Bangunlah Jiwa dan Bangsa
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Gerakan olahraga nasional berakar pada gerakan perjuangan bangsa. Di tengah perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan, Pekan Olahraga Nasional (PON) I membakar semangat persatuan, membangun jiwa dan raga manusia Indonesia merdeka. Kini, setiap memperingati Hari Olahraga Nasional (Haormas) kita tidak hanya mengulangi seruan: Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Tentu harus diuji, sejauh mana kita telah membangun jiwa dan raga.
Buddha tidak memisahkan jiwa sebagai suatu substansi yang berdiri tersendiri atau terpisah dari raga. Manusia adalah paduan unsur fisik (rupa) dan mental (nama) yang berinteraksi, saling bergantungan dan saling memengaruhi. Karena itu membangun jiwa tidak mungkin tanpa disertai membangun raga, dan membangun raga tidak akan berhasil tanpa disertai membangun jiwa.
Pertumbuhan jasmani hanya punya arti bila disertai pertumbuhan rohani yang serasi. Kemenangan secara fisik dinilai tidak berguna atau sia-sia jika mengorbankan moral dan spiritual. Ketika suatu pertandingan olahraga mengagungkan kekuatan otot berlebihan dan mengabaikan sportivitas, timbul peristiwa baku hantam yang tentu saja sangat tidak terpuji. Dengan mudah manusia mengucapkan bahwa melalui olahraga mempererat persahabatan, lalu sama mudahnya pula menyulut kemarahan dan perkelahian.
Pertandingan olahraga memang menentukan adanya pihak yang menang dan yang kalah. Semua orang menginginkan kehormatan. Meraih kemenangan bisa mendatangkan kehormatan tetapi yang menang mungkin saja kehilangan kehormatan karena melakukan perbuatan yang tercela, yang merugikan atau menyakitkan pihak lain. Sedang yang kalah dapat tetap terhormat. Kehormatan tidak berkurang bagi mereka yang kuat mental, yang tetap mempertahankan kesucian moral dan spiritual.
“Dharma tidak membeli tempat bagi kemarahan, kemunafikan, pamrih, dan popularitas.”[1] “Ia yang mengejar nama tetapi tidak mengembangkan kesadaran hanya membuang tenaga dan sibuk dengan sia-sia. Bagaikan dupa yang dibakar, kendati wangi namun akhirnya habis menjadi abu.”[2]
Mereka yang terbelenggu oleh nafsu dilukiskan bagai orang yang berjalan menyalakan obor dengan melawan arah angin, sehingga akhirnya membakar tangan sendiri. Pujian dan kata-kata manis menjilat cuma mempertebal kesombongan. Dharma menghendaki penganutnya tidak terpengaruh oleh segala bentuk pujian ataupun celaan, tetapi tetap bertahan taat pada prinsip kebenaran. Orang dapat melatih mentalnya dan bersikap waspada menghadapi dorongan nafsunya sendiri.
Rohitassa, dulunya adalah manusia yang perkasa, dengan prestasi fisik yang mengagumkan. Ia mampu berlari secepat terbangnya anak panah yang dilepaskan oleh pemanah ulung, dengan sekejap menempuh jarak antara laut timur dan barat. Diakuinya kemudian, ia menyadari walau hidupnya lebih dari seratus tahun, walau ia bisa melakukan perjalanan selama seratus tahun, tidaklah ia dapat mencapai batas ujung dunia. Pada akhirnya kematian juga yang menantinya. Maka ia membutuhkan nasihat Buddha untuk membangun jiwanya, menyempurnakan dirinya.”[3]
Manusia, seperti Rohitassa dapat membangun jiwa dan raga dirinya sendiri. Di tengah pergaulan bangsa-bangsa. Lebih dari sesosok Rohitassa, kita membangun jiwa dan raga bangsa, Di abad ini tepatnya tahun 1936, Son Ki Chung dari Korea meraih medali emas Marathon di Olimpiade. Tetapi buat siapa ia menang? Lagu kebangsaan yang berkumandang, bendera yang berkibar kepunyaan Jepang. Korea ketika itu dijajah Jepang. Dapat dimengerti bagaimana hati Son terluka. Kemenangan fisik itu tidak memberi tempat bagi jiwa kebangsaannya, Membangun jiwa dan raga tidak hanya sebagai sesosok makhluk yang individual, setiap atlet di arena internasional merupakan duta bangsa yang berjiwa dan raga bangsanya.
Olahraga bukan semata-mata persoalan mengolah kekuatan otot. Adu otot gladiator yang selalu bersimbah darah, yang sepenuhnya cuma urusan kaum laki-laki itu milik peradaban purba. Bagi kita kini, pesta olahraga sekaligus juga menjadi pesta kebudayaan dari manusia-manusia yang beradab. Apakah itu PON, atau Olimpiade diikuti oleh atlet laki-laki dan perempuan, tua dan muda, mewujudkan persatuan dan perdamaian.
Kebetulan September ini berlangsung Olimpiade di Korea Selatan. Sejak tahun 1952, hanya dua kali Indonesia absen, yaitu di Tokyo pada tahun 1964 dan di Moskwa pada tahun 1980. Kali ini dua puluh sembilan orang atlet Indonesia dikirim ke Seoul. Mereka berjuang untuk meraih prestasi dunia. Semua bangsa menginginkan kehormatan, dan prestasi dunia yang dicapai dalam pertandingan mengangkat citra bangsa. Kita pantas berharap dan harus berusaha.
“Api tidak menunggu matahari agar menjadi panas, tidak juga angin menunggu rembulan untuk menjadi sejuk.” (Zenrin Kushu)
Kita tidak boleh pesimis dan hanya mengeluh bahwa kita belum apa-apa. Buddha mengajarkan agar kita realistis. “Dalam pemandangan musim semi tidak ada tinggi atau rendah. Cabang-cabang pohon berbunga tumbuh alamiah, ada yang panjang, ada yang pendek.” (Shobogenzo)
7 September 1988
[1] Anguttara Nikaya IV, 5;44
[2] Sutra 42 Bgaian 21
[3] Anguttara Nikaya IV, 5;45