Bunuh Diri
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Konon seandainya di Jepang terjadi tabrakan kereta api, maka menteri perhubungan akan bunuh diri. Dengan demikian ia menunjukkan tanggung jawabnya, sekalipun kesalahan itu dilakukan oleh pihak bawahan. Bunuh diri atau hara-kiri, dinamakan pula seppuku, dipandang sebagai hak setiap orang hidup. Itulah Right to Die atau Hak untuk Mati.
Hidup memerlukan kehormatan. Daripada kehilangan kehormatan, prajurit Jepang hara-kiri massal menyertai akhir Perang Dunia Kedua. Bagi masyarakat Cina kolot para hamba sahaya harus memiliki kesetiaan, dan untuk membuktikannya mereka bunuh diri menyusul kematian sang junjungan. Kesetiaan seorang istri di India ditandai bunuh diri dengan meloncat ke dalam kobaran api pembakaran jenazah suaminya.
“Macan Tamil” membekali dirinya dengan kapsul sianida, sebagai tanda siap bunuh diri. Kalau bisa orang tidak memiliki mati. Daripada bunuh diri, banyak orang yang lebih suka mencari mati dengan menentang bahkan membunuh orang lain, apakah itu atas nama keadilan, kebenaran atau pun demi agama. Kesediaan berkorban seringkali dinyatakan dengan tindakan kekerasan terhadap pihak lain.
Agama Buddha mengenal bunuh diri sebagai suatu bentuk pengorbanan. Perbuatan ini lazim dilakukan oleh para Bodhisattwa. Menurut Bodhisattwa Sila, untuk tujuan yang luhur atau kepentingan umum, bunuh diri dapat dibenarkan. Yang dikorbankan adalah diri sendiri. Itulah yang pernah dilakukan oleh biksu Vietnam yang membakar diri sebagai unjuk rasa. Tidak ada pengorbanan dengan tindak kekerasan terhadap pihak lain, apalagi berupa pembunuhan. Namun perbuatan itu mungkin membangkitkan kesadaran, menggugah hati nurani, dan tentunya mengharapkan belas kasihan atau cinta.
Penyempurnaan kematian seorang Arahat yang kesadarannya mencapai titik terakhir dapat memberi kesan bunuh diri. Sebagai contoh adalah kematian Biksu Dabba yang disaksikan oleh Buddha sendiri. Ia terbang ke angkasa, duduk bersila bermeditasi dan badannya pun menyala spontan, terbakar habis tanpa sisa. “Hancur leburlah badan jasmani, terhentilah pencerapan, dinginlah semua perasaan, berakhirlah suatu yang terjadi dari panduan unsur, dan tibalah kesadaran pada titik terakhir.”[1] Hal ini juga dilakukan oleh Biksu Ananda.[2]
Yasunari Kawabata, pemenang Hadiah Nobel tahun 1968, bunuh diri empat tahun kemudian pada usia 73 tahun. Ia tidak sabar lagi menanti habisnya sisa umur hidup di bumi. Yukio Mishima melakukan seppukupada usia 45 tahun (1970), ketika kariernya sedang memuncak. Suatu sukses dalam hidup ini tidak melenyapkan kenyataan bahwa hidup itu mengandung derita. Ryunosuke Akutagawa pernah berkata, seandainya ia bunuh diri, tak lain karena kabut ketakutan. Sastrawan terkemuka ini pun bunuh diri pada usia 35 tahun (1927). Di awal tahun 1987 Dwyer di AS mendahului vonis pengadilan dengan laras pistol di mulutnya. Peristiwa itu sudah barang tentu tidak melenyapkan ingatan orang-orang pada kesalahannya.
Dalam menghadapi suatu permasalahan, orang mungkin mengalami depresi, rasa kecewa, putus asa, khawatir, terhina, dan sebagainya. Hidup di dunia memang ditandai oleh dukkha (penderitaan). ‘Inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang dukkha: Dilahirkan, usia tua, sakit, mati, sedih, ratap tangis, gelisah, berhubungan dengan sesuatu yang tidak disukai, terpisah dari sesuatu yang disukai, dan tidak memperoleh sesuatu yang didambakan.”[3]
Untuk menyelesaikan permasalahan atau mengatasi penderitaan itu seseorang barangkali tak melihat jalan lain kecuali mencari kematian. Padahal mati bukanlah penyelesaian. Mati bukan akhir dari suatu penderitaan. Dalam lingkaran samsara (kelahiran yang berulang), setiap kematian berarti lahir dalam bentuk kehidupan lain. Sedangkan karma selalu harus dipertanggungjawabkan di alam mana pun, di saat atau zaman apa pun.
Bunuh diri yang berpangkal pada keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan (moha), akan berlanjut dengan kelahiran di alam yang menyedihkan (apaya). “O para Biksu, bilamana perbuatan-perbuatan seseorang dilakukan karena keserakahan…, dilakukan karena kebencian…, dilakukan karena kebodohan, timbul dari kebodohan, didasari oleh kebodohan, berasal dari kebodohan, maka di mana pun ia akan dilahirkan kembali, di sanalah perbuatan-perbuatannya menjadi masak; dan di mana pun mereka masak, di sanalah ia akan mengalami akibat dari perbuatan-perbuatannya itu, apakah dalam hidup sekarang atau dalam beberapa kehidupan berikutnya.[4]
Buddha mencela bunuh diri yang dilakukan terdorong oleh atau dengan latar belakang keserakahan, kebencian, dan kebodohan itu. “Tidak baik, tidak benar, tidak patut, tidak terhormat, tidak diperkenankan, tidak boleh dilakukan,” demikian sabda-Nya. Pernyataan ini disampaikan ketika terjadi kasus sejumlah biksu yang memandang kotor jasmaninya lalu melakukan bunuh diri atau minta untuk dibunuh.[5]
25 November 1987
[1] Udana VIII, 9
[2] Theragatha 1049
[3] Digha Nikaya 22
[4] Anguttara Nikaya III, 171
[5] Vinaya/Parajika III