Kesabaran Mengungguli Senjata Canggih
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Kami ingin damai, kata Saddam Husein. Delapan tahu sudah ia memerangi Iran. Sekarang Kuwait dicaploknya. George Bush dan sekutunya juga berkata ingin damai. Semua orang memilih damai. Sementara itu ratusan ribu tentara multinasional dengan berpuluh-puluh kapal perang dan ratusan pesawat tempurnya menciptakan situasi eksplosif di kawasan Teluk Persia.
Setiap saat dentam peluru dan ledakan bom nuklir atau kimia akan membuat kawasan itu menjadi neraka. Tetapi semua pihak yang menggelar pasukan, juga menunjukkan kesabaran. Presiden AS George Bush masih bisa asyik bermain golf. Saddam merasa aman dengan menyandera warga Barat, sebagian wanita dan anak-anak pun ia bebaskan. Kapal-kapalnya yang dihadang kapal perang AS sedia untuk berhenti dan tidak melawan. Tindakan ini mengurangi ketegangan.
Kesabaran adalah senjata yang tidak pernah terkalahkan menurut pandangan Buddha. Kesabaran jauh menggungguli segala jenis senjata canggih yang dibuat oleh manusia. Tidak ada persenjataan militer yang dibuat dan disiapkan tanpa tujuan untuk membunuh. Tetapi bagaimana pun juga manusia yang menguasai dan menentukannya. Kalau semua orang tergerak dengan serta-merta meledakkan amarah dan dendam, sebuah perang nuklir akan menghancurkan dunia ini. Lalu siapa saja, tidak ada yang menang.
“Orang yang tidak marah, yang dapat menahan hinaan, menahan penganiayaan dan hukuman, ia memiliki kekuatan senjata kesabaran, itulah yang patut dinamakan Muliawan.”[1] Kesabaran merupakan salah satu bentuk kebajikan yang dilaksanakan secara sempurna oleh para calon Buddha. Khantivadi-Jatakamenguraikan bagaimana seorang petapa, Kundakakumara namanya, di waktu muda, tidak hanya mengajarkan tetapi mempraktikkan apa yang dinamakan kesabaran. Cerita ini terpahat pada relief Borobudur (di serambi pertama, dinding luar, deretan atas, gambar ke-10 sampai dengan ke-14 dari gerbang selatan ke jurusan barat).
Raja Kalabu dalam keadaan mabuk bercengkerama dengan para istrinya dan jatuh tertidur di taman istana. Ketika terjaga ia tidak melihat orang-orang di sekelilingnya. Rupanya mereka sedang mengelilingi seorang petapa dan asyik mendengarkan khotbahnya. Timbul amarah sang raja. Ia bertanya apa yang diajarkan oleh petapa itu. “Kesabaran, itulah yang hamba ajarkan,” jawab petapa. “Apakah kesabaran itu?” tanya Raja Kalabu dengan tidak sabar. “Kesabaran itu, Baginda, tidak menjadi gusar jika dimaki, disalahkan atau dianiaya sekali pun.” “Kalau demikian,” kata raja, “Akan aku coba kesabaranmu.”
Ia memerintahkan seorang prajurit untuk memukul sang petapa dengan cambuk berduri. Meskipun sekujur tubuhnya luka bersimbah darah, petapa itu dengan menahan kesakitan tetap menunjukkan kesabaran. “Masihkah engkau mengajarkan kesabaran, Petapa?” kata Raja Kalabu menyindir. “Daulat Tuanku, hamba tetap mengajarkan agar selalu bersabar.” Raja menjadi semakin marah. Raja memerintahkan agar tangan dan kaki petapa itu dipotong. Sang petapa berkata bahwa ia masih tetap sabar sebagaimana yang diajarkannya. Raja pun mengerat hidung dan daun telinga orang itu. Kata petapa tersebut, dengan tenang, “Baginda, jangan dikira bahwa kesabaran itu ada pada kulit hamba, pada tangan atau kaki hamba, pada hidung atau telinga. Kesabaran terletak jauh di lubuk hati.” Ia tidak memperlihatkan kemarahan barang sedikit pun. Sebaliknya raja yang tidak dapat mengendalikan diri, pergi setelah puas menerjang dan menginjak-injak dada petapa itu. Petapa di pihak lemah, namun tetap mempertahankan kesabarannya. Ia tidak menjadi marah. Ia masih bisa mendoakan agar raja tidak kehilangan kesejahteraannya. Inilah kesempurnaan seorang calon Buddha dalam melaksanakan kesabaran.[2]
Buddha sering mengajarkan bahwa kebencian hanya dapat dipadamkan oleh cinta kasih. Kata-Nya, “Kalahkan kemarahan dengan cinta kasih. Kalahkan kejahatan dengan kebajikan. Kalahkan kedengkian dengan kemurahan hati. Kalahkan kebohongan dengan kejujuran.”[3] Secara emosional orang mudah terpancing untuk melibatkan diri dan menghimpun solidaritas pada salah satu pihak yang berperang. Apalagi disertai sentimen keagamaan. Padahal semua agama mengajarkan kesabaran dan cinta kasih.
Baik sekali Gorbachev dengan sabar menyerukan agar semua pihak tetap tenang dan bertindak dengan penuh rasa tanggung jawab, tidak menggunakan kesalahan pihak lain untuk memperluas krisis. Ia yakin bahwa mencegah terjadinya konflik militer besar-besaran adalah tujuan semua pihak. Dan pemerintah kita bijaksana, tidak mengirim pasukan kecuali atas permintaan PBB untuk menjaga perdamaian. Ini suatu sikap, bukan tinggal berdiam diri.
“Tidak hanya dengan berdiam diri orang yang dungu dapat digolongkan suci. Orang bijaksana yang dapat memilih apa yang baik dan menghindari apa yang buruk seperti halnya menimang sebuah neraca, yang sesungguhnya patut disebut suci.”[4]
5 September 1990
[1] Dhammapada 399
[2] Jataka 313
[3] Dhammapada 223
[4] Dhammapada 268