Anugerah Kesehatan
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Status kesehatan seseorang atau pun masyarakat sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Sekalipun tidak tepat, tetapi juga tidak salah, kesehatan lingkungan sering diartikan sebagai kebersihan lingkungan. Kesehatan lingkungan seharusnya mencakup pula kebersihan perorangan, kebiasaan hidup dan semua dampak hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan bertalian dengan peningkatan derajat kesehatan atau pencegahan penyakit.
Dalam kasus Girimananda yang jatuh sakit, Buddha memberi tuntunan agar si sakit memahami bagaimana tubuh jasmani itu tidak kekal adanya, tidak memiliki substansi keakuan yang berdiri sendiri, mengandung kotoran yang menjijikkan, tempat berkembangnya penyakit, di antaranya termasuk penyakit yang timbul akibat gangguan dari perubahan lingkungan. Dengan memahami hal-hal tersebut seorang siswa Buddha dibimbing untuk membersihkan dan mengembangkan batinnya sehingga tidak terpengaruh oleh penderitaan fisik[1]. Pesan spiritual ini tidak hanya terbatas pada lingkup kesehatan mental, tetapi dapat diperluas pada kesehatan jasmani dan sosial.
“Kesehatan adalah anugerah tertinggi, Nirwana adalah kebahagiaan tertinggi. Aku telah mendengar tentang hal ini, yang diucapkan oleh para guru sejak zaman dahulu,” demikian ucap Magandiya. “Tetapi Magandiya, sebagaimana yang telah kau dengar mengenai ucapan para guru di zaman dahulu itu, kesehatan adalah anugerah tertinggi, Nirwana adalah kebahagiaan tertinggi. Lalu apa yang dimaksudkan dengan kesehatan, apa yang dimaksudkan dengan Nirwana?” tanya Buddha. Bagi Buddha kata-kata slogan itu manis dalam ucapan, tetapi tidak ada artinya tanpa kejelasan tentang bagaimana cara untuk mencapainya. Yang penting adalah apa yang harus dan dapat dikerjakan oleh seseorang agar kesehatan dan Nirwana itu bukan cuma berupa angan-angan saja.[2]
Pandangan tentang kehidupan dan perilaku manusia ditentukan oleh beberapa naluri seperti keinginan untuk hidup (givitukama), keinginan untuk menghindari kematian (amariftukama), keinginan menikmati kesenangan (sukhakama), dan menghindar dari kesusahan (dukkhapatikkula).[3] Naluri tersebut membuat kebanyakan orang mementingkan diri sendiri dan mencari kepuasan untuk diri sendiri. Kepuasan tidak diingkari, tetapi Buddha menolak sifat keakuan yang mendapat kepuasan dengan diikuti oleh akibat yang buruk. Dalam percakapan dengan Magandiya, Buddha memberi contoh bahwa penderita kusta mungkin mendapatkan kepuasan dengan membakar bagian tubuhnya yang luka busuk di atas bara api. Jika dia sembuh, sebagaimana orang sehat lainnya justru tidak akan menyentuh api itu.
Dengan membuang sifat keakuan dan setiap orang menghormati kepentingan orang lain, menurut Cakkavatti Sihanada Sutra, akan tiba suatu saat penduduk menjadi semakin padat tetapi cukup makan dan sejahtera. Harapan hidup manusia menjadi semakin panjang. Ketika itu hanya ada tiga jenis penyakit yakni gangguan nafsu makan, gangguan pencernaan dan “kerapuhan karena usia tua itu sendiri.”[4]Memperhatikan masalah kesehatan yang menyertai peningkatan jumlah penduduk dan kesenjangan tingkat kesejahteraan masa kini, agaknya kita perlu mengulangi pertanyaan Buddha, apa yang dimaksudkan dengan kesehatan dan bagaimana membuatnya menjadi kenyataan?
“Bersih pangkal sehat” itulah jawaban yang sederhana, tetapi aktual dan menjadi tema peringatan Hari Kesehatan Nasional XXVI. Golongan sosial ekonomi rendah mengeluh karena sarana air bersih dan jamban belum menjadi bagian dari kehidupannya. Kotoran manusia tersebar di got-got sepanjang jalan yang sebagian besar mampat tak terpelihara. Sampah banyak berceceran di mana-mana. Dorongan untuk menyenangkan diri dan tidak ingin susah, membuat orang-orang yang tebal keakuannya tidak menaruh peduli kalau perbuatannya mencemari lingkungan dan mengganggu kepentingan orang lain. Seharusnya pembangunan perbaikan kampung membuat lingkungan menjadi lebih baik, tetapi tanpa upaya pemeliharaan dan perubahan sikap serta perilaku, kesehatan lingkungan tetap tinggal mengecewakan.
Kesehatan adalah anugerah tertinggi. Anugerah itu tidak datang dengan sendirinya. Bagaimana pun majunya teknologi kedokteran, bagaimana pun baiknya pelayanan pemeliharaan kesehatan, status kesehatan lebih ditentukan oleh lingkungan dan perilaku manusia. Apa yang diperbuat oleh manusia itulah yang mendatangkan anugerah kesehatan.
14 November 1990
[1] Anguttara Nikaya X, 6;60
[2] Majjhima Nikaya 75
[3] Samyutta NIkaya XXXV, 197
[4] Digha Nikaya 26