Euthanasia
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Sebagai besar dokter menyetujui kebebasan seseorang untuk menentukan saat kematiannya, demikian disampaikan oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo pada “Seminar Pengkajian Hak untuk Mati pada Masyarakat Indonesia” di Yogyakarta. Ahli lain Prof. Dr. JE Sahetapy menyatakan, euthanasia pasif adalah tindakan dokter melepas pasien atau angkat tangan sehubungan ketidakpastiannya menyembuhkan jenis penyakit yang diderita pasien. Dalam keadaan demikian penderita biasanya dibawa pulang dan kemudian meninggal di rumah.
Suatu kematian sering dianggap lebih baik daripada hidup tetapi menanggung penderitaan yang berkepanjangan. Karena kematian dianggap mengakhiri penderitaan, banyak penderita penyakit yang tak dapat disembuhkan, yang tidak tahan lagi menderita, mengharapkan segera datangnya kematian. Sedangkan menurut ajaran Buddha kematian tidaklah mengakhiri penderitaan. Kematian justru merupakan salah satu bentuk penderitaan. Setiap kematian langsung seketika berlanjut dengan kelahiran kembali. Apakah itu di alam yang sama atau pun di alam yang lain. “Tidak ada tempat berhenti bagimu di perjalanan, sedangkan engkau tidak memiliki bekal bagi perjalananmu,” demikian dinyatakan oleh Buddha.[1] Ia meratap di alam sini, ia meratap di alam sana, mempertanggungjawabkan hasil perbuatannya di masa yang lalu.
Di pihak lain, dengan alasan menaruh belas kasihan, banyak orang yang berpikir bahwa seorang dokter dapat menolong pasien yang tidak mungkin sembuh dengan jalan memberi suntikan maut. Sedangkan dilihat dari kepentingan si sakit sendiri, tidak benar euthanasia atau mercy killing itu pantas dinamakan mati bahagia. Seorang perawat RS St Petrus di Jerman Barat yang tak sampai hati melihat penderitaan pasien-pasiennya, menolong dengan mengakhiri hidup si pasien. Di Australia, baru-baru ini sejumlah perawat RS Lainz mengaku telah membunuh pasien-pasien jompo. Mereka mencabut nyawa pasien yang dianggap tak akan tertolong lagi. Siapa saja akan menyatakan kasus ini adalah suatu kejahatan.
Seandainya pembunuhan itu dilakukan atas permintaan pasien yang bersangkutan, dapat dipertanyakan bukanlah orang yang mau melakukannya itu sebenarnya mencari kemudahan dalam melaksanakan tugasnya. Pekerjaannya menjadi ringan apabila pasien-pasien yang menjengkelkan meninggal dunia. Pihak keluarga si sakit mungkin pula mencari kemudahan, agar mengurangi beban yang harus dipikul, khususnya dari segi ekonomi keluarga.
Tindakan menghentikan rasa sakit dengan jalan mempercepat datangnya kematian itu adalah pembunuhan. Suatu perbuatan dinyatakan sebagai pembunuhan bila memenuhi lima syarat yaitu: (1) Pano, adanya makhluk hidup; (2) Panasannita, mengetahui makhluk itu hidup; (3) Vadhakabittam, ada pikiran hendak mengakhiri kehidupan makhluk tersebut; (4) Payogo, melaksanakan perbuatan yang dimaksud; (5) Tenamaranam, makhluk itu mati disebabkan pelaksanaan perbuatan tersebut. Pembunuhan jelas adalah salah satu bentuk karma yang buruk (akusala kamma), sekali pun yang dibunuh itu binatang.
Pernah terjadi sejumlah biksu yang merasa cemas, menderita, muak, dan jijik dengan badan jasmaninya melakukan bunuh diri atau meminta orang lain untuk mencabut nyawanya. Seorang petapa palsu, Migalandika namanya, dengan suka hati menawarkan diri untuk menolong orang-orang yang menderita, yang ingin segera mencapai “pantai seberang”.
Banyak biksu yang telah sempat dibunuhnya ketika peristiwa itu dilaporkan kepada Buddha. Buddha pun mengumpulkan para biksu dan mengajarkan mereka latihan meditasi anapanasati. Meditasi ini menjadi penangkal untuk menghalau keadaan batin yang buruk dan menghantarkan ke arah kebahagiaan hidup. Buddha mengecam peristiwa Migalandika yang membunuh atas permintaan korban sendiri, dan menetapkan larangannya sebagai peraturan Parajika yang keras. “Biksu, siapa saja yang dengan sengaja membunuh seorang manusia atau melakukan perbuatan membawakan pisaunya, juga termasuk orang yang terkalahkan dan tidak lagi dalam persamuhan.”[2]
“Seorang wanita atau pria yang membunuh makhluk hidup, kejam dan gemar memukul serta membunuh tanpa belas kasihan kepada makhluk hidup, akibat perbuatan yang telah dilakukannya itu ia akan dilahirkan kemudian di alam rendah atau neraka yang penuh kesedihan dan penderitaan. Apabila ia dilahirkan kembali sebagai manusia, di mana saja ia akan tumimbal lahir, umurnya tidak akan panjang.”[3]Khususnya mengakhiri hidup seorang ibu, ayah, dan orang suci (Arahat), merupakan salah satu bentuk karma buruk yang berat, yang tidak akan dapat ditebus akibatnya oleh karma baik lain, sehingga merintangi seseorang untuk mencapai alam-alam kebahagiaan, apalagi Nirwana.[4]
Menghentikan upaya pengobatan sebelum pasien jelas meninggal dunia adalah euthanasia pasif. Buddha pernah mengumumkan bahwa barang siapa yang melayani orang sakit itu seperti juga melayaninya.[5]Mereka yang tidak memberikan perawatan atau pengobatan terhadap seorang pasien yang menderita sakit, termasuk stadium terminal, karena menganggap bahwa pertolongannya akan sia-sia saja, dapat dipandang telah membuang peluang untuk berbuat bajik.
Dengan demikian, euthanasia pada dasarnya bertentangan dengan ajaran Buddha. Dalam menghadapi penderitaan, kesabaran, doa, dan meditasi dipandang akan sangat menolong. Sedangkan usaha memperpendek hidup sebenarnya tidak mengakhiri penderitaan, yang masih akan berlanjut dalam bentuk lain di kehidupan mendatang.
3 Mei 1989
[1] Dhammapada 237
[2] Suttavibhanga III, 1
[3] Majjhima Nikaya 135
[4] Anguttara Nikaya III, 146
[5] Mahavagga VIII, 26:3