Berebut Kerja Berebut Surga
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Pemuda bagi bangsanya atau anak-anak bagi orangtuanya dinamakan generasi penerus karena akan menerima warisan dari para pendahulunya. Orangtua akan mempersiapkan anak-anaknya agar pantas menerima warisan tersebut, mampu memelihara dan menjaga kehormatannya sebagai anak yang berbakti. Di hadapan pemuda Sigala, Buddha mengemukakan bahwa mereka tidak hanya perlu diajarkan nilai-nilai luhur, berbuat yang baik dan menyingkirkan yang buruk, tetapi juga dididik agar dapat bekerja dan sanggup berdiri sendiri.”[1]
Tetapi anak bukan duplikat orangtuanya. Masing-masing generasi membentuk identitas sendiri dan bergerak dengan masa depan yang akan berbeda dari masa sebelumnya. Seperti halnya orang muda di tahun 1928 mencetuskan Sumpah Pemuda. Indonesia bukan lagi Nusantara menurut Negarakertagama, tidak juga Kepulauan Hindia Belanda yang berkeping-keping bagi Bumiputra pemiliknya. Generasi berikutnya memproklamasikan kemerdekaan dan membentuk negara kesatuan yang berdaulat. Generasi muda itu menunjukkan kesanggupan berdiri sendiri dengan identitas yang jelas. Mereka tahu bagaimana bekerja sesuai dengan tuntutan zamannya, menjadikan hidup itu punya arti bagi perjalanan hidup bangsanya. Kita menerima warisan tersebut. Pewarisan nilai-nilai luhur dan semangat perjuangan bangsa memerlukan kemampuan kita untuk mengisi dan mempertahankan.
Barangkali masih ada pemuda sekarang yang terlena. Sebaliknya ada yang muda yang berkarya. Ada lebih banyak lagi yang belajar dan berebut mencari kerja. Atau yang masuk biara menjadi biksu. Semua tetap mengikrarkan Sumpah Pemuda. Kita bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu. Dengan demikian diakui bahwa hidup seseorang itu dalam kebersamaan tidak hanya buat dirinya sendiri. Bagaimana menjadi hidup punya arti bagi orang lain, itulah tema sentral kehidupan Buddha dan calon Buddha (Bodhisattwa)
Untuk kepentingan dan keselamatan orang banyak Buddha membabarkan agama. Untuk kesejahteraan orang banyak, Buddha mengutus murid-murid-Nya menjelajahi segala penjuru dunia. “Demi kasih sayang, bekerjalah untuk kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan baik dewa atau pun manusia.”[2] Amanat ini sulit terpenuhi bila rohaniwan tidak bisa lebih dari mengajarkan doa dan berkhotbah tentang surga di luar dunia. Murid Buddha dapat menjadi penggerak pembangunan yang berusaha menciptakan kehidupan bagai surga di dunia sekarang ini.
Mulai 25 Oktober sampai dengan 23 Nopember tahun ini masyarakat Buddha menyelenggarakan upacara Kathina. Melalui upacara itu umat mengungkapkan penghargaan dan terima kasih kepada biksu, antara lain dengan mempersembahkan jubah dan barang-barang lain yang mereka butuhkan. Kehadiran para murid Buddha, yaitu para biksu atau biksu pengikutnya sekarang ini seharusnya sangat berarti bagi masyarakat. Bila tidak demikian, upacara Kathina hanya merupakan warisan tradisi yang kehilangan pijakan pada masa kini.
“Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak mengumpulkan kekayaan semasa muda, akan merana seperti bangau tua yang diam di kolam tanpa ikan.”[3] Kesucian dan kekayaan sebenarnya tidaklah merupakan dua hal yang saling bertentangan. Kehidupan rohani dan kehidupan jasmani, spiritual dan material, seharusnya saling menunjang bagi pembangunan manusia yang seutuhnya.
Tahu baik dan buruk saja tidaklah cukup. Kita seringkali menghadapi pertanyaan bagaimana cara yang baik itu dapat dilakukan? Lalu bagaimana membuat hidup ini punya arti bagi orang lain? Dalam kehidupan sehari-hari masa kini, tahu cara bekerja yang baik tidak pula berarti bisa bekerja untuk mencari makan sehingga sanggup mempertahankan kelangsungan hidup sendiri. Ada banyak orang yang mencari kerja, tetapi tidak cukup tersedia lapangan kerja. Tidaklah mudah untuk mengenyam dan menyelesaikan pendidikan, sedang ternyata kemudian ada banyak hal yang tidak diajarkan di sekolah. Misal seperti yang terjadi belum lama ini, ribuan orang muda berebutan mencari kerja. Mereka berdesakan, menerjang sebuah gedung tempat pendaftaran calon pegawai, dan yang jatuh terinjak-injak sesamanya. Lalu lima orang tewas dan puluhan orang luka karenanya.
Bekerja dan sanggup berdiri sendiri menandai kehidupan para siswa Buddha. Tetapi para biksu tidak menerima penghasilan atau gaji. Sebagaimana petunjuk Buddha sendiri, suatu khotbah misalnya disampaikan tidak untuk mendapatkan imbalan dari pendengarnya.”[4] Bekerja itu merupakan kebajikan untuk memperbaiki hidup atau untuk meraih surga hingga tercapainya Kebebasan Mutlak di kemudian hari. Maka menjadi rohaniwan bukan lapangan kerja sebagaimana dikenal umum, tetapi merupakan lapangan jasa. Di sini bukan berebut kerja, tetapi bisa jadi berebut surga.
26 Oktober 1988
[1] Digha NIkaya 31
[2] Maha Vagga I 11
[3] Dhammapada 155
[4] Samyuta Nikaya VII, 2:1