengki atau tidak? Apakah aku pemalas atau tidak? Tidakkah aku dirasuki nafsu? Tidakkah ragu-ragu dan cemas? Tidakkah aku pemarah? Apakah pikiranku kotor atau bersih? Tidakkah jasmaniku terangsang? Apakah aku lesu atau bersemangat? Tidakkah aku mengendalikan diri?’
Para siswa, kalau dengan meneliti diri sendiri, engkau menemukan bahwa engkau mungkin serakah, berhati dengki, malas, penuh nafsu, ragu-ragu dan cemas, pemarah, berpikiran kotor, jasmani terangsang, lesu, atau tidak bisa mengendalikan diri, maka engkau harus berusaha sekeras-kerasnya, untuk melenyapkan bermacam-macam keburukan dan hal-hal yang merugikan itu dengan sepenuh hati dan segenap tenaga. Kalau ikat kepala seseorang sedang terbakar, maka ia harus cepat-cepat memadamkan apinya. Demikian pula, seseorang harus cepat-cepat memadamkan segala keburukan dan hal-hal yang merugikan dirinya sendiri.”
Meski tidak bisa membaca pikiran orang lain atau memperbaiki kelakuan orang lain, paling sedikit orang dapat membuktikan, “Aku bisa melatih membaca pikiranku sendiri dan memperbaiki kelakuanku sendiri,” demikian Buddha menjelaskan sehubungan dengan penggunaan cermin itu.[3]
Di tengah kehidupan sehari-hari, tidak jarang seseorang terombang ambing karena apa yang dipuji sebagian orang juga dicela orang lain. “Tidak pada zaman dahulu, sekarang atau pun masa yang akan datang, ditemukan seorang yang selalu dicela atau pun selalu dipuji.”[4] Selain becermin mawas diri, Buddha mengajarkan cara bersikap yang objektif.
“Para siswa, bilamana ada orang mengucapkan kata-kata yang merendahkan Aku, atau Dharma, atau Sanggha, janganlah karena itu engkau membenci, dendam, atau memusuhinya. Bilamana karena hal tersebut engkau marah atau merasa tersinggung, maka keadaan itu akan menghalangi jalan pembebasan dirimu. Bilamana engkau marah dan tidak senang ketika orang mengucapkan kata-kata yang merendahkan kita, apakah lalu engkau dapat menilai sejauh mana ucapan mereka itu baik atau buruk? Bilamana ada orang mengucapkan kata-kata yang merendahkan Aku, atau Dharma, atau Sanggha, maka engkau harus menyatakan apa yang salah dan menunjukkan kesalahannya dengan menjelaskan—Berdasarkan hal ini atau itu, ini tidak benar, itu bukan begitu. Hal demikian tidak ditemukan di antara kami, dan bukan pada kami.
Sebaliknya pula para siswa, bilamana orang lain memuji Aku, memuji Dharma, memuji Sanggha, janganlah karena hal tersebut engkau merasa senang atau puas atau tinggi hati. Bila engkau bersikap demikian maka keadaan itu juga akan menghalangi jalan pembebasan dirimu. Bilamana orang lain memuji Aku, atau Dharma, atau Sanggha, maka engkau harus menyatakan apa yang benar sebagai faktanya dengan menjelaskan—Berdasarkan hal ini atau itu, ini benar, itu memang begitu. Hal demikian terdapat di antara kita, ada pada kita.”[5]
10 Februari 1988
[1] Digha Nikaya 16
[2] Majjhima Nikaya 61
[3] Anguttara Nikaya X, 6;51
[4] Dhammapada 228
[5] Digha Nikaya 1