Senyum Pelayanan Habis-Habisan
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Untuk meningkatkan penerimaan pajak, perlu perjuangan habis-habisan. Mar’ie Muhammad, Direktur Jenderal Pajak, mengatakan perjuangan habis-habisan itu harus disertai pelayanan habis-habisan bagi masyarakat. Sekarang ini masyarakat sejak dilahirkan sampai meninggal selalu merasa dipersulit oleh aparatur. Mengurus akte kelahiran sulit, KTP sulit, dan mengurus keterangan mati pun kadang masih dipersulit. Tak ada uang rokok, sulit urusan dengan instansi pemerintah. Katanya, jangan sampai masyarakat enggan membayar pajak hanya karena merasa sudah dipajaki di mana-mana.
Betul, abdi negara dan abdi masyarakat, apakah pegawai bawahan atau atasan, harus melayani, bukan minta dilayani. Orang yang bijaksana akan memberi pelayanan yang baik dan memperoleh simpati atau perasaan bersahabat dari masyarakat. “Bekerjalah untuk kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan orang banyak” dan “Barang siapa memberi, ia mengikat sahabat”, demikian sabda Buddha.”[1] Ada empat hal yang mendatangkan perasaan bersahabat, yaitu: kemurahan hati, keramahan, kebaikan, dan perlakuan yang adil atau tidak membeda-bedakan dalam melayani semua sesama.[2]
Kapan saja dan di mana saja pelayanan yang baik itu “Sungguh enak dan nyaman untuk masyarakat”. Kata-kata ini disingkat menjadi “Senyum” oleh Haryono Suyono, Kepala BKKBN, dalam safari KB-nya bertahun-tahun yang lalu. Dengan operasi “Senyum” ia mengajak untuk secara habis-habisan menyukseskan program kependudukan dan keluarga berencana.
Kata peribahasa, siapa tak bisa senyum, jangan buka toko. Kantor-kantor pemerintah dengan loket-loketnya tidak berlebihan kalau diibaratkan toko yang menawarkan atau menjual jasa. Senyum diakui sangat diandalkan dalam bidang jasa. Otomatisasi dan komputerisasi dalam industri dan perkantoran modern telah mengambil alih pekerjaan manusia namun tidak dapat menyingkirkan senyum manis. Senyum ini sangat menjanjikan sukses.
“Lebih baik daripada seribu kata yang tak bermanfaat, cukup sepatah kata yang berguna, yang jika didengar seseorang dapat menimbulkan ketentraman.”[3] Senyum bisa lebih banyak berarti kata-kata dalam menentramkan hati manusia. Senyum dalam pengalaman beragama mengandung kearifan. Sebagaimana senyum Buddha, tanpa kata-kata, ketika mewariskan ajaran Dhyana (Zen) kepada Maha Kasyapa yang menerimanya juga dengan senyum. Tanpa perlu diajar atau dilatih secara alamiah seorang bayi tersenyum, senyum yang menyenangkan orang-orang yang melihatnya. Demikian pula senyum atau cukup sepatah kata yang lembut dari manusia di sekelilingnya menentramkan sang bayi.
Pribadi yang mempesona tumbuh penuh senyum. Pakaian dan perhiasan seindah apa pun tidak memancarkan pesona bila pemakainya berwajah masam. Melihat wajah sendiri di muka kaca, orang menemukan perasaan nyaman ketika tersenyum. Setiap orang ingin melihat fotonya ketika tersenyum. Di layar TV para pejabat muncul dengan senyum, semua orang tahu artinya senyum dan senang dilayani dengan senyum.
Senyum yang tulus, sekalipun untuk membuat senang orang lain, tidak mengabaikan kejujuran dalam hati atau pikiran seseorang. “Pikiran yang menjilat dan pujian kosong adalah bertentangan dengan Dharma. Oleh karena itu para siswa, engkau harus bersungguh-sungguh memperbaikinya. Ketahuilah bahwa menjilat dan pujian kosong itu menipu dan meninggikan berlebih-lebih, tak patut dilakukan oleh orang yang mengikuti jalan Dharma.”[4]
Boleh jadi orang yang sudah tersenyum tidak memperoleh balasan yang sama ramahnya. Buddha sendiri mengalaminya, Ia mengulasnya demikian, “Jika engkau dengan sopan memberi hormat kepada seseorang, sedang orang itu tak menerimanya, tidakkah kesopanan yang engkau tunjukkan itu akan kembali kepadamu? Jawaban seharusnya ya. Sebaliknya apabila seseorang mencaci maki dan orang yang dicaci tak menghiraukannya, tidakkah akhirnya akibat dari perbuatan tersebut juga kembali pada dirinya sendiri, bagaikan suara yang terpantul kembali, atau bagai bayangan yang mengikuti badan si pemilik.”[5] Seseorang yang memberi hadiah kepada orang lain, tetap menjadi si pemilik barang hadiah itu apabila yang diberi tidak mau menerimanya. Seseorang yang menjamu orang lain, menikmati sajian itu sendiri apabila yang dijamu tidak menerimanya.
Hidup memang mengandung derita, hidup memang susah, tetapi kita belajar hidup dengan senyum. Kita tidak boleh kekurangan senyum dalam pelayanan kepada siapa saja. Tiada surga untuk orang yang tak bisa senyum. Ketika biaya hidup semakin mahal, lalu apa senyum juga jadi ikut mahal? Apa orang mesti membayar untuk senyum? Barangkali ya, kalau senyum pelawak atau badut. Orang sumbing mungkin mesti dibantu operasi supaya bisa mengucapkan kata-kata dengan cukup baik. Sedangkan untuk bisa senyum dengan baik, orang tidak memerlukan operasi plastik, kecuali itu senyum genit.
15 Maret 1989
[1] Mahapadana dan Alavaka Sutta
[2] Anguttara NIkaya IV, 3;32
[3] Dhammapada 100
[4] Mahayana Buddha Pachimovada Parinirvana Sutta
[5] Sutra 42 Bagian