Tertib Lalu Lintas
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Tokoh agama memang bersekutu dengan polisi. Yang satu berpegang pada Kitab Suci, yang lain atas nama hukum negara, mengabdikan diri untuk memelihara kebaikan dan menyingkirkan kejahatan.
Kapolda Metro Jaya pun mengharap tokoh agama ikut menanggulangi masalah lalu lintas. Masalah ini menyangkut hajat hidup orang banyak dan menjadi tanggung jawab pemerintah maupun masyarakat, termasuk para tokoh agama.
Di Jakarta, sejak Januari 1987, dalam setengah tahun tercatat 2.141 kasus kecelakaan lalu lintas dengan korban 366 orang yang tewas, 696 orang luka berat, dan 1144 orang luka ringan. Angka kecelakaan lalu lintas ini cenderung meningkat. Selain kecelakaan, kemacetan lalu lintas dengan segala dampaknya menjadi masalah sehari-hari.
Keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang dipandang sangat penting adalah tingkah laku masyarakat pemakai jalan. Masalah lalu lintas yang kita hadapi sekarang jelas belum ada pada zaman yang hanya mengenal gajah atau kuda sebagai sarana transportasi. Tetapi sepanjang menyangkut tingkah laku dan mental manusia, tidak berlebihan bila diharapkan peran agama, kaidah dan norma dalam kitab suci agar terwujud tingkah laku yang menunjang tertib lalu lintas.
“Semua orang gemetar menghadapi hukuman, semua orang takut menghadapi kematian. Setelah membandingkan orang-orang lain dengan dirinya sendiri, maka hendaknya seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan pembunuhan.”[1]
Pengetahuan dan keyakinan tentang karma sebagai hukum Tuhan Yang Maha Adil, tentang surga dan neraka, mungkin membuat orang-orang tertentu takut untuk berbuat jahat. Tetapi pendidikan etika atau moralitas dalam agama Buddha tidak dimaksudkan pada terbentuknya sikap takut karena ancaman hukuman atau neraka. Seseorang berbuat baik, dengan demikian ia memuliakan Tuhan, tidaklah karena terpaksa atau takut. Moralitas merupakan dasar dari agama Buddha dan kebijaksanaan merupakan puncaknya. Moralitas adalah tingkat awal dari Jalan Kesucian, sebagai cara untuk mencapai tujuan namun bukan tujuan itu sendiri.
Dalam melaksanakan moralitas, setiap orang tidak hanya memperhatikan dirinya sendiri, tetapi juga harus memperhatikan makhluk lain. Apa yang tidak ingin dialami oleh dirinya tentu juga tidak diharapkan oleh orang lain. Ia malu melakukan kesalahan (hiri), dan takut melakukan kesalahan (ottapa) bukan karena diancam, tetapi sadar bahwa kesalahan itu tidak pantas dilakukan. Hiri dan Ottappa ini merupakan kekuatan yang mendorong seseorang berusaha tidak melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Bagi pemakai jalan, dengan kekuatan hiri dan ottappa, ada atau tidak ada polisi, ia berusaha untuk tidak melanggar peraturan lalu lintas.
Setiap pelanggaran atau kejahatan, hasilnya akan kembali kepada si pembuat. Buddha mengumpamakan perbuatan menentang kebijaksanaan atau berlawanan dengan hukum itu dengan ilustrasi berikut, “Bagai seseorang yang menengadah ke udara dan meludah, ludahnya tidak akan mencapai langit malah jatuh kembali pada dirinya. Bagai menabur debu melawan arah angin, debu itu tidak akan mengenai orang lain, malah berbalik menimpa diri orang yang menaburnya.”[2]
“Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan. Kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada tidak akan mati, dan orang yang lengah seperti orang yang sudah mati.”[3] Dalam Mahayana Buddha Pacchimovada Parinirvana Sutra dinyatakan bahwa kewaspadaan ini dituntut di mana saja dan kapan saja, setiap saat. Pada dasarnya beragama diartikan berbuat atau melaksanakan, tidak semata-mata menaruh percaya. “Bagaikan orang yang menjauhkan diri dari kejahatan, demikianlah hendaknya engkau selalu sadar dan waspada. Dharma Buddha dibabarkan demi kesejahteraan manusia. Oleh sebab itu engkau harus sungguh-sungguh melaksanakannya. Meski engkau ada di gunung, di lembah, di bawah pohon, atau di tempat sepi dalam ruang semadi, hayatilah Dharma yang diajarkan oleh Tathagata dan jangan melalaikannya. Engkau harus senantiasa melatih diri dan berusaha dengan sungguh-sungguh. Jangan pasif, jangan pula melakukan sesuatu yang tidak berarti atau tidak berguna.”
Hanya dengan memelihara kewaspadaan, setiap orang dapat memenuhi harapan orang-orang yang mencintainya. Orang-orang di rumah, keluarga, ataupun kerabat mengharap setiap orang yang keluar rumah akan pulang dengan selamat.
“Sungguh baik mengendalikan mata, sungguh baik mengendalikan telinga, sungguh baik mengendalikan hidung, dan sungguh baik mengendalikan lidah. Sungguh baik mengendalikan perbuatan, sungguh baik mengendalikan ucapan, sungguh baik mengendalikan pikiran…”[4]
Mendapat kesenangan indra di jalan, puas dapat meledakkan amarah di tengah kemacetan lalu lintas misalnya, hanya merupakan kesenangan yang tak berarti. Jauh lebih menyenangkan berkumpul dengan keluarga dalam keadaan selamat. Sebagaimana disabdakan Buddha, “Apabila dengan melepaskan kebahagiaan yang lebih kecil orang dapat memperoleh suatu kebahagiaan yang lebih besar, maka hendaknya orang bijaksana melepaskan kebahagiaan yang kecil itu, agar memperoleh kebahagiaan yang lebih besar.”[5]
Mendalami ajaran agama dan melaksanakannya mungkin dapat menciptakan pemakai jalan yang patuh. Agama akan mengangkat pandangan seseorang ke tingkat yang lebih luhur, sehingga mempertebal tanggung jawab. Tetapi masalah lalu lintas tidak selesai karena ramai-ramai ngomong.
16 September 1987
[1] Dhammapada 129
[2] Sutra Empatpuluh Dua Bagian: 8
[3] Dhammapada 21
[4]Dhammapada 360-361
[5] Dhammapada 290