Kewibawaan dan Kesucian
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Orang yang berwibawa dihargai dan dipatuhi perintahnya. Kebanyakan orang melihat kewibawaan itu terkait erat dengan kekuasaan dan hak untuk memberi perintah. Pengakuan atas kewibawaan itu sendiri tidak selalu mengikuti kedudukan yang dijabat oleh seseorang. Dia yang diakui berwibawa tidak hanya karena bisa memberi perintah saja, tetapi seharusnya karena mampu membuat orang lain mematuhinya.
Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Seorang bawahan dengan senang hati mengakui sebagai atasan dan rela tunduk pada kekuasaannya, jika dengan itu kepentingannya sendiri terjaga. Ia tidak dirugikan sebaliknya memperoleh keuntungan, merasa tenteram dan terlindung di bawah kekuasaannya. Seorang majikan berwibawa karena memberi cukup gaji pada pegawainya, tidak hanya memberi kerja. Wibawa pengusaha akan jatuh kalau mencoba mengabaikan kesejahteraan karyawannya. Sebaliknya wibawa akan bertambah jika memperlakukan pegawai sebagai mitra kerja dan saling percaya atau menghormati.
Seorang suami berwibawa di mata istrinya jika ia sanggup melindungi keluarganya. Jika si istri sudah mempersoalkan bagaimana suaminya lebih mencintai seorang wanita simpanan, sang suami mulai kehilangan wibawanya. Demikian pula seorang anak mengakui wibawa orangtuanya apabila ia merasa terlindung, memperoleh cukup perhatian dan merasakan kehangatan cinta kasih mereka. Orangtua menjadi tidak berwibawa jika mengabaikan kepentingan anaknya atau tidak bisa dipercaya oleh anaknya.
Raja Canda Pajjota mempunyai seorang putri yang bernama Vasuladatta. Putri yang cantik ini disuruhnya untuk mempelajari mantra dari seorang tawanan. Tawanan itu adalah Raja Udena, yang berjanji akan mengajarkan mantra hanya kepada orang yang mau menghormatinya. Raja Canda Pajjota ingin memperoleh mantra, tetapi sama sekali tidak bersedia untuk menghormati lawannya. Maka ia mengatur agar Putri Vasuladatta mempelajari mantra itu untuknya. Kepada sang putri ia mengatakan bahwa pemilik mantra berpenyakit kusta. Sedangkan kepada Raja Udena ia mengatakan bahwa orang yang akan mempelajari mantra dan bersedia menghormatinya adalah seorang wanita hamba istana yang bungkuk. Mereka ditempatkan dalam ruang yang terpisah, yang dibatasi oleh sebuah tirai.
Raja Udena membacakan mantranya dan Putri Vasuladatta berusaha untuk mengikuti ucapan itu kata demi kata. Sekalipun sudah berkali-kali diulangi ia tidak dapat mengucapkannya dengan tepat. Raja Udena menjadi tidak sabar. Ia mulai memaki. Katanya, perempuan bungkuk yang tolol, tentu bibirnya terlalu tebal dan pipinya gembung kegemukan. Ia berteriak ingin menampar orang yang menyebalkan itu. Putri Vasulladatta pun menjawab dengan marah. Serunya, orang kusta bajingan, apa maksudnya caci maki itu? Mengapa ia dikatakan bungkuk? Maka akhirnya terbukalah tipu muslihat Raja Canda Pajjota. Mereka saling memperkenalkan diri. Bahkan perkenalan itu berlanjut dengan hubungan cinta. Sebagai ayah hilang sudah wibawa Raja Canda Pajotta di mata putrinya. Ia tidak mau mematuhi perintahnya dan sebaliknya justru menolong Raja Udena, musuh ayahnya itu. Demikian dikisahkan dalam kitab Dhammapada Atthakatha.
Jika seseorang ingin berwibawa sesuai dengan kedudukan yang dimilikinya, ia harus membuktikan kemampuan dan kecakapan yang pantas untuk kedudukannya itu. Nasib baik mungkin memberi kesempatan kepada orang tertentu, sehingga sekalipun kurang cakap ia berhasil memegang surat keputusan untuk menduduki suatu jabatan. Tetapi dia tidak akan berwibawa jika orang-orang seringkali menertawakan kebodohannya. Maka orang yang pintar seharusnya berusaha untuk belajar banyak agar memiliki kecakapan yang sesuai dengan kedudukannya. Ananda adalah seorang biksu yang cerdas. Tingkah lakunya tiada cela. Selama dua puluh lima tahun Ananda selalu mendampingi Buddha, sehingga menguasai hampir semua khotbah yang pernah disampaikan oleh Buddha. Oleh karena itu ia terpilih untuk mengikuti Konsili Pertama bersama 499 biksu senior yang lain. Semua biksu itu Arahat, orang yang telah mencapai tingkat kesucian tertinggi. Hanya Ananda seorang yang belum berhasil menjadi Arahat. Kemudian Ananda melatih dirinya dengan giat hingga ia berhasil menyempurnakan kesuciannya. Tepat pada pembukaan konsili ia menunjukkan kemampuan gaib untuk membuktikan kearahatannya. Maka tiada lagi kekurangan Ananda di tengah para Arahat peserta Konsili yang lain.[1]
Seorang Arahat berwibawa bukan karena jabatan atau kekuasaan yang dimilikinya. Hanya kesucian yang membuatnya berwibawa. Demikian pula para bodhisattwa, semua calon Buddha, berwibawa tanpa memerlukan kekuasaan atau hak untuk memerintah orang lain. Mereka tidak memerintah tetapi orang-orang menghormatinya, memperhatikan kata-katanya dan mematuhi petunjuknya. Orang-orang suci tidak minta dilayani, tetapi justru mengabdikan diri dan melayani orang lain tanpa mementingkan diri sendiri.
Pernah terjadi sejumlah 1.250 orang Arahat berkumpul pada waktu yang sama di Taman Veluvana. Mereka menemui Buddha tanpa perintah, tanpa undangan ataupun perjanjian sebelumnya. Peristiwa itu diperingati sebagai Magha Puja pada hari purnama bulan Februari ini. Pada kesempatan ini kita dapat merenungkan bagaimana kewibawaan para orang suci yang tidak memerlukan kekuasaan dan hak untuk memaksa orang-orang lain patuh kepadanya.
27 Februari 1991
[1] Culla Vagga XI