Kathina di Balik Jubah
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Melihat rahib, biarawan atau biarawati, tidak jarang timbul pertanyaan; apakah orang itu pernah patah hati, tidakkah ia frustasi? Sanggha, yakni para biksu dan biksuni meninggalkan cara hidup rumah tangga yang sifatnya duniawi. Namun tidaklah benar jika berpendapat bahwa golongan ini melarikan diri dari kesukaran hidup di dunia.
Buddha menolak usul Devadatta yang membuat sanggha terasing dari masalah duniawi. Devadatta mengusulkan agar para biksu tinggal di hutan, makan-makanan pemberian saja, mengenakan pakaian dari kain-kain bekas, bernaung di bawah pepohonan, dilarang makan daging dan ikan, penolakan usul itu menunjukkan bahwa kendati Budha memuji hidup pertapaan, ia tidak menginginkan sanggha terkucil dari masyarakat luas.
Menurut Buddha, perumah tangga maupun mereka yang tak berumah tangga, keduanya bergantung satu sama lain, bersama-sama mencapai Dharma yang sejati, keadaan batin yang tenteram…, kebahagiaan yang didambakan[1]. Seorang Buddhis tidak mengabaikan masalah kemasyarakatan dan tidak menolak bekerja demi kepentingan umum. Justru Buddha mengutus para biksu agar mengabdi untuk kebaikan dan kesejahteraan orang banyak, demi kasih sayang terhadap dunia, demi kebahagiaan para dewa ataupun manusia.[2]
Sementara kehidupan rumah tangga merupakan tekanan, kehidupan petapa bagai menghirup udara bebas.[3] Agama tidak membelenggu, sebaliknya membebaskan penganutnya dari penderitaan. Namun menghirup udara bebas bagi para rahib Buddha tidak lain dari mematuhi 227 pasal peraturan (vinaya) menurut versi Theravada atau 250 pasal menurut Mahayana.
Isi peraturan itu antara lain pantang berhubungan kelamin, pantang membunuh, pantang mencuri, pantang berdusta, pantang makanan yang memabukkan. Lebih jauh lagi para rahib dilarang menjadi comblang, atau berdagang, misalnya. Bahkan tidak dibenarkan rahib berenang untuk bersenang-senang. Mereka cukup memiliki empat macam kebutuhan, yakni pakaian, makanan, tempat berteduh, dan obat-obatan.
Peraturan kebiksuan, misalnya larangan hubungan kelamin sebagaimana dinyatakan dengan Parajika I mengandung alasan-alasan sebagai berikut: (1) untuk kebesaran Buddha, (2) untuk kesejahteraan Sanggha, (3) untuk mengendalikan mereka yang berpikiran buruk, (4) untuk ketenangan mereka yang berkelakuan baik, (5) untuk mengendalikan kotoran batin yang timbul dalam hidup ini, (6) untuk membasmi kotoran batin yang berasal dari penghidupan yang lampau, (7) untuk meyakinkan mereka yang tidak percaya, (8) untuk menambah jumlah mereka yang percaya, (9) untuk menegakkan Dharma, (10) untuk melatih diri dalam tata cara pengendalian diri.
Jelas cara hidup pertapaan mengikuti jejak Buddha itu adalah usaha untuk mengembangkan diri, mencapai kesempurnaan. Dengan memiliki kualitas dan kecakapan yang memadai, mereka layak membimbing dan mampu menyelamatkan orang lain. “Tidak mungkin seseorang dalam lumpur dapat menarik orang lain keluar dari lumpur. Hanya orang yang telah bebas dari lumpur yang dapat menolong orang lain.”[4] Orang-orang yang frustasi, yang menyerah pada nasib dan pasif, tanpa memperbaiki dirinya tidaklah mungkin menjadi biksu-biksuni yang baik.
Ada empat jenis rahib, mereka itu serupa, tetapi tidak sama. Para rahib mencukur bersih rambutnya dan berjubah. Jubah beraneka ragam bentuk dan warna. Namun bukan pakaian ini yang membuat mereka tidak sama. Para rahib dibedakan sebagaimana pernyataan Buddha sendiri dalam Cunda Sutta (Sutta-Nipata). Jenis yang pertama, rahib yang telah menyelesaikan jalan. Mereka telah mengatasi keraguan, telah bebas dari penderitaan dan menikmati kebahagiaan Nirwana.
Jenis yang kedua, adalah rahib yang membentangkan jalan. Mereka percaya bahwa Nirwana itu paling mulia dan senang mengajarkan atau menerangkan Dharma. Jenis ketiga, rahib yang hidup di atas jalan. Mereka telah mengendalikan diri dengan sadar dan hidup sehat sesuai dengan Dharma yang telah diajarkan dengan baik.
Yang terakhir adalah jenis rahib yang mengotori jalan. Orang-orang ini tidak lain adalah penipu yang menyamar. Mereka memakai jubah pemimpin yang baik, berdalih sebagai rahib yang sejati, namun memiliki tingkah laku yang tercela.
Bagi Sanggha, para rahib yang mulia, umat mengungkapkan rasa terima kasihnya melalui upacara Kathina. Mereka mempersembahkan barang-barang kebutuhan Sanggha, khususnya berupa jubah dan perlengkapan sehari-hari. Upacara Kathina bermula dari perintah Buddha agar para biksu yang telah menyelesaikan masa Vassa (tirakatan masa penghujan) mendapatkan jubah baru.[5] Masa Kathina dimulai sehari setelah hari purnama pada bulan Assayuja (Oktober) sampai dengan hari purnama Kattika (November). Salah satu hari dalam batas waktu satu bulan tersebut dapat dipilih untuk penyelenggaraan upacara.
Di balik persembahan jubah, upacara Kathina tidak semata-mata merupakan suatu bentuk peringatan. Perayaan Kathina adalah praktik kehidupan beragama Buddha, yakni melaksanakan kewajiban umat kepada Sanggha. Para rahib Buddha tidak mengucilkan diri, namun mengabdikan diri kepada masyarakat luas. Umat mempersembahkan dana kepada mereka. Tanpa persembahan dana, tidak ada upacara Kathina.
21 Oktober 1987
[1] Itivuttaka, IV, 8
[2] Digha Nikaya III, 127
[3] Anguttara Nikaya II, 208
[4] Majjhima Nikaya I, 45
[5] Mahavaga VII, 1